(Vignette) 365 days
September 22, 2013
sumber gambar: http://www.colourbox.com/preview/4640158-788730-2013-calendar-september-colorful-torn-paper.jpg
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kau membuka lemari
pendinginku dengan gayamu yang masih sangat kuingat.
“Kau membuat jus Jambu
gak hari ini?” aku mengangguk menjawabnya. Masih berkutat dengan laptopku.
Mengambil jus jambu
kesukaanmu. Masih sama seperti yang dulu. Aku memperhatikan semua tingkahmu
yang masih banyak tak berubah seperti dulu. Dari sudut mataku tentu saja.
Lihat, bahkan tanpa
mengarahkan mataku dan tubuhku saja aku masih bisa mengamatimu. Kau pasti tak tahu itu.
“Lay, kau mau kuambilkan
juga?”
Aku menaikkan kacamataku
dan melihatmu. Tak tahan hanya dengan melihatmu dari sudut mata saja, itu tak
cukup bagiku.
“Tidak, buat kamu saja
semua. Ntar aku buat lagi.” Kau membalasnya dengan senyum lebar serta loncatan
kecil yang kau buat. Aku berusaha tersenyum setipis mungkin, setidaknya agar
lesung pipiku tak terlihat.
~
September, 2013
-
Sebagai seorang pria
aku rasa terlalu berlebihan jika harus memperhatikan refleksi diriku dalam
waktu yang cukup lama didepan cermin. Ah, aku tak tahu mengapa gugup sekali
hari ini untuk bertemu dengannya. Aku pun dia telah membuat janji untuk bertemu
di salah satu kafe langganan kami, tentu saja untuk memperingati hari jadian
kami setelah setahun bersama. Kira-kira warna baju apa yang dia pakai? Hijau?
Ya, gadis itu penggemar warna hijau. Tapi aku tak begitu pantas pakai warna
hijau. Ah, mungkin aku pakai biru denim saja lah.
Sedari pagi aku tak
menghubunginya sama sekali demi hari ini. Yah, aku memang berencana tidak
menghubungi gadis itu semenjak percakapan kami via telepon semalam perihal
rencana date kami. Biarlah!
Tapi, rasanya sedikit
aneh jika gadis cerewet seperti dia tidak mengamuk padaku dengan menghujaniku
tumpukan pesan singkat.
Mungkin dia akan protes
padaku waktu kita ketemu nanti? Ah, mungkin saja. Lagi pula aku tetap menyukainya
bahkan walaupun ia memarahiku.
-
“Maaf aku terlambat,
sayang.”
“Tak apa.” Dingin. Apa
dia benar-benar marah padaku?
“Kau marah? Tadi itu
aku terjebak macet, sayang.”
“Tidak. Tak apa.” Ia
lagi-lagi mengucapkannya dengan dingin.
“Apa kau sudah memesan?
Kalau belum aku saja yang memesankan.”
Namun, ia mengurungkan
tanganku yang hendak terangkat untuk memanggil pelayan.
“Aku sudah pesan. Aku
pesankan frappuccino untukmu.”
Ujarnya, kali ini dengan tersenyum.
“Right, aku memang mau pesan itu.” aku membalas senyum manisnya
dengan tulus.
Gadis favoritku tak
banyak bicara sore ini. Kenapa dia?
“Lay, ada yang sangat
ingin aku bicarakan padamu.”
“Ya? aku pasti akan
mendengarkanmu. Apa it …”
Sebelum aku selesai
mengucapkan kalimat tanyaku, ia mengusung jari telunjuknya padaku. Membungkam
mulutku dan berujar, “Sebelum aku menjelaskannya. Maukah kau berjanji padaku?”
“Anything for you.” Jawabku
Gadis itu menjelaskan
padaku apa yang harus kujanjikan padanya, bahwa aku tak akan membuang apapun
benda yang ada diatas meja ini, tidak akan membanting pintu kafe ini, tak akan
mengeluarkan kata makian, dan dua kata terakhir yang membuatku khawatir ‘Jangan
menangis’.
“Apa yang akan kau
katakan? Katakan dengan cepat dan singkat.”
Gadis itu menghela
nafas berat sedangkan aku menahan nafas.
“Aku ingin kita putus,
Lay” aku terkesiap dengan penuturannya.
“Ke … kenapa?”
“Kau pantas mendapatkan
yang lebih baik dariku.”
“Tunggu, apa maksudmu?
Kau yang terbaik, Rhea. Aku … ” aku merebut jari-jari lentiknya, namun ia
melepaskan tanganku.
“Tolong, biarkan aku
pergi.”
Aku kaget hingga tak
tahu harus mengeluarkan ekspresi wajah seperti apa padanya. Dia, aku sangat
mencintainya.
“Ayo, aku antar kau
pulang.” Itulah pilihan kalimat yang terlontar untuknya. Aku tak tahu mengapa
aku memilih kalimat itu alih-alih meminta penjelasan darinya. Aku memasukkan
kembali bungkusan kado kotak kecil dalam saku celanaku yang sebelumnya hampir
kukeluarkan.
Ia sempat menolak
tawaranku, namun aku mengambil pergelangan tangannya dan menuntunnya menuju
mobilku.
-
“Lay, maafkan aku.” Aku
mengabaikannya.
“Kau berjanji padaku
untuk tak menangis kan?” aku masih mengabaikannya dan menekan lebih kencang gas
kemudiku hingga sedikit di atas batas normal.
“Lay … Bahaya …”
Aku tak menoleh padanya
sedikit pun dan berujar dengan dingin padanya, “Diam, Rhe.”
~
“Kau sekarang jalan
dengan Kris ge, kan?”
Kau hampir menumpahkan
jus jambu yang hendak kau masukkan dalam gelas. Kau mengurungkan niatmu untuk
menumpahkan jus jambu lebih banyak lagi. Kemudian menghampiriku duduk berseberangan
denganku, disalah satu sudut sofa panjang yang sering sekali kau duduki dan
kutiduri ketika kau menginap disini.
“Lay …”
“Tak apa, aku hanya
menanyakannya.”
“Lay, aku …”
“Tak masalah. Kris ge
lebih keren dariku, tak heran banyak gadis tergila-gila padanya. Kau tahu aku
tak akan percaya bila ada gadis yang menolak cinta lelaki macam Kris.” Aku
tersenyum getir ketika mengatakannya.
“Maaf.”
“Tak perlu minta maaf,
seseorang tak akan masuk penjara jika harus berpindah hati …”
“Santai saja,” lanjutku
Kris ge adalah salah satu rekan kerjaku dan
sahabat dekatku, ia memang tipe lelaki yang tak mudah terbuka soal
percintaannya. Dua bulan lalu, aku mengenalkan Kris dengan kekasihku dan tak
kusangka merekalah yang kini pasangan kekasih diantara kami bertiga. Butuh
waktu seminggu untuk mengendalikan perasaanku dan menerima kenyataan yang harus
kuhadapi.
“Lay, percayalah waktu
itu aku berusaha meredam perasaan ini.”
“Dulunya kan?” kau
gelagapan menjawab pertanyaanku ini. Dan memilih menenggak habis jus jambu
ditanganmu.
“Perjuanganku selama
ini sia-sia ternyata. haha” aku tak kuat menahan gemuruh hatiku
yang-kau-pun-tak-akan-dapat-membayangkan-perihnya.
“Tolong jangan seperti
ini.” Kau terisak. Tuhan! kenapa kau mudah sekali menangis?! Kau tahu aku
selalu tak tahan jika melihat kau menangis apalagi jika aku penyebabnya.
“Kalau tak tahan kau
bisa pulang sekarang.”
Aku tak percaya dengan
apa yang baru saja kukatakan. Aku
mengusir gadis yang butuh waktu hampir satu setengah tahun bagiku untuk tahu
namanya?.
“Kau mengusirku?”
Aku mengacak rambutku
gemas. Tolong jangan perlihatkan ekspresi
seperti itu padaku, Rhea-ah.
“Kris ge akan
menjemputmu, kan? Aku akan telfon dia sekarang.”
“Tak usah, aku naik
taksi saja.” Kau beringsut sambil memakai tas bahu kesayanganmu, bersiap menuju
pintu apartemenku.
“Rhea-ah…” aku berjalan mendekatinya.
Mengeluarkan sesuatu dari ceruk celana santaiku.
“Aku yakin ini milikmu,
aku sungguh tak tahu kepada wanita mana lagi ini harus kuberikan.”
“Anting?” Ucapmu dengan
mulut berbentuk ‘O’. aku dapat melihat bahwa airmatamu seketika mengering.
“Dulu aku hendak
memberikannya padamu ketika kita bertemu untuk hari kebersamaan kita setahun.”
Aku menjelaskannya dan melihatmu dengan ekspresi semakin terpana melihat
sepasang kilauan anting.
“Aku tak tahu kau akan
suka atau tidak. Jika kau tak suka, kau bisa membuangnya atau bahkan
menjualnya. Aku tak peduli dan jangan ceritakan padaku apa yang akan kau
lakukan pada anting itu. …” aku menggantung kalimatku sesaat, menarik nafas
panjang.
“Yang terpenting aku
merasa lega telah memberikan ini padamu.”
-
SELESAI
-
6 komentar
Lay-ah, I really know how you feel. Arrgh, I experienced the same thing. The moment when you were the one who wanted to break up and leave. Heuheu~
ReplyDeleteKris' charisma is undeniable that Rhea can't contain it -________-
loh, Tun. Lay masih suka sama Rhea, tapi Rhea nya yang pgen putus gara-gara kepincut Kris :3
Deleteeh, kayaknya aku yang salah paham ya ini. 'The moment when you were the one who wanted to break up and leave. Heuheu~' itu maksudnya si Rhea ta? hahaha
DeleteIyaa, maksudku si Rheanya yg pengen ptus, hehe. Oalah, Kris. .Kris~
Deletehahaha, punyamu segera dirilis ntar. hehehe
Deletesemoga suka >o<
Hahaha
ReplyDeleteRhea jahat ya..
Salah Kris tauk. Sapa suruh punya tampang songong kayak gitu. kekekeke