Moments – Call Me
October 26, 2014
=================================================================
Semenjak
pertemuanku dengan gadis yang ternyata bernama Anita di ruang rapat kemarin.
Tunggu, bukankah seharusnya aku memanggilnya Bu Anita? –sial sekali aku,
bagaimana bisa aku jatuh cinta pada atasanku sendiri? Mau ditaruh dimana harga
diriku sebagai seorang lelaki? Harusnya jabatanku lebih tinggi dari dia, kan?
Nasib… nasib.
Ah, tapi mungkin memang suratan takdir yah, aku dipertemukan dengan wanita yang
derajatnya lebih tinggi dariku.
“Boi, ngapain
kamu pagi-pagi ngelamun? Ngelamunin bu Anita—wanita halte bus pemikat hati?”
Kutu busuk!
Dandi
menjawilku dengan semena-mena. Membuyarkan anganku yang memikirkan bagaimana
masa depanku dengan ‘dia’—uhuk, bu Anita maksudnya.
“Kamu kenapa
sih, tidak di kosan, tidak di kantor, selalu saja perusak suasana!” ujarku
memukul pelan pahaku—tanda gemas.
“Boi, dia
atasan kita, boi. Ngayalnya jangan ketinggian lah!”
“Ngayalku
ketinggian, ya? Tapi itu kan hakku sebagai manusia untuk bisa mencintai
siapapun.”
“EIts, kamu
ngobrol soal HAM? Iya itu emang hakmu. Tapi kamu harus jadi CEO dulu baru bisa
tebar pesona ke bu Anita.”
“Jadi CEO, ya?
Tapi apa aku bisa?”
“Ehm, kalian
pegawai baru ya?”
Suara seorang
perempuan menggetarkanku—mungkin Dandi juga. Kami menoleh dan lebih kaget lagi.
Wah, mungkin wajahku sudah seperti orang bodoh dengan IQ rendah. Mulutku
terbuka lebar, mataku menatap lurus pada perempuan itu, dan dadaku berdegub
lebih cepat dan super kencang. Oh, tidak. Aku tak dapat mengendalikan diriku
sendiri!
“Iya, bu. Kami
belum sampai dua minggu kerja disini.” Samar-samar kudengar suara Dandi. Anak
laki-laki itu menjawab.
Mati aku! Aku
benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Apa aku pingsan?!
“Woy!”
samar-samar lagi kudengar Dandi memanggil namaku.
Dan aku melihat
Anita melihat kearahku sekali lagi.
Duak!!!...
Lalu tiba-tiba,
aku merasakan kakiku nyeri.
“Aw!” seruku,
dan aku berhasil keluar dari cengkeraman—pesona Anita, yang melumpuhkanku
sesaat.
“Kau lulusan
Universitas Brawijaya yang pandai Bahasa Jerman itu, kan?” Ujar Anita lagi.
Kali ini wanita itu mengucapkannya sembari menunjukku. Aku gelagapan.
“Iya, Bu.”
“15 menit lagi
kamu ke kantor saya, ya. Saya tunggu!”
Lalu wanita itu
pergi tanpa permisi.
“Cieeee….. kamu
dipanggil tuh! Berdua saja sama dia. Ayo cepat kesana.” Dandi mengusikku lagi
setelah wanita itu berjarak 4 meter dari tempat kami duduk.
“Sekarang?”
“15 menit lagi,
bodoh. Kau tidak mendengarkan yah dia bilang apa?“ Ujar Dandi terdengar gemas.
Dan aku terkekeh.
“Aku berangkat
sekarang aja!”
“Hey!”
Aku menoleh
kearah Dandi
“Yasudahlah,
tunggu cintamu didepan pintu kantornya.” Kata Dandi meneruskan kalimatnya.
Kemudian tersenyum geli.
Aku jadi salah
tingkah.
0 komentar