Diliges Confido
September 04, 2013
photo source: http://www.thekjblog.com/wp-content/uploads/2009/07/a003.jpg
------------------------------o0o--------------------
Kepercayaan.
Ya, itulah yang bisa kuberikan sebagai sahabatmu.
Aku
menganalogikan kepercayaan layaknya menuangkan segelas susu untuk kau minum,
aku meyakinkanmu bahwa itu benar-benar susu bukan racun.
Aku
ingin susu itu lambat laun menjadi minuman terenak, termanis, terhangat dan
menjadi sebuah candu untukmu.
-----------------------------o0o--------------------
“Quin
Rae, percayalah padaku. Aku akan mengeluarkanmu dari jebakan ini”
Gadis itu masih
terdiam. Sebuah buku masih berada digenggaman tangannya dengan pandangan mata
kosong. Tubuhnya berisyarat bahwa Ia menggigil ketakutan.
***
Terlihat
dua sahabat dengan perawakan oriental berjalan sejajar setelah memarkir
mitsubitshi hitam metalik ditempat parkir yang berada disebuah bangunan bernama
Blomy. Sebuah bioskop yang baru saja dibuka dan menawarkan diskon 10 persen
untuk pembelian tiket bagi semua pengunjung hari pertama. Terlebih bioskop
tersebut menayangkan film terbaru yang diangkat dari sebuah puisi karya
sastrawan terkenal Inggris.
The Raven,
nama film tersebut yang diambil dari judul asli sebuah puisi karya Edgar Allan
Poe. Sastrawan klasik yang hidup pada abad ke-19. Film The Raven terinspirasi
dari kehidupan Poe dan puisinya berjudul The Raven. Film tersebut menggambarkan
dengan detil mengenai kehidupan Poe dan disekitar saat itu, bahkan hadir pula
Emily, istri Poe, didalamnya. Semua elemen dalam film tersebut merupakan bagian
dari hidup Poe kecuali kisah pembunuhan berantai yang terjadi dalam film
tersebut. Kisah pembunuhan berantai yang terdeskripsi sesuai karya Poe itu
merupakan sisipan fiksi yang ditambahkan oleh si penulis film.
Sebagai
mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan,
mereka dituntut harus menyelesaikan sebuah karya tulis. Kedua orang itu
mengambil The Raven sebagai objek
penelitian mereka. Meskipun film The Raven tak ada hubungan dengan penelitian
mereka tentang puisi The Raven yang
mereka jadikan objek penelitian, namun tetap saja menonton film yang
berhubungan dengan Poe sangat menarik minat mereka.
Mereka
berdua adalah penggemar Poe dan karya-karyanya.
***
Andover, Massachusetts, 13 Januari tahun ini
“Jongin-ah, ayo cepat masuk. Antrian sedang
banyak-banyaknya nih. Kalau kita tak dapat tiket bagaimana?” gadis itu
menyeretku paksa. Ia memang selalu seperti itu, bertingkah seperti anak kecil
jika aku tak segera menuruti keinginannya.
Gadis itu bernama Choi Quin Rae.
Sahabat yang paling aku sayangi.
“Jongin,
cepatlah!” oke, kakiku benar-benar terseret menuju pintu masuk sebuah bioskop
bernama Blomy karnanya.
Kami
berjalan menuju pintu masuk bioskop yang terbuat dari kaca tebal tersebut
setelah pintu itu menggeser sendiri tubuhnya untuk mempersilahkan kami berdua
masuk. Rae masuk bersamaku dengan tangan tergantung disela-sela lengan dan
bagian samping tubuhku. Aku tak keberatan sama sekali. Ketika kami berdua
masuk, terlihat antrian cukup panjang disana. Semoga kami masih mendapat tiket
film The Raven.
Aku
menengok kebelakang punggungku ketika gadisku menyandarkan kepalanya
dipunggungku. Ia terlihat lelah. Akhirnya, Aku mengambil alih antrian Rae. Kami
menghabiskan waktu berjam-jam diperpustakaan sebelum datang kemari. Rae pasti
sangat ingin beristirahat sebenarnya. Namun karena film Edgar Allan Poe ini ia
rela …
“Rae,
duduklah di kursi tunggu sebelah sana. Aku akan mengantri untukmu. Nanti aku
akan menjemputmu kalau sudah dapat tiket” tawaranku hanya dijawab dengan
anggukan kepala dengan senyum simpul diwajahnya. Langkahnya terseret cukup
lemah. Rae, senyuman darimu saja sudah cukup sebagai imbalan mengantri tiket
untukmu. Aku terkekeh dalam hati menyadari kekonyolan yang aku lakukan untuk
gadis itu.
“Tuan
Kim Jong In dan nona Choi Quin Rae dengan kursi F6 dan F7 ya.” Ujar seorang
wanita yang berdiri dibalik meja beton tempatku membeli tiket.
“Silahkan
menikmati. Oya, selain memberi diskon bioskop kami juga memberikan bonus untuk
dua orang penonton hari ini dengan sistem acak yang dilakukan komputer kami.
Dan kebetulan dua tiket yang anda beli terpilih. Anda akan mendapat hadiahnya
dipertengahan film diputar. terimakasih” wanita itu berkata dengan ramah dan
menyodorkan dua tiket yang aku pesan. Memangnya bonus apa? Ah apapun itu, aku
tak begitu mempedulikannya.
Aku
berjalan menuju tempat Rae duduk untuk menjemputnya.
“Rae,
aku sudah mendapatkan tiketnya. Ayo kita beli pop corn dan air soda agar kita bisa
segera naik ke lantai dua”
“Okay,
Jonginee. Terimakasih ya sudah mau mengantrikan” jawabnya dengan senyum ceria
miliknya. Gadis didepanku kini tiba-tiba sangat sehat dan semangat. Tunggu. Apa
tadi dia hanya berakting?. Aku hanya membalasnya dengan mengacak sedikit bagian
atas rambut hitamnya.
Berbalik
dari tempat pembelian makanan minuman kami beralih menuju lantai dua tempat
kami akan menukar tiket ini dengan kaca tiga dimensi sebelum masuk keruangan
nonton kami. Film ini disajikan dalam bentuk 3D. sebelum kaki ini melangkah
menuju tangga pertama, terlihat seorang satpam menyunggingkan senyum pada kami
dan berujar, “Good luck”. Aku membalas senyum laki-laki itu meskipun merasa ada
yang aneh dalam lekukan senyum diwajahnya.
Tak
lama kemudian film segera dimulai setelah penonton duduk dan memasang kacamata
masing-masing. waktu menunjukkan pukul 6 pm, tepat dengan apa yang tertulis
ditiket kami jam film akan diputar. Tak terlambat sedetik pun.
Didalam
layar hitam tersebut terdapat kata-kata pembuka film,
On October 7, 1849, Edgar Allan Poe was found, near
death, on a park bench in Baltimore, Maryland.
The last days of his life remain a mistery.
Setelah
tulisan pembuka film itu hilang, setting berganti dengan memperlihatkan seekor
gagak bertengger disebuah dahan pohon yang berada disamping kursi taman tempat
seorang laki-laki duduk. Wajahnya tak melihat kearah penonton. Kami hanya
melihat punggungnya saja.
Mungkinkah
laki-laki itu adalah Poe?
Kemudian
setting berubah menjadi malam hari dengan hiruk pikuk suara kuda yang berlari
dan jeritan seorang wanita. Nampaknya terjadi pembunuhan malam itu, pembunuhan
mengenaskan seorang wanita muda dengan leher hampir putus. 3 orang polisi
Baltimore mengetahuinya setelah mendobrak pintu sebuah rumah susun yang
dianggap telah terjadi pembunuhan. Scene selanjutnya terlihat segerombolan
gagak (lagi) mengerubuti sesuatu dan berlari terbang ketika langkah kaki
mendekat. Laki-laki itu sepertinya adalah orang yang sama dengan lelaki yang
muncul diawal scene film. Dilihat dari fisiknya, ia adalah Edgar Allan Poe.
Aku
menengok melihat seorang yang duduk terdiam disebelah kananku. Tangannya
menggenggam sekotak popcorn yang aku beli dan memasukkan satu persatu bijinya
kedalam mulutnya. Masih dengan mata mengarah ke layar super besar sekitar 20
meter didepan kami. Dibawah mata itu terdapat sedikit lingkaran hitam, gadis itu
pasti berusaha menyingkirkan mata pandanya mati-matian. Tetapi, lingkaran itu
tak mengurangi ketertarikanku kepadanya. Mungkin aku sudah gila
Gila
hanya dengan melihat dan memikirkan gadis yang kini duduk disampingku.
“Rae,
kau lapar?” kataku. Sebenarnya aku hanya ingin tatapan mataku ini dibalas
olehnya saja.
“Eh.
Huh? Yes, a bit” Hanya itu jawaban darinya? Bukan, maksudku dia hanya sebentar
sekali membalas tatapanku.
Sesaat
kemudian,
---
The
angels
Not
have as happy in heaven
When
envying her and me
Yes,
that was the reason
As
all men know, in this kingdom by the sea
That
the wind came out of the cloud by night,
---
“chilling and killing my Annabel
Lee, but our love it was stronger by far than the love.”
Tiba-tiba Rae menyetarakan suaranya dengan wanita yang membacakan salah satu
puisi Poe berjudul Annabel Lee dilayar raksasa itu. Suara Rae terdengar pelan
dan dalam.
“of those who were older than we-
of many far wisher than we-” mulutnya terus berucap
dengan masih berbisik, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Aku
ikut membalas,
“And neither the angels in heaven
above, Nor the demons down under the sea,” aku ikut
melafalkan bait-bait yang dilafalkan oleh wanita dalam layar itu. Dengan
memandang kearahnya.
“can ever dissever my soul from the soul of the
beautiful of the beautiful Annabel Lee”
aku dan Rae ikut melafalkan bersama-sama. Ia mengucapkannya dengan
membalikkan pandangan yang semula untuk wanita yang terpampang dilayar itu
untuk beralih kearahku.
Scene
demi scene terlewati di film yang
kami tonton. Hingga akhirnya pada pertengahan cerita di menit ke 52:14 aku
merasa sangat ngantuk. Aku menoleh lagi kesebelah ketika perempuan itu
memanggilku.
“Jonginee,
kau ngantuk?” tanyanya sambil melihat kearahku dengan mata sembab sehabis
menangis dan terlihat rona merah di kedua sisi putih matanya. Sepertinya dia
juga amat sangat mengantuk.
“Iya,
sedikit. Kau ngantuk juga? Tidurlah tak apa. Aku akan membangunkanmu ketika
film udah usai nanti” kataku padanya, namun seingatku sepertinya mataku
tertutup setelah itu.
Gelap
Tetapi
Lima
detik setelahnya mataku terbuka. Rasa ngantuk yang semula menggerogoti mataku
mendadak hilang…
Yang
terlihat disekelilingku hanyalah bangunan-bangunan tua. Kota Andover nampak
seperti kembali di zaman abad ke 19. Tunggu!. Sesaat mataku mengerjab melihat
sebuah toko roti yang menayangkan nama jalan dan kota daerah tempat aku
berdiri. I..ini bukan Andover tapi..
Baltimore…
***
Dimana Choi Quin Rae?
Yang
terlihat disekelilingku saat itu hanyalah lalu lalang para manusia kaukasoid.
para perempuannya mengenakan gaun dengan bagian bawah yang menggelembung dan
panjangnya mencapai tanah, sedangkan para pria mengenakan tuxedo dengan bagian
belakang jas yang tampak panjang seperti ekor.
Aku
mengerjab-ngerjabkan mataku berkali-kali, aku tak tahu mengapa aku berada
ditempat ini, mengapa bangunan-bangunan disekitarku nampak seperti bangunan tua
yang hanya aku lihat di film-film klasik, dan foto yang tersisip di buku-buku
klasik yang ada diperpustakaan.
Aku
merasa pening.
Tunggu!
Belum
pula aku menyadari apa yang terjadi, namun ketika aku menundukkan kepala dan
melihat kearah sepatu dan celana…
Aku
pun mengenakan tuxedo. Seperti yang dikenakan para lelaki yang lalu lalang
didepanku.
Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Dimana Quin Rae? Aku berlari-lari tak tentu arah mencari
entah apa. Sepertinya aku terlempar ke kota Baltimore secara tiba-tiba. Bukan “sepertinya”,
tapi memang IYA
Suasana
kota Andover, Ah.. bukan maksudku Baltimore saat ini kembali 1 jam lebih awal,
ketika matahari baru saja mulai memasukkan tubuhnya disela-sela awan yang
seakan menjadi selimutnya. Hari akan gelap sebentar lagi.
Manusia-manusia
yang memakai baju ala Eropa klasik itu baru kusadari bahwa hampir semua dari mereka
membawa sebuah topeng mata, beberapa terdapat bulu-bulu diujungnya, beberapa
lainnya terlihat berkelip oleh manik-manik yang terpasang. Tak hanya topeng
mata mereka yang menarik mataku, namun juga aksesoris rambut yang mereka
kenakan. Para wanita dan pria mengenakan bandana dengan bentuk macam-macam, dari
sekedar headband dari bunga, kabaret
dari dedaunan kering, hingga yang terbentuk seperti tanduk kerbau.
Pesta!
Sepertinya akan ada pesta malam ini
Mataku
tak sengaja mengarah lagi pada sebuah toko roti ketika pertama kali mataku yang
terbuka tadi tertuju. Disebelah toko roti itu terdapat sebuah bangunan yang
cukup megah dengan dua sisi tangga berbentuk setengah lingkaran yang sepertinya
digunakan untuk masuk ke pintu utama rumah itu. Rumah itu dijadikan tempat
pesta para pemegang topeng mata.
Perasaanku
mendadak tak enak. Aku menoleh pada toko roti disebelah bangunan itu lagi. Ada
seorang wanita yang sepertinya aku kenal berdiri dibalik meja kasir didalam
toko. Bu..bukankah wanita itu yang berdiri dibalik meja penjualan tiket film The Raven yang aku beli tadi?.
Tiba-tiba..
Seseorang
menyergap lenganku dengan paksa. Seorang wanita kini mengapit lenganku dengan
sedikit kasar. Wanita itu memakai pakaian klasik seperti yang dipakai
wanita-wanita lainnya malam ini. Bahkan terdapat bandana yang dirangkai dari bunga
diatas kepalanya, dia juga memakai topeng mata yang berkerlap-kelip perak
dibawah naungan cahaya rembulan yang amat terang malam ini. Mataku menengadah
kearah bulan selama dua detik, aku baru menyadari bahwa malam ini bulan
mengeluarkan sinarnya dengan sangat terang dan tak hanya itu. Ukuran bulan
malam ini sangat besar.
Aku
menoleh kepada wanita yang kini memeluk lengan dan menyeretku masuk kedalam
bangunan yang memiliki tangga hampir bundar itu. Wanita itu tingginya sebahuku,
ia setinggi Choi Quin Rae. Aku teringat lagi padanya. Aku harus mencarinya!
“Maaf,
siapa anda?” kataku kepada wanita seukuran Rae disampingku. Aku melepaskan
genggaman tangannya dari lenganku. Namun, sesaat setelahnya tangan itu
bergelayut lagi dilenganku. Apa-apaan
gadis ini!
“Hssh..
Hajima, Jongin-ah. Aku akan menjelaskannya nanti setelah kita masuk kedalam
bangunan tempat pesta itu. Ara?” hah?! Bahkan wanita bermata biru itu bisa
bahasa Korea, dan…tahu namaku. Wanita itu menyeretku lagi hingga menuju pintu
utama bangunan yang memiliki tangga hampir melingkar itu. Aku berjalan
disampingnya dengan kesal. Kenapa gadis
ini suka sekali menyeret orang sih!
Langkah
kami sampai pada pintu besar yang terbuka lebar pada bangunan megah yang
tadinya hanya kulihat dari seberang jalan saja. Gadis disampingku itu terus
saja berjalan lurus masih sambil menggeretku. Gadis itu mengajakku masuk ke
toilet laki-laki, belum sempat aku memprotes ia sudah menyeret tanganku dan
masuk lalu menutup pintu salah satu toilet yang berjejer dari dalam. Ia membalikkan
badan dan menghadapku, tubuhnya bersandar pada pintu yang ditutupnya tadi. Ia
melepas topeng mata yang sebelumnya ia kenakan, dua mata birunya terlihat
memerah dan terdapat genangan air dikedua sudutnya. Hidungnya yang amat sangat
putih itu terlihat merah pula.
“Jongin-ah,
apa kau tak mengenaliku? Kenapa kau bodoh sekali, a..ku bahkan bisa mengenalimu
meskipun mata dan.. bajumu sudah berubah!” berubah? Aku berubah?!. Gadis itu
mengambil sesuatu dari tas pesta mungil yang semula digenggam. Ia memberiku
sebuah kaca kecil.
“Lihat
refleksi wajahmu baik-baik, Kim Jong In” aku melihat kearah gadis didepanku
yang mati-matian menahan tangisnya dengan pandangan bingung. Namun aku
mengambil kacanya juga.
Aku
terhenyak dengan refleksi wajahku sendiri. Mataku yang semula termasuk ukuran
sipit dan berbola mata hitam berubah menjadi lebih lebar dan berbola mata warna
biru terang seperti gadis ini. Apakah gadis ini…. Quin Rae?
“Choi
Quin Rae?” panggilku pelan setelah mengalihkan pandanganku dari kaca kearahnya.
“Ya.
Aku Quin Rae, Jonginee” setetes air mengalir kepipi kirinya setelah
mengatakannya. Mulutku menganga melihatnya mengangguk. Tapi, bagaimana ini bisa
terjadi? Aku masih tak mengerti.
“Jonginee,
apa kau tahu wanita penjaga kasir di toko roti sebelah bangunan ini?” tanyanya.
“Iya.
Ia tampak familiar bagiku”
“Tentu
saja! Wanita itu yang menjual tiket dibioskop tempat kita nonton The Raven. Ketika terbangun dari entah
rumah siapa, aku sudah mendapati pakaian, tas, tatanan rambutku seperti saat
ini, ketika berjalan keluar dari rumah itu Aku menemukannya sedang memasang
beberapa buah roti dietalase tokonya”
Ia
menghela nafas perlahan,
“Katanya
kita berdua mendapat kesempatan untuk ikut kedalam dimensi film The Raven yang sedang kita tonton, dan
kita akan berada difilm ini hingga selesai. Misi kita adalah menemukan pelaku
pembunuhan berantai yang ada difilm ini. Pembunuh berantai itu adalah fans
berat Poe. Ia mempraktikan semua pembunuhan yang terjadi didalam novel-novel
Poe. Dan malam ini pembunuh itu akan muncul lagi dipesta malam ini, Ya, besar
kemungkinan malam ini kita akan bertemu dengan Poe dan orang-orang
sekelilingnya yang menghadiri pesta ini, bahkan Emily mungkin hadir juga. Malam
ini pula kita mulai mencari dan menghentikan pembunuhan berantai itu” aku masih
tercengang oleh cerita wanita yang berdiri dihadapanku ini. Cerita yang
diungkapkan itu tersaring dalam dua kubu diotakku, antara kebohongan atau kenyataan.
Namun, sisi lain hatiku mengatakan bahwa itu benar.
Sesaat
kemudian wanita itu tak dapat menahan air matanya lagi. Ia menangis hingga
sesunggukan.
“Jongin-ah,
aku takut” ia masih mendekatkan punggungnya pada pintu yang mengunci kami
berdua dari dalam. Ia masih menangis.
“Bagaimana
kalau korban malam ini adalah salah satu dari kita? Bagaimana jika pembunuhan
itu dilakukan ditempat? Dan bagaimana jika aku melihatnya. Aku takut, Woo Hyun”
Tak
salah lagi, wanita ini adalah transformasi dari Choi Quin Rae. Aku meraih badan
wanita itu dan memasukkannya dengan protektif kedalam dadaku.
“Akan
kupastikan kau tetap selamat malam ini, Rae. Percayalah padaku” gadis itu tak
menjawab melainkan hanya terus menangis didadaku. Aku mencium kening gadis itu
dan mengajaknya keluar.
“Tetaplah
mengkaitkan tanganmu di lenganku, Rae. Pastikan dirimu tetap berada didekatku.
Kita harus keluar mencari pembunuh itu” aku membimbing tangan Rae masuk kedalam
lengan kananku, kemudian aku menguncinya dengan melipat tangaku didepan dada.
Kami keluar dari toilet dengan perlahan. Seorang laki-laki yang akan masuk
toilet menatap kami dengan pandangan curiga “seems like this couple had their
good time there, huh?” katanya, namun tak kami hiraukan. Kami terus lurus
mengendus-endus disela-sela para tamu dengan berbagai macam bentuk topeng mata
dan penutup rambut sedang berdansa dengan pasangan masing-masing. Mataku
mencari-cari Poe dan Emily, sepertinya Rae melakukan hal yang sama. Namun hal
itu sangat susah dengan terpasangnya topeng mata disetiap orang.
Kemudian..
Terdapat
suara kuda meringkik memekakkan telinga dan jeritan para wanita membuat semua
orang diruang megah ini berhamburan tak tentu arah. aku mempererat proteksiku
kepada Quin Rae. Dari arah pintu, terlihat seseorang memakai baju serba hitam
lengkap dengan slayer hitam panjang yang menutup seluruh punggungnya dan terpasang
topeng yang menutupi hampir setengah wajahnya. Lelaki itu menerobos pintu
dengan masih menunggang kuda hitam miliknya. Sesaat kemudian terdengar sebuah
bunyi tembakan yang ditujukan untuk lelaki itu hingga ia ambruk ketanah.
Kudanya berlari keluar meninggalkan tuannya.
“Baltimore
Patriot!” aku dan Rae mengucapkannya secara bersamaan setelah melihat kejadian
didepan mata kami. Baltimore Patriot adalah salah satu cerita bersambung karya
Edgar Allan Poe yang mengisahkan seorang gadis diculik dari sebuah pesta.
Sayangnya dua hari lalu ketika aku dan Rae yang membacanya bersama disebuah
taman kampus depan perpustakaan waktu itu masih belum selesai menuntaskan
serinya.
Teng…
teng… jam besar yang ada ditengah-tengah ruangan berdenting dengan nyaring
menandakan waktu menunjukkan pukul 12 malam. Aku menggenggam tangan Rae dengan
kuat dan mengajaknya keluar dari kerumunan pesta itu.
Kami
berjalan dalam keheningan, tenggelam dipikiran masing-masing. Malam ini Rae
menawariku, ah, bukan menawari tapi menyuruh, menginap disebuah rumah yang
tiba-tiba menjadi rumahnya.
(Flashback)
Beberapa
menit yang lalu ketika kami hampir keluar dari pintu besar bangunan megah itu,
seseorang menepuk bahuku. Laki-laki itu berperawakan tinggi, lebih tinggi
sekitar 2-3 centimeter diatasku.
“Hey,
Jason. Mau kemana kau? Apa kau melupakan tugasmu sebagai anggota kesatuan
polisi Baltimore?” tangannya mencengkeram salah sisi bahuku dengan kuat.
Ia
memakai topeng mata seperti lainnya, rambutnya yang keriting sepanjang telinga
dibiarkannya tergurai. Ada selendang hitam panjang mirip selendang yang dipakai
gadis kecil dalam cerita gadis
berkerudung merah dan serigala menutupi punggungnya.
***
Tiga
hari sudah aku dan Rae terjebak dalam alur cerita film The Raven. Semenjak kejadian dipesta itu pembunuhan berantai
semakin gencar dilakukan, dan Emily yang saat itu diculik oleh lelaki si penunggang
kuda masih menjadi misteri keberadaannya. Selama itu pula highlight disetiap koran selalu mengenai pembunuhan berantai dengan
metode pembunuhan sadis sesuai dengan karya-karya Poe.
1839..
Saat
ini kami terperosok dalam mesin waktu ke zaman abad 19 ini yang bahkan kami tak
tahu entah bagaimana caranya tiba-tiba sudah berada disini. Menjadi pemain
tambahan dalam film adaptasi karya Edgar Allan Poe ini.
Kemarin
pagi aku dan Rae menemukan headline
berita sebuah koran mengatakan tentang insiden yang berdasarkan karya Poe
lainnya yang berjudul Macbeth.
Percobaan realisasi dari carita Macbeth
gagal kemarin. Dan karena itulah, nampaknya alasan adanya berita pagi ini mengenai
pembunuhan mengerikan yang merebut jiwa seorang pelacur melayang, terdapat
bekas cekikan di lehernya, juga darah segar yang terdapat disekeliling
lehernya. Gagak, binatang misterius yang tiba-tiba berada ditempat kejadian
meninggalnya wanita itu. Mistery of Marie
Roget, judul karya lain dari Poe yang direalisasikan oleh si pembunuh
berantai yang misterius itu. The Serial
Killer, begitu judul highlight di
halaman paling depan yang kubaca. Apa, mereka sudah gila menamainya seperti
itu!..
Kuseruput
lagi secangkir teh yang dibuat oleh Rae. Jadi, ini rasa teh jaman dulu. Sudah
tiga hari ini kami berdua tak bisa tidur dengan nyenyak, pikiran kami selalu
dibayangi bagaimana menemukan pembunuh misterius agar dapat segera kembali ke
bioskop dimana asal mula kami berubah tempat dan waktu saat ini.
“Jadi,
apa yang harus kita lakukan, Jongin?” Rae mengalihkan perhatianku padanya. Ia
juga duduk menikmati secangkir teh yang dibuatnya sendiri, kakinya ikut
diangkat keatas sofa menghadap kearahku.
“Kau
masih ingat kan apa yang kuceritakan padamu mengenai hasil dari rapat singkat
kesatuan polisi semalam? Bisa kau ambil sisi empiris bagaimana pembunuhan ini
memiliki metode sendiri? Mengapa pula Emily diculik?”
“Sepertinya
ia menggunakan Emily sebagai umpan, Jonginee. Ia tak akan membunuh Emily selama
Poe tetap menulis melanjutkan serial-serial pembunuhan yang belum
diselesaikannya” jawabnya sambil memainkan bibir bawah dengan telunjuk dan ibu
jarinya.
“Iya.
Benar aku juga berpikiran sama. Namun ada hal yang aku takutkan. Bagaimana bila
suatu saat nanti si pembunuh tak puas dengan tulisan Poe? Mungkin karena
tingkat stress Poe sehingga ia tak bisa menyelesaikannya sebagus
tulisan-tulisan sebelumnya? It’s possible, right” Rae menganggukkan kepalanya
dan ikut berpikir setelah penjelasanku berakhir.
“Rae,
aku harus pergi sekarang. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku ada pertemuan
dengan kepolisian Baltimore lagi pagi ini ditambah dengan dua orang detektif
yang akan membantu kami” sedikit berat sebenarnya meninggalkan Rae sendirian di
lingkungan berbahaya ini. Namun aku tak ada pilihan, semalam ketua kepolisian
memberitahuku untuk membahas masalah ini dan bergerak lagi. Aku harus segera
menyelesaikan kasus pembunuhan ini.
Sebelum
pergi, kulipat surat kabar ditanganku dan kuhabiskan sisa teh dimejaku. Aku
mendekati Rai, berjongkok didepannya.
“Rae,
berhati-hatilah. Jangan keluar rumah sampai aku datang. Semuanya akan segera
berakhir, aku janji” aku mengucapkannya dengan melihat kearah dua matanya
horizontal.
***
“Hey,
Jason. Mau kemana kau? Apa kau melupakan tugasmu sebagai anggota kesatuan
polisi Baltimore” seorang laki-laki mencengkeram bahuku dengan cukup kuat.
Siapa lagi dia
“Oh,
aku mengerti. Antarkan istrimu pulang dulu dan bergabunglah dengan kami. Ingat,
kalau kau tak kembali bos akan marah besar”
“Istri?
Bos?”
“Apa
kau mengalami amnesia sesaat? Iya istri. Jangan berakting pura-pura lupa didepan
Mrs. Jason yang cantik ini, Jason Tubenfeld” lelaki itu sok akrab padaku, dan…
dia melihat kearah Rae dengan mengedipkan sebelah matanya. What the…
“Sudahlah
pokoknya jangan lama-lama dirumah. Kau lihat ekspresi Mr. field itu? Dia
terlihat sangat geram dengan pembunuh itu yang kini menculik nona Emily. Jika
kau tak kembali dengan segera, dia mungkin akan membunuhmu menjiplak cara
pembunuhan di cerita-cerita Poe. Seperti si pembunuh berantai” mata lelaki itu
mengarahkanku pada seorang pria gemuk dengan rambut tipis dibagian atas
kepalanya. Henry Luke, nama yang terpampang didada lelaki itu. Dia adalah salah
satu anggota kepolisian di Baltimore dan sepertinya aku adalah kawannya didalam
film ini.
“Okay.
Bye, Luke. Aku akan segera kembali” aku menepuk pundak kirinya dan melangkah
keluar bersama Rae.
--
Aku
adalah polisi Baltimore???
Dan
Quin
Rae, adalah istriku???
Aku
menengok kekanan melihat Rae. Sepertinya dia juga memikirkan hal yang sama.
Hening…
“Jadi,
aku adalah istrimu dicerita ini?” aku hanya menunduk. Aku tak tahu harus menjawab
apa, aku pun masih memikirkan apa maksudnya.
“Dan
kau bekerja sebagai polisi, Jongin-ah?” ia bertanya lagi tapi aku tak juga
dapat menjawabnya lagi
Hening
lagi…
***
Matahari
terik menyinari badanku yang telah berkeringat, menjadi semakin berkeringat.
Aku harus segera pulang dan bertemu Quin Rae. Sudah hampir seminggu lebih kami
terjebak dalam film ini.
“Quin
Rae, ini Kim Jong In” kataku dengan mengetuk pintu… rumah kami. Sesaat kemudian
wanita yang selalu kurindukan ketika meninggalkannya itu berdiri didepanku
setelah membuka pintu.
“Ayo
masuk, Jonginee. Ceritakan padaku apa yang terjadi hingga kau tak pulang semalam
dan baru kembali siang hari?”
“Kita
semakin dekat dengan penjahat itu. Kemarin kami menemukan mayat seorang wanita
dibalik tembok saluran air bawah tanah. Mayat wanita itu terjahit bibirnya.
Ketika inspektur Field membuka jahitannya, kami mendapati sebuah jam
didalamnya. Sebelumnya lidahnya dipotong” aku menarik nafas. Masih tersenggal
dengan peristiwa 28 jam yang lalu dan baru saja aku alami. Rae, memberikanku
segelas air minum.
“Melihat
jam itu, Poe langsung berujar bahwa jam itu milik ayah Emily. Si pembunuh
memberikan petunjuk lokasi Emily melalui konstalasi garis bujur pada jarum jam.
Kami bergegas menuju rumah Emily untuk bertemu ayahnya karena tak ada satu pun
diantara kami yang dapat membaca arah navigasi bintang”
“Lalu
apa kalian mendapat lokasi itu setelah membaca jarum dengan bantuan ayah Emily?”
Rae bertanya dengan memotong ceritaku. Ekspresinya terlihat serius dan tak
sabar.
“Iya.
Selama berjam-jam kami bersama ayah Emily berusaha membaca peta jarum yang
dikirim oleh si pembunuh itu. Lokasi itu terletak di Gereja Salib Suci-Paroki.
Belum juga matahari sempat menyinsing, kami bergegas menuju tempat itu. disana
sempat ada baku tembak dan teman kami Henry Luke yang sempat kita temui dipesta
waktu itu tersayat lehernya oleh si pembunuh yang loncat dari atap pintu masuk
gereja” Rae terlihat menutup mulut dengan mata terbuka lebar.
“Bagaimana
keadaanya sekarang? Apa Luke … mati?” tanyanya setelahnya.
“Aku
tak tau. Saat itu kami langsung berpencar mendengar suara tembakan Luke yang
melesat dan mendapati lehernya bersimpah darah. Inspektur Field juga mendapat
tembakan dari si pembunuh sebelum kabur menunggang kuda hitam miliknya. Mereka
berdua langsung dibawa tiga orang dari kami ke seorang dokter yang aku lupa
siapa namanya. Masing-masing dari kami berpencar ke seluruh sisi gereja,
berharap si pembunuh itu belum cukup jauh kabur dari mata kami. Suara teriakan
dan suara peluru yang meleset berkali-kali terdengar selama kurang lebih tiga
jam lamanya hingga kami memutuskan untuk bubar dan pulang terlebih dahulu
setelah membuat kesepakatan bahwa nanti jam 7 malam akan berkumpul lagi di
kantor. Oya, kami juga menemukan makam Emily yang ternyata kosong. Itu sebagai
tanda bahwa hingga saat ini Emily masih hidup”, aku menghela nafas panjang saat
mengakhiri cerita.
Rae
nampak berfikir keras. Aku meneguk habis sisa air putih yang telah kuminum
setengahnya.
“Jongin-ah,
ayo kita ke perpustakaan atau toko buku” ajaknya tiba-tiba.
“Hah?!
Perpustakaan letaknya cukup jauh dari sini, Rae. Tidak. Aku tak mau kau keluar
terlalu jauh dari rumah, meski bersamaku. Ini terlalu riskan, Rae. Bagaimana
kalau toko buku yang terletak tiga rumah dari sini saja?” Rae mengangguk
mengiyakan.
“Lagian.
Untuk apa ketempat buku, Rae?”
“Semua
pembunuhan itu berdasarkan kisah-kisah fiksi yang ditulis oleh Poe. Jadi kita
harus mengantisipasi semua yang akan terjadi dengan membaca karya-karyanya yang
lain”
---
Kami
berjalan masuk kesebuah toko buku berlabel Mare.
Seorang penjaga toko menatap kami aneh. Dan aku merasa ada yang janggal disini,
tapi aku tak tahu apa itu. Kami berjalan menyisir toko itu dari rak pertama ke
rak berikutnya. Rae berhenti tiba-tiba dengan ekspresi terkejut tergambar jelas
di wajahnya, membuatku ikut berhenti dan mendekatinya.
“Jonginee
… ” panggilnya.
“Baca
sampul buku ini. Apa kau juga merasa hal aneh ketika membacanya?” Rae memberiku
sebuah buku lumayan tebal dengan sampul bertuliskan The Mistery of Blomy. Blomy?
Terdengar familiar bagiku.
“Rae,
bukankah Blomy nama bioskop baru yang
kita datangi untuk menonton tayangan perdana film The Raven?. Yang memasukkan kita berdua dalam dimensi film mereka?”
suaraku bergetar. Dan aku lebih menggigil ketika Rae mengiyakan dengan
menganggukkan kepalanya.
Rae
merebut buku yang membuat kita mendapat goosebumps
lebih horor lagi itu. Dibukanya lembar demi lembar. Tiba-tiba sebuah suara
seorang pria mengagetkanku.
“Bagaimana
perjalanan kalian, Mr. dan Mrs. Jason Tubenfeld?” aku kaget melihat penjaga
toko yang tadi berdiri menyambut kami dengan senyum anehnya. Bulu kudukku
terasa meremang. Rae yang terlihat dari sudut ekor mata sebelah kanan pun tak
kalah terkejut melihatnya.
“Apa
kau satpam yang berdiri disamping tangga dan mengucapkan “Good Luck” pada kami?”
diantara ekspresi terkejutnya itu Rae bertanya kepada pria berpostur tinggi besar
didepan kami.
“Waw.
Ingatan anda tak dapat diremehkan, nona Choi Quin Rae” Lelaki itu berujar
dengan sunggingan senyum dibibirnya, membuatku semakin bergidik ngeri. Rae
secara otomatis mengalungkan tangan kanannya diantara lenganku. Kuku ibu
jarinya terlihat memutih ketika mencengkeram salah satu sisi baju yang aku pakai
diarea pergelangan tangan. Dia ketakutan. Tangan kirinya masih menggenggam buku
The Mistery of Blomy itu.
“Well,
kalian sudah memerankan dengan baik karakter kalian dalam film ini. Well done! Dan kalian semakin dekat
untuk mengungkap siapa orang dibalik pembunuhan berantai ini” katanya dengan mengkaitkan
kedua telapak tangannya.
“Katakan
padaku cara keluar dari film ini! Aku tak mau menjadi karakter difilmmu!” aku
setengah berteriak didepan wajahnya. Namun lelaki itu malah tertawa. Tepat
didepan wajahku pula
“Bwaahaha.
Tentu saja kalian bisa keluar dari dimensi film ini dan menjalani kehidupan
normal kalian setelah dapat menemukan siapa pembunuh yang merealisasikan
karya-karya Poe, tuan dan nyonya”
“Berapa
lama lagi film ini akan usai? Kita tinggal mengikuti alur cerita saja kan?!”
Rae bersuara pada pria itu. Suaranya sedikit bergetar.
“Kau
pikir segampang itu? Tentu saja lama tidaknya film ini akan berakhir tergantung
dari lama tidaknya kalian mengungkap pembunuh itu. Dan selama film belum
berakhir, orang-orang yang waktu itu satu ruangan dengan film yang kalian
tonton tak akan bisa keluar dan bahkan berdiri dari kursi masing-masing” aku
semakin ternganga dengan orang ini. Aku tak habis pikir! Dia tak hanya
mengorbankan aku dan Rae, namun juga para pengunjung bioskop yang kebetulan
satu ruangan denganku.
“Apa
kau bercanda, Huh?! Jadi mereka sudah seminggu lebih terperangkap didalam ruang
kotak berlayar besar itu kan? Apa kau tak punya hati, huh!” aku geram dan
berteriak lebih keras dari sebelumnya didepan wajahnya lagi.
“Tenang
saja tuan Jason, ehm maksudku tuan Kim Jong In. Satu hari disini sama dengan
10menit didunia nyata. Jadi karena kalian sudah berada difilm ini selama 10
hari artinya mereka sudah duduk didepan layar selama 100 menit, tuan. Hahahaha so funny it is” lelaki itu tertawa lagi.
“Apa
itu lucu mempertaruhkan orang lain untuk kesenanganmu?” Rae menohok lelaki itu
dengan kata-katanya. Genggaman tangannya pada buku itu terlihat semakin erat,
hingga ujung kuku-kuku itu terlihat memutih ujungnya sangking putihnya.
“Sudahlah,
aku mau pergi dulu. Aku seorang penulis script
film yang sangat sibuk” lelaki itu bersiap meninggalkan kami.
“Jadi
kaulah yang menulis naskah film ini?!” aku mengeraskan suaraku ketika hanya
punggung pria itu yang terlihat.
“Ya.
Akulah penulisnya. hahaha” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun pada kami berdua.
“Apa
ending dari film ini? Beritahu kami,
tuan” kejarku lagi. Tapi dia menjawab “Aku sendiri tak tahu, Sir” ujarnya, masih memunggungi kami dan
berjalan pelan.
“Apa
kau tak menulis akhir dari cerita ini? kenapa kau tak menulisnya? Penulis
naskah macam apa kau!” aku semakin marah pada lelaki itu.
“Ah,
tak seru lah kalau penulis terus yang melanjutkan akhir cerita. Jadi aku ingin
kalian yang menemukan ending film
ini. Ok?” pria itu mengaitkan ujung telunjuk dan ibu jarinya dan menoleh kami
saat melakukannya. Sesaat kemudian ia menghilang diantara cahaya yang amat
terang.
Suasana
menjadi teramat hening ditoko itu.
Hanya
ada aku
Hanya
ada Rae
Dan
pikiran masing-masing yang berkecamuk dalam otak
“Jonginee
aku takut…” suara Rae membuatku melihatnya. Wajahnya nampak pucat.
“Quin
Rae, percayalah padaku. Aku akan mengeluarkanmu dari jebakan ini”
Gadis itu masih
terdiam. Sebuah buku masih berada digenggaman tangannya dengan pandangan mata
kosong. Tubuhnya berisyarat bahwa Ia menggigil ketakutan.
“Kau
ingat yang dikatakan pria tadi bahwa kita hampir masuk pada titik penyelesaian
film ini kan? Jadi percayalah padaku. Yang harus kamu lakukan adalah membantuku
mengidentifikasi pembunuhan selanjutnya dan menjebak pembunuh itu”
Hening lagi…Rae masih
berdiri ditempat
“Apa
kau yakin kita bisa menyelesaikannya, Jonginee?” kata Rae lagi. Kali ini aku
melihat lagi aliran bening dari kedua sudut matanya. Rae menangis. Gadisku
menangis.
“Rae,
semuanya akan segera berakhir. Aku jamin itu” aku memegang kedua sisi bahu
gadis itu ketika mengatakannya.
“Dan
ketika ini semua berakhir. Aku… aku akan membawamu kesebuah tempat yang sangat
indah. Disana aku akan mengungkap sesuatu” mataku tak lepas dari kedua matanya.
Dadaku bergetar hebat ketika mengatakannya. Ekspresi raut wajah yang ditujukan
Rae padaku saat itu hanyalah ‘penasaran’ akan apa yang akan kulakukan.
Rae,
percayalah. Selama ini aku berusaha menjagamu.
Kau
merasakan hal itu juga kan? Aku yakin iya.
Aku tersenyum
disela-sela kesibukan kami mencari-cari dan membaca buku karya Poe di toko buku
tanpa pemilik itu.
---end--
0 komentar