Diliges Confido

September 04, 2013



photo source: http://www.thekjblog.com/wp-content/uploads/2009/07/a003.jpg


------------------------------o0o--------------------
Kepercayaan. Ya, itulah yang bisa kuberikan sebagai sahabatmu.
Aku menganalogikan kepercayaan layaknya menuangkan segelas susu untuk kau minum, aku meyakinkanmu bahwa itu benar-benar susu bukan racun.
Aku ingin susu itu lambat laun menjadi minuman terenak, termanis, terhangat dan menjadi sebuah candu untukmu.
-----------------------------o0o--------------------


“Quin Rae, percayalah padaku. Aku akan mengeluarkanmu dari jebakan ini”
Gadis itu masih terdiam. Sebuah buku masih berada digenggaman tangannya dengan pandangan mata kosong. Tubuhnya berisyarat bahwa Ia menggigil ketakutan.

***

Terlihat dua sahabat dengan perawakan oriental berjalan sejajar setelah memarkir mitsubitshi hitam metalik ditempat parkir yang berada disebuah bangunan bernama Blomy. Sebuah bioskop yang baru saja dibuka dan menawarkan diskon 10 persen untuk pembelian tiket bagi semua pengunjung hari pertama. Terlebih bioskop tersebut menayangkan film terbaru yang diangkat dari sebuah puisi karya sastrawan terkenal Inggris.

The Raven, nama film tersebut yang diambil dari judul asli sebuah puisi karya Edgar Allan Poe. Sastrawan klasik yang hidup pada abad ke-19. Film The Raven terinspirasi dari kehidupan Poe dan puisinya berjudul The Raven. Film tersebut menggambarkan dengan detil mengenai kehidupan Poe dan disekitar saat itu, bahkan hadir pula Emily, istri Poe, didalamnya. Semua elemen dalam film tersebut merupakan bagian dari hidup Poe kecuali kisah pembunuhan berantai yang terjadi dalam film tersebut. Kisah pembunuhan berantai yang terdeskripsi sesuai karya Poe itu merupakan sisipan fiksi yang ditambahkan oleh si penulis film.

Sebagai mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat kelulusan, mereka dituntut harus menyelesaikan sebuah karya tulis. Kedua orang itu mengambil The Raven sebagai objek penelitian mereka. Meskipun film The Raven tak ada hubungan dengan penelitian mereka tentang puisi The Raven yang mereka jadikan objek penelitian, namun tetap saja menonton film yang berhubungan dengan Poe sangat menarik minat mereka.

Mereka berdua adalah penggemar Poe dan karya-karyanya.

***
Andover, Massachusetts, 13 Januari tahun ini

“Jongin-ah, ayo cepat masuk. Antrian sedang banyak-banyaknya nih. Kalau kita tak dapat tiket bagaimana?” gadis itu menyeretku paksa. Ia memang selalu seperti itu, bertingkah seperti anak kecil jika aku tak segera menuruti keinginannya.

Gadis itu bernama Choi Quin Rae.

Sahabat yang paling aku sayangi.

“Jongin, cepatlah!” oke, kakiku benar-benar terseret menuju pintu masuk sebuah bioskop bernama Blomy karnanya.

Kami berjalan menuju pintu masuk bioskop yang terbuat dari kaca tebal tersebut setelah pintu itu menggeser sendiri tubuhnya untuk mempersilahkan kami berdua masuk. Rae masuk bersamaku dengan tangan tergantung disela-sela lengan dan bagian samping tubuhku. Aku tak keberatan sama sekali. Ketika kami berdua masuk, terlihat antrian cukup panjang disana. Semoga kami masih mendapat tiket film The Raven.

Aku menengok kebelakang punggungku ketika gadisku menyandarkan kepalanya dipunggungku. Ia terlihat lelah. Akhirnya, Aku mengambil alih antrian Rae. Kami menghabiskan waktu berjam-jam diperpustakaan sebelum datang kemari. Rae pasti sangat ingin beristirahat sebenarnya. Namun karena film Edgar Allan Poe ini ia rela …

“Rae, duduklah di kursi tunggu sebelah sana. Aku akan mengantri untukmu. Nanti aku akan menjemputmu kalau sudah dapat tiket” tawaranku hanya dijawab dengan anggukan kepala dengan senyum simpul diwajahnya. Langkahnya terseret cukup lemah. Rae, senyuman darimu saja sudah cukup sebagai imbalan mengantri tiket untukmu. Aku terkekeh dalam hati menyadari kekonyolan yang aku lakukan untuk gadis itu.

“Tuan Kim Jong In dan nona Choi Quin Rae dengan kursi F6 dan F7 ya.” Ujar seorang wanita yang berdiri dibalik meja beton tempatku membeli tiket.

“Silahkan menikmati. Oya, selain memberi diskon bioskop kami juga memberikan bonus untuk dua orang penonton hari ini dengan sistem acak yang dilakukan komputer kami. Dan kebetulan dua tiket yang anda beli terpilih. Anda akan mendapat hadiahnya dipertengahan film diputar. terimakasih” wanita itu berkata dengan ramah dan menyodorkan dua tiket yang aku pesan. Memangnya bonus apa? Ah apapun itu, aku tak begitu mempedulikannya.

Aku berjalan menuju tempat Rae duduk untuk menjemputnya.

“Rae, aku sudah mendapatkan tiketnya. Ayo kita beli pop corn dan air soda agar kita bisa segera naik ke lantai dua”

“Okay, Jonginee. Terimakasih ya sudah mau mengantrikan” jawabnya dengan senyum ceria miliknya. Gadis didepanku kini tiba-tiba sangat sehat dan semangat. Tunggu. Apa tadi dia hanya berakting?. Aku hanya membalasnya dengan mengacak sedikit bagian atas rambut hitamnya.

Berbalik dari tempat pembelian makanan minuman kami beralih menuju lantai dua tempat kami akan menukar tiket ini dengan kaca tiga dimensi sebelum masuk keruangan nonton kami. Film ini disajikan dalam bentuk 3D. sebelum kaki ini melangkah menuju tangga pertama, terlihat seorang satpam menyunggingkan senyum pada kami dan berujar, “Good luck”. Aku membalas senyum laki-laki itu meskipun merasa ada yang aneh dalam lekukan senyum diwajahnya.

Tak lama kemudian film segera dimulai setelah penonton duduk dan memasang kacamata masing-masing. waktu menunjukkan pukul 6 pm, tepat dengan apa yang tertulis ditiket kami jam film akan diputar. Tak terlambat sedetik pun.

Didalam layar hitam tersebut terdapat kata-kata pembuka film,

On October 7, 1849, Edgar Allan Poe was found, near death, on a park bench in Baltimore, Maryland.
The last days of his life remain a mistery.

Setelah tulisan pembuka film itu hilang, setting berganti dengan memperlihatkan seekor gagak bertengger disebuah dahan pohon yang berada disamping kursi taman tempat seorang laki-laki duduk. Wajahnya tak melihat kearah penonton. Kami hanya melihat punggungnya saja.

Mungkinkah laki-laki itu adalah Poe?

Kemudian setting berubah menjadi malam hari dengan hiruk pikuk suara kuda yang berlari dan jeritan seorang wanita. Nampaknya terjadi pembunuhan malam itu, pembunuhan mengenaskan seorang wanita muda dengan leher hampir putus. 3 orang polisi Baltimore mengetahuinya setelah mendobrak pintu sebuah rumah susun yang dianggap telah terjadi pembunuhan. Scene selanjutnya terlihat segerombolan gagak (lagi) mengerubuti sesuatu dan berlari terbang ketika langkah kaki mendekat. Laki-laki itu sepertinya adalah orang yang sama dengan lelaki yang muncul diawal scene film. Dilihat dari fisiknya, ia adalah Edgar Allan Poe.

Aku menengok melihat seorang yang duduk terdiam disebelah kananku. Tangannya menggenggam sekotak popcorn yang aku beli dan memasukkan satu persatu bijinya kedalam mulutnya. Masih dengan mata mengarah ke layar super besar sekitar 20 meter didepan kami. Dibawah mata itu terdapat sedikit lingkaran hitam, gadis itu pasti berusaha menyingkirkan mata pandanya mati-matian. Tetapi, lingkaran itu tak mengurangi ketertarikanku kepadanya. Mungkin aku sudah gila

Gila hanya dengan melihat dan memikirkan gadis yang kini duduk disampingku.

“Rae, kau lapar?” kataku. Sebenarnya aku hanya ingin tatapan mataku ini dibalas olehnya saja.

“Eh. Huh? Yes, a bit” Hanya itu jawaban darinya? Bukan, maksudku dia hanya sebentar sekali membalas tatapanku.

Sesaat kemudian,

---
The angels
Not have as happy in heaven
When envying her and me
Yes, that was the reason
As all men know, in this kingdom by the sea
That the wind came out of the cloud by night,
---

“chilling and killing my Annabel Lee, but our love it was stronger by far than the love.” Tiba-tiba Rae menyetarakan suaranya dengan wanita yang membacakan salah satu puisi Poe berjudul Annabel Lee dilayar raksasa itu. Suara Rae terdengar pelan dan dalam.

“of those who were older than we- of many far wisher than we-” mulutnya terus berucap dengan masih berbisik, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Aku ikut membalas,

“And neither the angels in heaven above, Nor the demons down under the sea,” aku ikut melafalkan bait-bait yang dilafalkan oleh wanita dalam layar itu. Dengan memandang kearahnya.

can ever dissever my soul from the soul of the beautiful of the beautiful Annabel Lee”  aku dan Rae ikut melafalkan bersama-sama. Ia mengucapkannya dengan membalikkan pandangan yang semula untuk wanita yang terpampang dilayar itu untuk beralih kearahku.

Scene demi scene terlewati di film yang kami tonton. Hingga akhirnya pada pertengahan cerita di menit ke 52:14 aku merasa sangat ngantuk. Aku menoleh lagi kesebelah ketika perempuan itu memanggilku.

“Jonginee, kau ngantuk?” tanyanya sambil melihat kearahku dengan mata sembab sehabis menangis dan terlihat rona merah di kedua sisi putih matanya. Sepertinya dia juga amat sangat mengantuk.

“Iya, sedikit. Kau ngantuk juga? Tidurlah tak apa. Aku akan membangunkanmu ketika film udah usai nanti” kataku padanya, namun seingatku sepertinya mataku tertutup setelah itu.

Gelap

Tetapi

Lima detik setelahnya mataku terbuka. Rasa ngantuk yang semula menggerogoti mataku mendadak hilang…

Yang terlihat disekelilingku hanyalah bangunan-bangunan tua. Kota Andover nampak seperti kembali di zaman abad ke 19. Tunggu!. Sesaat mataku mengerjab melihat sebuah toko roti yang menayangkan nama jalan dan kota daerah tempat aku berdiri. I..ini bukan Andover tapi..

Baltimore…

***

Dimana Choi Quin Rae?

Yang terlihat disekelilingku saat itu hanyalah lalu lalang para manusia kaukasoid. para perempuannya mengenakan gaun dengan bagian bawah yang menggelembung dan panjangnya mencapai tanah, sedangkan para pria mengenakan tuxedo dengan bagian belakang jas yang tampak panjang seperti ekor.

Aku mengerjab-ngerjabkan mataku berkali-kali, aku tak tahu mengapa aku berada ditempat ini, mengapa bangunan-bangunan disekitarku nampak seperti bangunan tua yang hanya aku lihat di film-film klasik, dan foto yang tersisip di buku-buku klasik yang ada diperpustakaan.

Aku merasa pening.

Tunggu!

Belum pula aku menyadari apa yang terjadi, namun ketika aku menundukkan kepala dan melihat kearah sepatu dan celana…

Aku pun mengenakan tuxedo. Seperti yang dikenakan para lelaki yang lalu lalang didepanku.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Dimana Quin Rae? Aku berlari-lari tak tentu arah mencari entah apa. Sepertinya aku terlempar ke kota Baltimore secara tiba-tiba. Bukan “sepertinya”, tapi memang IYA

Suasana kota Andover, Ah.. bukan maksudku Baltimore saat ini kembali 1 jam lebih awal, ketika matahari baru saja mulai memasukkan tubuhnya disela-sela awan yang seakan menjadi selimutnya. Hari akan gelap sebentar lagi.

Manusia-manusia yang memakai baju ala Eropa klasik itu baru kusadari bahwa hampir semua dari mereka membawa sebuah topeng mata, beberapa terdapat bulu-bulu diujungnya, beberapa lainnya terlihat berkelip oleh manik-manik yang terpasang. Tak hanya topeng mata mereka yang menarik mataku, namun juga aksesoris rambut yang mereka kenakan. Para wanita dan pria mengenakan bandana dengan bentuk macam-macam, dari sekedar headband dari bunga, kabaret dari dedaunan kering, hingga yang terbentuk seperti tanduk kerbau.

Pesta! Sepertinya akan ada pesta malam ini

Mataku tak sengaja mengarah lagi pada sebuah toko roti ketika pertama kali mataku yang terbuka tadi tertuju. Disebelah toko roti itu terdapat sebuah bangunan yang cukup megah dengan dua sisi tangga berbentuk setengah lingkaran yang sepertinya digunakan untuk masuk ke pintu utama rumah itu. Rumah itu dijadikan tempat pesta para pemegang topeng mata.

Perasaanku mendadak tak enak. Aku menoleh pada toko roti disebelah bangunan itu lagi. Ada seorang wanita yang sepertinya aku kenal berdiri dibalik meja kasir didalam toko. Bu..bukankah wanita itu yang berdiri dibalik meja penjualan tiket film The Raven yang aku beli tadi?.

Tiba-tiba..

Seseorang menyergap lenganku dengan paksa. Seorang wanita kini mengapit lenganku dengan sedikit kasar. Wanita itu memakai pakaian klasik seperti yang dipakai wanita-wanita lainnya malam ini. Bahkan terdapat bandana yang dirangkai dari bunga diatas kepalanya, dia juga memakai topeng mata yang berkerlap-kelip perak dibawah naungan cahaya rembulan yang amat terang malam ini. Mataku menengadah kearah bulan selama dua detik, aku baru menyadari bahwa malam ini bulan mengeluarkan sinarnya dengan sangat terang dan tak hanya itu. Ukuran bulan malam ini sangat besar.

Aku menoleh kepada wanita yang kini memeluk lengan dan menyeretku masuk kedalam bangunan yang memiliki tangga hampir bundar itu. Wanita itu tingginya sebahuku, ia setinggi Choi Quin Rae. Aku teringat lagi padanya. Aku harus mencarinya!

“Maaf, siapa anda?” kataku kepada wanita seukuran Rae disampingku. Aku melepaskan genggaman tangannya dari lenganku. Namun, sesaat setelahnya tangan itu bergelayut lagi dilenganku. Apa-apaan gadis ini!

“Hssh.. Hajima, Jongin-ah. Aku akan menjelaskannya nanti setelah kita masuk kedalam bangunan tempat pesta itu. Ara?” hah?! Bahkan wanita bermata biru itu bisa bahasa Korea, dan…tahu namaku. Wanita itu menyeretku lagi hingga menuju pintu utama bangunan yang memiliki tangga hampir melingkar itu. Aku berjalan disampingnya dengan kesal. Kenapa gadis ini suka sekali menyeret orang sih!

Langkah kami sampai pada pintu besar yang terbuka lebar pada bangunan megah yang tadinya hanya kulihat dari seberang jalan saja. Gadis disampingku itu terus saja berjalan lurus masih sambil menggeretku. Gadis itu mengajakku masuk ke toilet laki-laki, belum sempat aku memprotes ia sudah menyeret tanganku dan masuk lalu menutup pintu salah satu toilet yang berjejer dari dalam. Ia membalikkan badan dan menghadapku, tubuhnya bersandar pada pintu yang ditutupnya tadi. Ia melepas topeng mata yang sebelumnya ia kenakan, dua mata birunya terlihat memerah dan terdapat genangan air dikedua sudutnya. Hidungnya yang amat sangat putih itu terlihat merah pula.

“Jongin-ah, apa kau tak mengenaliku? Kenapa kau bodoh sekali, a..ku bahkan bisa mengenalimu meskipun mata dan.. bajumu sudah berubah!” berubah? Aku berubah?!. Gadis itu mengambil sesuatu dari tas pesta mungil yang semula digenggam. Ia memberiku sebuah kaca kecil.

“Lihat refleksi wajahmu baik-baik, Kim Jong In” aku melihat kearah gadis didepanku yang mati-matian menahan tangisnya dengan pandangan bingung. Namun aku mengambil kacanya juga.

Aku terhenyak dengan refleksi wajahku sendiri. Mataku yang semula termasuk ukuran sipit dan berbola mata hitam berubah menjadi lebih lebar dan berbola mata warna biru terang seperti gadis ini. Apakah gadis ini…. Quin Rae?

“Choi Quin Rae?” panggilku pelan setelah mengalihkan pandanganku dari kaca kearahnya.

“Ya. Aku Quin Rae, Jonginee” setetes air mengalir kepipi kirinya setelah mengatakannya. Mulutku menganga melihatnya mengangguk. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Aku masih tak mengerti.

“Jonginee, apa kau tahu wanita penjaga kasir di toko roti sebelah bangunan ini?” tanyanya.

“Iya. Ia tampak familiar bagiku”

“Tentu saja! Wanita itu yang menjual tiket dibioskop tempat kita nonton The Raven. Ketika terbangun dari entah rumah siapa, aku sudah mendapati pakaian, tas, tatanan rambutku seperti saat ini, ketika berjalan keluar dari rumah itu Aku menemukannya sedang memasang beberapa buah roti dietalase tokonya”

Ia menghela nafas perlahan,

“Katanya kita berdua mendapat kesempatan untuk ikut kedalam dimensi film The Raven yang sedang kita tonton, dan kita akan berada difilm ini hingga selesai. Misi kita adalah menemukan pelaku pembunuhan berantai yang ada difilm ini. Pembunuh berantai itu adalah fans berat Poe. Ia mempraktikan semua pembunuhan yang terjadi didalam novel-novel Poe. Dan malam ini pembunuh itu akan muncul lagi dipesta malam ini, Ya, besar kemungkinan malam ini kita akan bertemu dengan Poe dan orang-orang sekelilingnya yang menghadiri pesta ini, bahkan Emily mungkin hadir juga. Malam ini pula kita mulai mencari dan menghentikan pembunuhan berantai itu” aku masih tercengang oleh cerita wanita yang berdiri dihadapanku ini. Cerita yang diungkapkan itu tersaring dalam dua kubu diotakku, antara kebohongan atau kenyataan. Namun, sisi lain hatiku mengatakan bahwa itu benar.

Sesaat kemudian wanita itu tak dapat menahan air matanya lagi. Ia menangis hingga sesunggukan.

“Jongin-ah, aku takut” ia masih mendekatkan punggungnya pada pintu yang mengunci kami berdua dari dalam. Ia masih menangis.

“Bagaimana kalau korban malam ini adalah salah satu dari kita? Bagaimana jika pembunuhan itu dilakukan ditempat? Dan bagaimana jika aku melihatnya. Aku takut, Woo Hyun”

Tak salah lagi, wanita ini adalah transformasi dari Choi Quin Rae. Aku meraih badan wanita itu dan memasukkannya dengan protektif kedalam dadaku.

“Akan kupastikan kau tetap selamat malam ini, Rae. Percayalah padaku” gadis itu tak menjawab melainkan hanya terus menangis didadaku. Aku mencium kening gadis itu dan mengajaknya keluar.

“Tetaplah mengkaitkan tanganmu di lenganku, Rae. Pastikan dirimu tetap berada didekatku. Kita harus keluar mencari pembunuh itu” aku membimbing tangan Rae masuk kedalam lengan kananku, kemudian aku menguncinya dengan melipat tangaku didepan dada. Kami keluar dari toilet dengan perlahan. Seorang laki-laki yang akan masuk toilet menatap kami dengan pandangan curiga “seems like this couple had their good time there, huh?” katanya, namun tak kami hiraukan. Kami terus lurus mengendus-endus disela-sela para tamu dengan berbagai macam bentuk topeng mata dan penutup rambut sedang berdansa dengan pasangan masing-masing. Mataku mencari-cari Poe dan Emily, sepertinya Rae melakukan hal yang sama. Namun hal itu sangat susah dengan terpasangnya topeng mata disetiap orang.

Kemudian..

Terdapat suara kuda meringkik memekakkan telinga dan jeritan para wanita membuat semua orang diruang megah ini berhamburan tak tentu arah. aku mempererat proteksiku kepada Quin Rae. Dari arah pintu, terlihat seseorang memakai baju serba hitam lengkap dengan slayer hitam panjang yang menutup seluruh punggungnya dan terpasang topeng yang menutupi hampir setengah wajahnya. Lelaki itu menerobos pintu dengan masih menunggang kuda hitam miliknya. Sesaat kemudian terdengar sebuah bunyi tembakan yang ditujukan untuk lelaki itu hingga ia ambruk ketanah. Kudanya berlari keluar meninggalkan tuannya.

“Baltimore Patriot!” aku dan Rae mengucapkannya secara bersamaan setelah melihat kejadian didepan mata kami. Baltimore Patriot adalah salah satu cerita bersambung karya Edgar Allan Poe yang mengisahkan seorang gadis diculik dari sebuah pesta. Sayangnya dua hari lalu ketika aku dan Rae yang membacanya bersama disebuah taman kampus depan perpustakaan waktu itu masih belum selesai menuntaskan serinya.

Teng… teng… jam besar yang ada ditengah-tengah ruangan berdenting dengan nyaring menandakan waktu menunjukkan pukul 12 malam. Aku menggenggam tangan Rae dengan kuat dan mengajaknya keluar dari kerumunan pesta itu.

Kami berjalan dalam keheningan, tenggelam dipikiran masing-masing. Malam ini Rae menawariku, ah, bukan menawari tapi menyuruh, menginap disebuah rumah yang tiba-tiba menjadi rumahnya.

(Flashback)

Beberapa menit yang lalu ketika kami hampir keluar dari pintu besar bangunan megah itu, seseorang menepuk bahuku. Laki-laki itu berperawakan tinggi, lebih tinggi sekitar 2-3 centimeter diatasku.

“Hey, Jason. Mau kemana kau? Apa kau melupakan tugasmu sebagai anggota kesatuan polisi Baltimore?” tangannya mencengkeram salah sisi bahuku dengan kuat.

Ia memakai topeng mata seperti lainnya, rambutnya yang keriting sepanjang telinga dibiarkannya tergurai. Ada selendang hitam panjang mirip selendang yang dipakai gadis kecil dalam cerita gadis berkerudung merah dan serigala menutupi punggungnya. 

***

Tiga hari sudah aku dan Rae terjebak dalam alur cerita film The Raven. Semenjak kejadian dipesta itu pembunuhan berantai semakin gencar dilakukan, dan Emily yang saat itu diculik oleh lelaki si penunggang kuda masih menjadi misteri keberadaannya. Selama itu pula highlight disetiap koran selalu mengenai pembunuhan berantai dengan metode pembunuhan sadis sesuai dengan karya-karya Poe.

1839..

Saat ini kami terperosok dalam mesin waktu ke zaman abad 19 ini yang bahkan kami tak tahu entah bagaimana caranya tiba-tiba sudah berada disini. Menjadi pemain tambahan dalam film adaptasi karya Edgar Allan Poe ini.

Kemarin pagi aku dan Rae menemukan headline berita sebuah koran mengatakan tentang insiden yang berdasarkan karya Poe lainnya yang berjudul Macbeth. Percobaan realisasi dari carita Macbeth gagal kemarin. Dan karena itulah, nampaknya alasan adanya berita pagi ini mengenai pembunuhan mengerikan yang merebut jiwa seorang pelacur melayang, terdapat bekas cekikan di lehernya, juga darah segar yang terdapat disekeliling lehernya. Gagak, binatang misterius yang tiba-tiba berada ditempat kejadian meninggalnya wanita itu. Mistery of Marie Roget, judul karya lain dari Poe yang direalisasikan oleh si pembunuh berantai yang misterius itu. The Serial Killer, begitu judul highlight di halaman paling depan yang kubaca. Apa, mereka sudah gila menamainya seperti itu!..

Kuseruput lagi secangkir teh yang dibuat oleh Rae. Jadi, ini rasa teh jaman dulu. Sudah tiga hari ini kami berdua tak bisa tidur dengan nyenyak, pikiran kami selalu dibayangi bagaimana menemukan pembunuh misterius agar dapat segera kembali ke bioskop dimana asal mula kami berubah tempat dan waktu saat ini.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan, Jongin?” Rae mengalihkan perhatianku padanya. Ia juga duduk menikmati secangkir teh yang dibuatnya sendiri, kakinya ikut diangkat keatas sofa menghadap kearahku.

  “Kau masih ingat kan apa yang kuceritakan padamu mengenai hasil dari rapat singkat kesatuan polisi semalam? Bisa kau ambil sisi empiris bagaimana pembunuhan ini memiliki metode sendiri? Mengapa pula Emily diculik?”

“Sepertinya ia menggunakan Emily sebagai umpan, Jonginee. Ia tak akan membunuh Emily selama Poe tetap menulis melanjutkan serial-serial pembunuhan yang belum diselesaikannya” jawabnya sambil memainkan bibir bawah dengan telunjuk dan ibu jarinya.

“Iya. Benar aku juga berpikiran sama. Namun ada hal yang aku takutkan. Bagaimana bila suatu saat nanti si pembunuh tak puas dengan tulisan Poe? Mungkin karena tingkat stress Poe sehingga ia tak bisa menyelesaikannya sebagus tulisan-tulisan sebelumnya? It’s possible, right” Rae menganggukkan kepalanya dan ikut berpikir setelah penjelasanku berakhir.

“Rae, aku harus pergi sekarang. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku ada pertemuan dengan kepolisian Baltimore lagi pagi ini ditambah dengan dua orang detektif yang akan membantu kami” sedikit berat sebenarnya meninggalkan Rae sendirian di lingkungan berbahaya ini. Namun aku tak ada pilihan, semalam ketua kepolisian memberitahuku untuk membahas masalah ini dan bergerak lagi. Aku harus segera menyelesaikan kasus pembunuhan ini.

Sebelum pergi, kulipat surat kabar ditanganku dan kuhabiskan sisa teh dimejaku. Aku mendekati Rai, berjongkok didepannya.

“Rae, berhati-hatilah. Jangan keluar rumah sampai aku datang. Semuanya akan segera berakhir, aku janji” aku mengucapkannya dengan melihat kearah dua matanya horizontal.

***

“Hey, Jason. Mau kemana kau? Apa kau melupakan tugasmu sebagai anggota kesatuan polisi Baltimore” seorang laki-laki mencengkeram bahuku dengan cukup kuat.

Siapa lagi dia

“Oh, aku mengerti. Antarkan istrimu pulang dulu dan bergabunglah dengan kami. Ingat, kalau kau tak kembali bos akan marah besar”

“Istri? Bos?”

“Apa kau mengalami amnesia sesaat? Iya istri. Jangan berakting pura-pura lupa didepan Mrs. Jason yang cantik ini, Jason Tubenfeld” lelaki itu sok akrab padaku, dan… dia melihat kearah Rae dengan mengedipkan sebelah matanya. What the…

“Sudahlah pokoknya jangan lama-lama dirumah. Kau lihat ekspresi Mr. field itu? Dia terlihat sangat geram dengan pembunuh itu yang kini menculik nona Emily. Jika kau tak kembali dengan segera, dia mungkin akan membunuhmu menjiplak cara pembunuhan di cerita-cerita Poe. Seperti si pembunuh berantai” mata lelaki itu mengarahkanku pada seorang pria gemuk dengan rambut tipis dibagian atas kepalanya. Henry Luke, nama yang terpampang didada lelaki itu. Dia adalah salah satu anggota kepolisian di Baltimore dan sepertinya aku adalah kawannya didalam film ini.

“Okay. Bye, Luke. Aku akan segera kembali” aku menepuk pundak kirinya dan melangkah keluar bersama Rae.

--

Aku adalah polisi Baltimore???

Dan

Quin Rae, adalah istriku???

Aku menengok kekanan melihat Rae. Sepertinya dia juga memikirkan hal yang sama.

Hening…

“Jadi, aku adalah istrimu dicerita ini?” aku hanya menunduk. Aku tak tahu harus menjawab apa, aku pun masih memikirkan apa maksudnya.

“Dan kau bekerja sebagai polisi, Jongin-ah?” ia bertanya lagi tapi aku tak juga dapat menjawabnya lagi

Hening lagi…

***

Matahari terik menyinari badanku yang telah berkeringat, menjadi semakin berkeringat. Aku harus segera pulang dan bertemu Quin Rae. Sudah hampir seminggu lebih kami terjebak dalam film ini.

“Quin Rae, ini Kim Jong In” kataku dengan mengetuk pintu… rumah kami. Sesaat kemudian wanita yang selalu kurindukan ketika meninggalkannya itu berdiri didepanku setelah membuka pintu.

“Ayo masuk, Jonginee. Ceritakan padaku apa yang terjadi hingga kau tak pulang semalam dan baru kembali siang hari?”

“Kita semakin dekat dengan penjahat itu. Kemarin kami menemukan mayat seorang wanita dibalik tembok saluran air bawah tanah. Mayat wanita itu terjahit bibirnya. Ketika inspektur Field membuka jahitannya, kami mendapati sebuah jam didalamnya. Sebelumnya lidahnya dipotong” aku menarik nafas. Masih tersenggal dengan peristiwa 28 jam yang lalu dan baru saja aku alami. Rae, memberikanku segelas air minum.

“Melihat jam itu, Poe langsung berujar bahwa jam itu milik ayah Emily. Si pembunuh memberikan petunjuk lokasi Emily melalui konstalasi garis bujur pada jarum jam. Kami bergegas menuju rumah Emily untuk bertemu ayahnya karena tak ada satu pun diantara kami yang dapat membaca arah navigasi bintang”

“Lalu apa kalian mendapat lokasi itu setelah membaca jarum dengan bantuan ayah Emily?” Rae bertanya dengan memotong ceritaku. Ekspresinya terlihat serius dan tak sabar.

“Iya. Selama berjam-jam kami bersama ayah Emily berusaha membaca peta jarum yang dikirim oleh si pembunuh itu. Lokasi itu terletak di Gereja Salib Suci-Paroki. Belum juga matahari sempat menyinsing, kami bergegas menuju tempat itu. disana sempat ada baku tembak dan teman kami Henry Luke yang sempat kita temui dipesta waktu itu tersayat lehernya oleh si pembunuh yang loncat dari atap pintu masuk gereja” Rae terlihat menutup mulut dengan mata terbuka lebar.

“Bagaimana keadaanya sekarang? Apa Luke … mati?” tanyanya setelahnya.

“Aku tak tau. Saat itu kami langsung berpencar mendengar suara tembakan Luke yang melesat dan mendapati lehernya bersimpah darah. Inspektur Field juga mendapat tembakan dari si pembunuh sebelum kabur menunggang kuda hitam miliknya. Mereka berdua langsung dibawa tiga orang dari kami ke seorang dokter yang aku lupa siapa namanya. Masing-masing dari kami berpencar ke seluruh sisi gereja, berharap si pembunuh itu belum cukup jauh kabur dari mata kami. Suara teriakan dan suara peluru yang meleset berkali-kali terdengar selama kurang lebih tiga jam lamanya hingga kami memutuskan untuk bubar dan pulang terlebih dahulu setelah membuat kesepakatan bahwa nanti jam 7 malam akan berkumpul lagi di kantor. Oya, kami juga menemukan makam Emily yang ternyata kosong. Itu sebagai tanda bahwa hingga saat ini Emily masih hidup”, aku menghela nafas panjang saat mengakhiri cerita.

Rae nampak berfikir keras. Aku meneguk habis sisa air putih yang telah kuminum setengahnya.

“Jongin-ah, ayo kita ke perpustakaan atau toko buku” ajaknya tiba-tiba.

“Hah?! Perpustakaan letaknya cukup jauh dari sini, Rae. Tidak. Aku tak mau kau keluar terlalu jauh dari rumah, meski bersamaku. Ini terlalu riskan, Rae. Bagaimana kalau toko buku yang terletak tiga rumah dari sini saja?” Rae mengangguk mengiyakan.

“Lagian. Untuk apa ketempat buku, Rae?”

“Semua pembunuhan itu berdasarkan kisah-kisah fiksi yang ditulis oleh Poe. Jadi kita harus mengantisipasi semua yang akan terjadi dengan membaca karya-karyanya yang lain”

---

Kami berjalan masuk kesebuah toko buku berlabel Mare. Seorang penjaga toko menatap kami aneh. Dan aku merasa ada yang janggal disini, tapi aku tak tahu apa itu. Kami berjalan menyisir toko itu dari rak pertama ke rak berikutnya. Rae berhenti tiba-tiba dengan ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya, membuatku ikut berhenti dan mendekatinya.

“Jonginee … ” panggilnya.

“Baca sampul buku ini. Apa kau juga merasa hal aneh ketika membacanya?” Rae memberiku sebuah buku lumayan tebal dengan sampul bertuliskan The Mistery of Blomy. Blomy? Terdengar familiar bagiku.

“Rae, bukankah Blomy nama bioskop baru yang kita datangi untuk menonton tayangan perdana film The Raven?. Yang memasukkan kita berdua dalam dimensi film mereka?” suaraku bergetar. Dan aku lebih menggigil ketika Rae mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya.

Rae merebut buku yang membuat kita mendapat goosebumps lebih horor lagi itu. Dibukanya lembar demi lembar. Tiba-tiba sebuah suara seorang pria mengagetkanku.

“Bagaimana perjalanan kalian, Mr. dan Mrs. Jason Tubenfeld?” aku kaget melihat penjaga toko yang tadi berdiri menyambut kami dengan senyum anehnya. Bulu kudukku terasa meremang. Rae yang terlihat dari sudut ekor mata sebelah kanan pun tak kalah terkejut melihatnya.

“Apa kau satpam yang berdiri disamping tangga dan mengucapkan “Good Luck” pada kami?” diantara ekspresi terkejutnya itu Rae bertanya kepada pria berpostur tinggi besar didepan kami.

“Waw. Ingatan anda tak dapat diremehkan, nona Choi Quin Rae” Lelaki itu berujar dengan sunggingan senyum dibibirnya, membuatku semakin bergidik ngeri. Rae secara otomatis mengalungkan tangan kanannya diantara lenganku. Kuku ibu jarinya terlihat memutih ketika mencengkeram salah satu sisi baju yang aku pakai diarea pergelangan tangan. Dia ketakutan. Tangan kirinya masih menggenggam buku The Mistery of Blomy itu.

“Well, kalian sudah memerankan dengan baik karakter kalian dalam film ini. Well done! Dan kalian semakin dekat untuk mengungkap siapa orang dibalik pembunuhan berantai ini” katanya dengan mengkaitkan kedua telapak tangannya.

“Katakan padaku cara keluar dari film ini! Aku tak mau menjadi karakter difilmmu!” aku setengah berteriak didepan wajahnya. Namun lelaki itu malah tertawa. Tepat didepan wajahku pula

“Bwaahaha. Tentu saja kalian bisa keluar dari dimensi film ini dan menjalani kehidupan normal kalian setelah dapat menemukan siapa pembunuh yang merealisasikan karya-karya Poe, tuan dan nyonya”

“Berapa lama lagi film ini akan usai? Kita tinggal mengikuti alur cerita saja kan?!” Rae bersuara pada pria itu. Suaranya sedikit bergetar.

“Kau pikir segampang itu? Tentu saja lama tidaknya film ini akan berakhir tergantung dari lama tidaknya kalian mengungkap pembunuh itu. Dan selama film belum berakhir, orang-orang yang waktu itu satu ruangan dengan film yang kalian tonton tak akan bisa keluar dan bahkan berdiri dari kursi masing-masing” aku semakin ternganga dengan orang ini. Aku tak habis pikir! Dia tak hanya mengorbankan aku dan Rae, namun juga para pengunjung bioskop yang kebetulan satu ruangan denganku.

“Apa kau bercanda, Huh?! Jadi mereka sudah seminggu lebih terperangkap didalam ruang kotak berlayar besar itu kan? Apa kau tak punya hati, huh!” aku geram dan berteriak lebih keras dari sebelumnya didepan wajahnya lagi.

“Tenang saja tuan Jason, ehm maksudku tuan Kim Jong In. Satu hari disini sama dengan 10menit didunia nyata. Jadi karena kalian sudah berada difilm ini selama 10 hari artinya mereka sudah duduk didepan layar selama 100 menit, tuan. Hahahaha so funny it is” lelaki itu tertawa lagi.

“Apa itu lucu mempertaruhkan orang lain untuk kesenanganmu?” Rae menohok lelaki itu dengan kata-katanya. Genggaman tangannya pada buku itu terlihat semakin erat, hingga ujung kuku-kuku itu terlihat memutih ujungnya sangking putihnya.

“Sudahlah, aku mau pergi dulu. Aku seorang penulis script film yang sangat sibuk” lelaki itu bersiap meninggalkan kami.

“Jadi kaulah yang menulis naskah film ini?!” aku mengeraskan suaraku ketika hanya punggung pria itu yang terlihat.

“Ya. Akulah penulisnya. hahaha” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun pada kami berdua.

“Apa ending dari film ini? Beritahu kami, tuan” kejarku lagi. Tapi dia menjawab “Aku sendiri tak tahu, Sir” ujarnya, masih memunggungi kami dan berjalan pelan.

“Apa kau tak menulis akhir dari cerita ini? kenapa kau tak menulisnya? Penulis naskah macam apa kau!” aku semakin marah pada lelaki itu.

“Ah, tak seru lah kalau penulis terus yang melanjutkan akhir cerita. Jadi aku ingin kalian yang menemukan ending film ini. Ok?” pria itu mengaitkan ujung telunjuk dan ibu jarinya dan menoleh kami saat melakukannya. Sesaat kemudian ia menghilang diantara cahaya yang amat terang.

Suasana menjadi teramat hening ditoko itu.

Hanya ada aku

Hanya ada Rae

Dan pikiran masing-masing yang berkecamuk dalam otak

“Jonginee aku takut…” suara Rae membuatku melihatnya. Wajahnya nampak pucat.

“Quin Rae, percayalah padaku. Aku akan mengeluarkanmu dari jebakan ini”
Gadis itu masih terdiam. Sebuah buku masih berada digenggaman tangannya dengan pandangan mata kosong. Tubuhnya berisyarat bahwa Ia menggigil ketakutan.

“Kau ingat yang dikatakan pria tadi bahwa kita hampir masuk pada titik penyelesaian film ini kan? Jadi percayalah padaku. Yang harus kamu lakukan adalah membantuku mengidentifikasi pembunuhan selanjutnya dan menjebak pembunuh itu”
Hening lagi…Rae masih berdiri ditempat

“Apa kau yakin kita bisa menyelesaikannya, Jonginee?” kata Rae lagi. Kali ini aku melihat lagi aliran bening dari kedua sudut matanya. Rae menangis. Gadisku menangis.

“Rae, semuanya akan segera berakhir. Aku jamin itu” aku memegang kedua sisi bahu gadis itu ketika mengatakannya.

“Dan ketika ini semua berakhir. Aku… aku akan membawamu kesebuah tempat yang sangat indah. Disana aku akan mengungkap sesuatu” mataku tak lepas dari kedua matanya. Dadaku bergetar hebat ketika mengatakannya. Ekspresi raut wajah yang ditujukan Rae padaku saat itu hanyalah ‘penasaran’ akan apa yang akan kulakukan.

Rae, percayalah. Selama ini aku berusaha menjagamu.

Kau merasakan hal itu juga kan? Aku yakin iya.

Aku tersenyum disela-sela kesibukan kami mencari-cari dan membaca buku karya Poe di toko buku tanpa pemilik itu.

---end--

You Might Also Like

0 komentar