The Active Richard

October 30, 2014



=========================================================================


Orang-orang biasa memanggilku, “Hey, Kid?!” atau terkadang “Hallo, Dear” dan semacamnya. Well, aku tidak keberatan sama sekali. Orang dewasa memang ramah, mereka menyapaku meskipun aku—sering sekali tidak membalas sapaan mereka. Bahkan mereka dengan senang hati menjawil pipi tembemku atau serta merta memelukku bahkan menciumku tanpa permisi. Bentuk protesku biasanya hanya berusaha menghindar saja—meskipun kerap gagal, tak lebih dari itu.
Dan kali ini, aku bertemu dengan salah satu dari sekumpulan orang dewasa yang banyak dari mereka menjadi favoritku. Dia guruku, guru salah satu mata pelajaran favoritku. Aku dan teman-teman menyapanya pagi itu. Kemudian seperti biasa ia membalas sapaan kami dengan senyum ramahnya.
“Good morning too, Kiddies.” Begitu katanya. Seperti kemarin—dua hari yang lalu, dan seterusnya.
Dia menghampiriku dengan tangan terlipat di dada. “Where is your book? Wanna say that you forgot to bring for couple of times, Richard?”
Aku berusaha mengempiskan badanku, merunduk dan memasang wajah memelas.
Namun gagal.
“Try to find it”
“Fine, teacher” ujarku sembari beranjak naik. Dengan susah payah. Entahlah, pagi ini aku lemas sekali, padahal mom sudah memberiku sarapan sandwich cracker isi tuna kesukaanku.
“How is it? Do you find your book?”
Ugh!
“Still trying, Teacher.”
Beliau adalah guruku, merangkap juga wali kelasku. Setiap hari aku bertemu dengannya, sebagai pengganti orangtuaku. Dia menyuapiku kala aku tak mau makan, mengajariku, bahkan mengurusku dengan telaten kala aku merasa tak enak badan dan orangtua ku tak dapat langsung menjemputku pulang.
Baik sihhh…
“Ah, I found my book, Miss.” Ujarku dengan ceria, namun aku mendapat amukan dari beliau. Katanya suaraku terlalu keras dan mengganggu. Well, mungkin suaraku memang over sih sebenarnya.
Akhirnya aku duduk kembali di kursi kecilku. Dan aku mendengar guruku mengoceh sembari menulis dan menggambar tidak jelas di papan tulis. Entah itu apa. Aku malas untuk melihat buku.
Seperti hari-hari kemarin, tak seru sama sekali dikelas ini.
Jam berganti jam hingga aku dan temanku memasuki jam pelajaran terakhir.
Tetapi aku sadar satu hal, aku bukanlah murid rajin apalagi cerdas. Sehingga terkadang aku tak tahu seharian ini pelajaran apa yang telah aku pelajari di kelas. Karna beliau dan guru-guru lainnya kerap kali angkat tangan mengurusku.
Kulihat temanku mulai mengambil pensil dan penghapus dan terlihat mengerjakan sesuatu. Aku ikutan, ah kataku dalam hati, mengambil inisiatif. Aku melirik kearah Kristal, sekedar ingin tahu aku harus mengerjakan apa.
Oh, halaman 45, Kolom terakhir “Filling the Gap”
Baru melihat saolnya saja aku sudah pusing. “Teacher, I don’t understand. How to do it?” harusnya aku berkata seperti itu pada teacher, tapi nyatanya tak kulakukan, alih-alih day dreaming again. Aku tak peduli lagi jika nanti teacherku marah. Sudah biasa.
Mereka selau terlihat marah dan galak setiap kali aku keliling kelas, padahal mereka tak tahu betapa bosannya diriku berdiam diri di sepasang kursi dan meja mungil yang selama ini menemaniku. Aku hanya ingin bermain, itu saja! Tetapi mengapa orang-orang dewasa tidak memahami itu? Bukankah mereka juga pernah kecil sepertiku? Atau jangan-jangan teori sebenarnya adalah yang dewasa langsung dewasa dan yang anak-anak tetaplah anak-anak selamanya? Tak tahu lah aku, membayangkan menjadi anak-anak selamanya yang menghabiskan waktu seharian di sekolahd an dijejali tugas sangat mengerikan untukku membayangkannya.
Ah, kalau saja masa anak-anak yang aku alami sama persisi dengan masa anak-anak Peter Pan, pasti sangat mengsyikkan. Peterpan selalu bermain setiap hari dan teman-temannya selalu mengerubunginya. Tak pernah ada tugas, tak pernah ada belajar wajib untuk ujian, tak pernah ada kerja kelompok dan praktek science, tak harus belajar bahasa asing.
“Richard?!! Are you paying attention to me?!!” aku terlonjak ketika mendengar beliau meneriakiku.
Ah, aku melamun. Tanpa kusadari.
“Why you always day dreaming in the class?”
No, I think I do it everytime I don’t understand what my teacher’s tought me. kataku dalam hati. Aku hanya tersenyum lebar.
empat—lima—enam—tujuh detik. Ah, kakiku pegal, badanku juga. Sesaat kemudian aku mengacungkan tangan, “Miss, may I drink?”, dia menjawab “Okay, you may.”
Aku segera menyelinap kebelakang kelas, mengambil botol minum penyelamatku dan meneguknya. Aku memperhatikan dengan seksama air dalam botol yang berangsur-angsur berkurang, ah, botol ini penyelamatku. Membuat badanku akhirnya punya alasan untuk bergerak. Aku mengintip kelas ini, kulihat beberapa temanku mulai terlihat bosan, terutama Nelson dan Jeremy. Mereka menggerak-gerakkan kaki mereka dan mulai berbisik-bisik. Beruntung sekali mereka duduk paling belakang. Aku beranjak maju kearah bangku mereka karna iri dan penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Sebelum aku semakin mendekat, masih kulihat teacher masih meladeni Stefannie, murid baru yang aktif bertanya itu. Aman lah..
“Hsst..”
Nelson dan Jeremy menoleh padaku.
“Heh, Richard. Kau mau ikut gabung dengan kita gak?” Tanya Jeremy. Seakan dia tahu alasan aku mendekat kearah mereka.
“Apa?”
“Brian, my brother, has a cool toy. He got it from a quiz about Lego Movie last tw days.” Timpal Nelson.
“Really? Aku juga mau ikut waktu itu, tapi mom melarangku karna aku harus les drum waktu itu.”
“Makanya, nanti bilang aja sama mom mu kalau kau akan ikut Jeremy kerumahku. Bilang aja, mom ku yang mengundangmu.”
“Richard,Jeremy, Nelson!!! Stop discussing. Just do your work!!” suara itu kembali menguar di telinga kami. Aku segera menutup botol minumku dan mengembalikan ketempatnya. Lalu berniat kembali ke tempatku.
Namun…
Krriiingggggg!!!!
Bell pulang.
Omigot, I don’t event get anything today. What about if mom ask me what I’ve learned today?
Teacher, I don’t understand  what I should learn for today.

--end--

You Might Also Like

0 komentar