Tabungan Emak dan Bapak.

March 29, 2011

Hari ini hujan lagi, entah apa yang terjadi dengan bumi ini. Semakin tua semakin ngawur saja. musim yang seharusnya musim kemarau tiba-tiba saja berubah menjadi musim hujan, hampir tiap sore sampai magrib hujan deras. Tiba-tiba aku teringat waktu kecilku bersama emak di gubuk gedek (anyaman bambu) kami yang nyaris roboh. Waktu itu bapak sudah tak ada lagi ditengah-tengah kami, beliau meninggal saat usiaku menginjak 10 tahun, beliau meninggal karena kanker kulit yang dideritanya dan tak tertolong karna keterbatasan biaya yang kami miliki. Dulu sewaktu bapak masih ada, tiap kali hujan mengguyur tanah, bapak bergegas mengambil beberapa ember untuk menampung air dari rumah kami yang hampir semuanya bocor, Emak memasak air untuk menghangatkan suasana, sedangkan aku menyalakan obat nyamuk , nyamuk-nyamuk itu senang sekali mampir berbondong-bondong kerumah kami apalagi di waktu hujan begini. Namun setelah bapak meninggal aku dan ibu lah yang mengambil ember-ember itu. Semua itu selalu saja kami lakukan karena kondisi rumah kami yang sebenarnya tak lagi layak huni. Tapi mau bagaimana lagi, Cuma ini rumah yang kami punya. Emak dengan pekerjaannya sebagai pedagang sayur tak mampu memperbaiki rumah kami. jangankan memperbaiki, membeli selambu (gorden tradisional) penutup kamar saja kami harus menunggu waktu lama demi terkumpulnya uang.
Tiap hari aku membantu emak bercocok tanam di kebun kecil kami yang terletak dibelakang rumah. Kami bekerja mulai siang sampai sore dan memanen beberapa sayuran yang memang telah layak panen, pagi-pagi sebelum subuh aku dan Emak bersiap-siap kepasar untuk menjual hasil panen kami. Sedangkan Jam setengah tujuh aku bersiap kesekolah. Yah, walaupun keadaan perekonomian kami sangat dibawah standar, emak menyuruhku untuk tetap melanjutkan sekolah, bagaimanapun caranya. Aku bersekolah di sebuah sekolah menengah pertama negeri di desa kami yang menggunakan dana BOS, jadi Emak tak perlu berpikir banyak tentang sekolahku, kami hanya mengeluarkan uang untuk membeli buku dan alat tulis lainnya, walaupun Cuma alat tulis, saat liburan datang aku tetap harus bekerja mencari uang tambahan untuk keperluan sekolahku. Kalau hanya mengandalkan uang Emak saja tak akan cukup.
Itulah perjuangan Emak untuk membuatku terus bersekolah, aku memang sayang sekali pada Emak. Namun terkadang muncul juga perasaan dongkol terhadap beliau, bagaimana tidak. Setiap habis dari pasar emak selalu berdiri di depan lemari usangnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku tak pernah tahu apa isi lemari itu hingga membuat Emak tampak selalu bahagia, tapi Emak tak pernah memperbolehkanku melihat isi lemari usang itu.
Suatu ketika emak menderita bronchitis. Aku sendiri tak tahu apa sebabnya dan bagaimana menyembuhkannya. Aku tak bisa hanya mengandalkan dokter puskesmas dekat rumah kami, jangankan dokter, perawat saja memperlakukan kami seenaknya, hanya karna kami menggunakan kartu miskin. Dengan keadaan yang lagi-lagi faktor ekonomi itulah nyawa Emak tak tertolong, seperti halnya Bapak. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Emak berkata padaku untuk membuka lemari rahasianya, sebenarnya aku sangat deg-degan saat membukanya, apakah ini berhubungan dengan ku?. Saat kubuka, aku menemukan sebuah celengan gajah yang terbuat dari tanah liat dengan ukuran lumayan besar. Saat kuangkat celengan itu terasa sangat berat.
“itulah celengan Emak dan Bapak, ketika beliau masih Hidup. Sekarang Emaklah yang harus memenuhi celengan itu sampai penuh.”
“apa maksud emak?.”
“Emak dan Bapak membeli celengan itu, untuk menabung. Tabungan itu kami persembahkan untukmu, nak. Putri semata wayang kami. ”
Mendengar itu, air mataku langsung meleleh. Ternyata Emak dan Bapak mengumpulkan uang untukku dicelengan gajah itu.
“pakailah celengan itu untuk melanjutkan belajarmu. Maafkan Emak dan Bapak, nak. Mungkin isi celengan itu tak mencukupi kebutuhanmu, namun ingatlah, kamu harus jadi anak yang pandai dan sukses. Walaupun Emak dan Bapak tak bisa melihat kesuksesanmu, tapi Emak dan Bapak akan terus mendoakanmu walaupun didalam liang lahat kami”
Aku langsung memeluk Emak. Seketika itu pula beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
***
“Ma, aku mau susu. Aku kedinginan” suara anakku mengagetkanku sekaligus membuyarkan lamunanku.
“mama kok nangis?” Aku langsung menghapus air mataku.
Emak, Bapak. Anakmu sekarang telah sukses, sekarang aku telah meraih cita-citaku sebagai Duta Besar Indonesia di Kanada. Berkat tabungan dan doa kalian lah, aku menjadi seperti ini. Terimakasih Emak Dan Bapak, aku selalu menyayangi kalian.

You Might Also Like

0 komentar