Dear, Dearest
October 18, 2014
Fanny
menelungkupkan wajahnya dan membungkus tubuhnya dengan selimut tebal
favoritnya. Gadis itu telah terdiam sejak beberapa belasan bahkan puluhan menit
yang lalu. Hingga akhirnya tangisnya pun pecah, tak mampu lagi ia menahannya. Air
matanya membanjiri relung hatinya yang mengering lantaran merindukan seseorang
yang terbiasa mengisi perasaannya. Kedua bahunya itu bergerak naik turun karena
sesenggukan. “Ah, masa bodoh.” Ucapnya pada diri sendiri. Ia tak peduli lagi
tangisnya akan meledak dan terdengar oleh tetangga apartemennya. Toh, gadis itu sudah menyalakan sebuah
musiK keras-keras—tapi tidak terlampau keras.
“Keparat!!
Dasar!!!...” dan berbagai kata-kata kotor akhirnya keluar dari bibir cantik
gadis itu. Semua itu ia keluarkan sepuasnya malam ini. wajar saja jika memang
Fanny melakukannya malam ini, sebelumnya ia telah memendamnya selama 3 bulan,
namun semua itu tak mampu ia tahan lagi.
Tangisnya pecah dan kata-kata buruk pun ia keluarkan hingga gadis itu merasakan
kelegaan yang lumayan di dadanya yang amat sesak baginya.
Honey, I am sorry. I don’t mean to hurt you or leave you. I
love you, you know that. And I know you still love me too. Tunggu saja waktu
yang tepat, aku akan berlari memelukmu saat itu juga.
“Sial!!
Siapa dia berani berbuat seperti ini padaku!!” rutuk Fanny.
Memang
selama tiga bulan ini Fanny merasakan sakit dan kerinduan teramat dalam karena
kekasihnya—Wufan—tiba – tiba menghilang tanpa kabar apapun. Jelas hal itu
membuat Fanny panik. Bahkan gadis itu hanya mendapat beberapa kabar burung yang
ia kumpulkan sendiri. Menyedihkan memang jika harus mengumpulkan berbagai kabar
burung hanya untuk mengetahui kabar kekasihnya.
Sembari
sesenggukan, Fanny memperhatikan ponselnya yang menunjukkan isi SMS
kekasihnya—wufan. Tak lama kemudian, ponselny kembali berkedip-kedip. Sebuah panggilan
masuk.
Panggilan
dari Wufan. Kekasihnya—yang menghilang.
“Hai,
babe.” Sapa suara berat dari seberang. Suara yang amat Fanny ingin dengar.
“Hmmm???”
jawab Fanny dengan nada lemas dan malas, wanita itu berusaha keras
menyembunyikan rasa gembira dan detakan jantung yang hampir copot.
“Kok
cuman gitu aja?”
“Memang
aku harus bilang apa, Yifan? Aku harus teriak kegirangan karna akhirnya kamu
meneleponku?”
“Yah,
tunjukkan dong!!! Aku pengen denger kamu teriak kegirangan di telepon karna
aku. Aylah, Beb.”
“Oh,
Hay, Baby. Finally… kamu telpon jugak. Aku kangen tahu!!! Aku udah nunggu
lama!” kataku dengan nada yang kubuat segirang mungkin.
“Gitu??....”
tanyaku. Suaraku kembali normal.
Hening.
“Yifan?
Re u still there?”
“….”
Namun,
suara tawa Yifan terdengar setelah tiga detik tadi.
“Hahahahahaha…..”
“Stop,
Yifan! Telingaku bisa sakit kalau kau tertawa keras seperti orang kerasukan
begitu.”
Namun
tak mempan. Yifan tak segera menghentikan tawanya.
“Kangen
deh sama kamu, beb. Aku kerumahmu ya?!”
“Memang
kamu lagi di Cina? Bukannya kamu lagi di galaksi luar Bimasakti?!” tanyaku
dengan nada sarkastis.
“Eits,
jangan salah, sayang. Meskipun aku sedang tidak di galaksi Bimasakti pun aku
akan datang secepat cahaya kalau kamu yang memanggilku.”
Aku
tersenyum. Tergoda dengan kata-kata gombalmu yang terdengar manis di telingaku.
Blushing.
“Cih!!
Memang kamu alien?”
“Loh,
gak percaya? Coba aja. Ayo, panggil namaku!!”
“Wu
Yifan, kemarilah. Aku kangen berat sama kamu.” Kataku akhirnya, bertindak
konyol seperti yang biasa lelaki itu lakukan. Aku tertawa selepas mengucapkan
hal aneh itu.
“Baiklah,
sayangku! Aku datang. Hup…” jawabnya.
Entah
bagaimana, aku sendiri merasakan goosebumps. Aku memperhatikan dinding-dinding
kamarku yang berwarna neon ungu terang. Seolah menantikan sesuatu yang magis
datang menghampiri. Konyol sekali.
Tok
tok tok ….
Aku
bergeming. Mungkinkah itu Wu Yifan? Bagaimana bisa? Lalu aku menepuk dahiku
sendiri. Lampu ponselku saja belum redup pasca aku telponan dengan Wufan.
“Siapa?
Mama ya?” tak ada jawaban. Ketukan itu berlanjut.
“Siapa
sih… masuk aja, gak dikunci.” Jawabku akhirnya.
Pintu
kamarku pun terbuka.
Disana
aku menemukan sosok yang amat kurindukan. Amat sangat.
“Baby,
Im right here.” Ujar lelaki favoritku itu.
Wu
Yifan datang, membuka pintu kamarku dengan sambutan hangat.
Aku
berlari kearahnya dan melompat untuk memeluknya dengan erat.
“Aku
kangen aroma maskulinmu, beb.” Ujarku sembari menenggelamkan kepalaku kedalam
ceruk bahunya yang kini terlihat makin dalam.
Lelaki
itu balas memelukku dengan erat pula.
0 komentar