Love Puzzle – bagian 1
July 03, 2013
Prolog ~||~
(Fanfiction - love puzzle part 1)
cast: akan ter-reveal sendiri di tiap cerita
genre: romance, keluarga
-----------------------------------------------------------------
Mawar putih tahukah kau bahwa kau
adalah salah satu kawan yang kujadikan tempat untuk menguapkan segala
kekesalanku atas semua kesialan yang mengusik hidupku?. Mawar
putih yang sedang ku semprot batang dan kakinya yang tenggelam dalam gundukan
tanah liat itu masih mengacuhkanku.
Mawar putih, bolehkah aku
mencurahkan lagi apa yang meresahkan pikiran dan hatiku hari ini? Baiklah, kau
mengabaikanku karna kau tak dapat berbicara kan? Aku artikan diammu itu iya.
Anggap aku gila atau tak waras, namun aku memang tak memiliki lagi tempat
untukku sekedar meluapkan apa yang mengganggu pikiranku agar segera munguap
seperti uap air yang didihkan, melayang bersama udara dan bebas.
***
“Appa,
apa yang appa lakukan seharian ini? Kudengar dari Himchan oppa bahwa kau tak
masuk ke kantor? Apa kau sudah lupa kalau mempunyai perusahaan yang telah
memiliki sebuah cabang?” aku kesal dengan tingkah appa yang akhir – akhir ini
semakin konyol dan tak masuk akal. Bagaimana bisa sudah 4 hari ini appa selalu
pulang malam dalam keadaan lelah dengan setelan jas yang nampak berantakan
membalut badannya? Dan juga tak jarang aku membau alkohol darinya. Himchan
oppa, sekretaris pribadi appa sering pula menanyakan keberadaan appa padaku.
“Rie
rie!. Apa hakmu memarahi ayahmu, huh? Kau hanya gadis kecil yang belum mengerti
apapun!” tak hanya bertingkah aneh dan sering membolos kerja, Appa juga mulai
sering membentakku.
“Appa,
aku bukan anak kecil lagi. Aku sekarang sudah berumur 22 tahun dan lulus dari
universitas seminggu lalu, Appa” aku pun tak kalah bersungut – sungut didepan
Ayahku. Aku merasa semakin gila. Seorang Quin Rie yang selalu berusaha bersikap
lembut berubah 180 derajat dengan membalas sedikit menaikkan nada bicaraku terhadap
Appa. Semenjak kecil Appa dan Eomma tak pernah membentakku sekalipun, dan
keberanianku hanya sampai menaikkan nada bicara sedikit saja untuk membalas
bentakan appa. Eomma, meninggal seminggu lalu karena penyakit kanker rahim yang
tiba – tiba menggerogoti tubuhnya dalam waktu tak lebih dari tiga bulan. Selama
appa bertingkah konyol seperti saat ini, aku mencoba memahami bahwa mungkin ia
sedang mabuk karena stress atas kepergian eomma.
“Sudahlah,
appa mau tidur dulu” dengan begitu laki – laki berusia 47 tahun yang semula
berdiri di depanku itu beringsut meninggalkanku menuju kamar utama rumah kami.
kamar Appa dan Eomma.
Aku
menjatuhkan diri di sofa terdekat setelah pertengkaranku dengan appa sekian
kalinya. Rupanya menekan remote tv untuk menyalakannya tak juga berhasil
membuat bulir – bulir airmataku berhenti untuk berseluncur turun membahasi dua
pipi apelku. Aku menuangkan segelas susu yang kudapat dari lemari pendingin dan
menghangatkannya kembali. Kakiku bergerak menuju kamar dan membuka jendela
berbalkon dan bersiap menerima sambutan raja malam, ya, Aku hanya ingin membagi
malamku dengan segelas susu dan butiran bintang yang malam ini berlomba
mengerjab mencoba menggoda dan menenangkanku.
Eomma, kenapa kau tiba – tiba
pergi? Apa yang harus kulakukan untuk meneruskan hidupku? Bahkan aku merasa
appa kini bukan appa lagi. Appa terlihat sangat terpukul setelah kau
tinggalkan, eomma. Bintang – bintang dan juga rembulan
yang membentuk sabit itu hanya memandangiku dari jendela dimana aku berdiri,
yang mungkin nampak kecil bagi mereka. Diam, hanya itu yang mereka lakukan.
Namun, kedipan para bintang dan pantulan cahaya rembulan yang seakan mencoba
menghangatkan wajahku berusaha mengirimkan sinyal bahwa mereka mendengarkan apa
yang aku ucapkan.
***
Mawar putih, semalam aku berbagi
cerita dengan rembulan yang masih membentuk sabit dan para bintang. Seandainya
semalam aku dapat mengunjungimu, pasti aku lebih memilih berdua denganmu
menghabiskan malam bersamamu bersama suasana hati yang perih.
Menghabiskan
hari dikotak kaca berlabel ‘Huinsaek’ selalu menyenangkan dan tak pernah bosan
bagiku. Bagaimana tidak, aku akan menghabiskan waktuku dengan para bunga yang
aku manjakan serta aku rangkai sesuai dengan suasana hatiku, dan juga bertemu
para pelanggan yang juga mencintai bunga dan rangkaiannya pun membuatku senang.
Huinsaek adalah nama toko bunga milikku yang aku dirikan 7 bulan lalu semenjak
mengetahui bahwa eomma sedang sakit keras. Aku seorang introvert yang tak
memiliki banyak teman dan lebih sering menghabiskan waktuku beradu pikiran
dengan bunga – bunga yang eomma tanam didepan rumah menjejeri bagian dalam pagar
besi yang melindungi rumah kami.
Karena
kepribadianku yang tertutup itulah aku terbiasa berbicara dengan benda mati
karena tak ada teman yang bisa kujadikan tempat mencurahkan pikiran, bahkan sejak
dulu mendiang Eomma dan Appa ku selalu sibuk dengan urusan masing – masing. Semasa
hidup Eomma sibuk dengan menjadi seorang pimpinan redaksi sebuah majalah remaja
yang cukup terkenal di Korea, majalah yang dikelola eomma merupakan cabang
majalah internasional yang berpusat di Paris dimana rumah pertama kami
dibangun. Sedangkan Appa selalu sibuk bolak – balik korea dan Perancis karena berurusan
dengan usaha produksi makanan tradisional korea yang didirikan juga di Korea
dan merupakan cabang dari perusahaannya yang berpusat di Inggris. produk appa yang
di bungkus perpack sehingga siapapun dapat membawa dan menikmatinya kapanpun
selama belum melewati fase kadaluarsa yang ditetapkan disetiap bungkusnya.
Kesibukan mereka membuatku lebih banyak menjadi penyendiri karena tak memiliki cukup
keahlian bagaimana cara bergaul bahkan dengan keluarga sendiri semenjak
kepindahan kami ke Korea, kampung halaman Appa. Hari – hariku selalu ditemani
oleh beberapa pembantu yang masing – masing dari mereka tenggelam dalam tugas
tersendiri. Untuk itu aku selalu bercerita kepada beberapa benda mati seperti
malam dan bunga untuk mengungkapkan rasa yang menyesakkan dada.
Tepat
tujuh bulan lalu sepulang mengantarkan eomma kesebuah rumah sakit yang cukup
besar di seoul bersama appa pula, aku meminta Appa untuk membantuku membuka
sebuah toko bunga. Appa langsung menyetujuinya mengingat kegemaranku dengan
bunga mulai dari merawat hingga merangkai dan juga sebentar lagi aku akan
menjadi wisudawati kala itu. Appa menambah uang yang aku ambil dari tabunganku
sendiri, hingga berdirilah sebuah toko bunga yang terletak di salah satu sisi
jalan Samseong-dong. Aku menamainya Huinsaek.
***
Aku
menegakkan kaki beranjak dari kursi yang aku duduki untuk berdekatan dengan si
mawar putih. Aku bermaksud merangkai bunga lagi hari ini, mumpung inspirasi
sedang masih hangat – hangatnya karena suasana hati yang baru saja aku
tumpahkan kepada sang mawar putih.
Aku
berjalan menuju deretan tulip yang berjejer rapi. Disana aku sudah menumbuhkan
tulip dengan dua warna, putih dan merah. Aku memetik sekitar lima tangkai tulip
dengan dua tulip merah dan tiga tulip putih dan menidurkan mereka di keranjang
kecil berwarna pink yang biasa kugunakan untuk mengumpulkan bunga. Langkahku
tertarik kembali untuk menghampiri deretan bunga matahari yang sedang menghadap
matahari dan berdiri tegap diatas pot yang terpasang tepat di depan etalase
toko Huinsaek. Disisi lain, rupanya komplotan bunga dafodil pun tak ingin
menyia – nyiakan diri untuk tak kusentuh dan rangkai hari ini. Ekspresi yang
kubaca dari para dafodil itu seakan berkata Eonni,
tidakkah kau tertarik memetik kami dan merangkainya dengan cantik seperti bunga
lain yang akan kau pajang hari ini?. Aku tersenyum simpul melihat
segerombol dafodil yang ku jejarkan rapi membentuk sekotak persegi empat.
Kupetik beberapa tangkai dafodil dengan jumlah dan warna yang acak. Oke, aku
sudah memilih dan memasukkan tangkai – tangkai yang memiliki kepala berbeda –
beda untuk kurangkai dikeranjangku.
Aku kembali menuju meja dimana si mawar putih terletak
serta menyeret sebuah kursi besi cantik berwarna coklat untuk kembali kududuki.
Sesuai suasana hatiku hari ini yang masih terasa mendung karena appa, aku mulai
merangkai tangkai - tangkai bunga yang terkumpul dikeranjangku. Sebenarnya, Aku
tak tahu rangkaian bunga macam apa untuk hari ini.
Mawar putih, aku
ingin bercerita lagi mengenai kejadian dua bulan lalu. Aku baru bisa
menceritakan ini setelah sekian lama mencoba menenangkan diri sendiri. Aku akan
bercerita sambil merangkai bunga – bunga cantik ini, ara?. Kepala bunga
mawar putih masih menatapku tak berekspresi, namun menatap kecantikannya saja
sudah membuatku tersenyum sekali lagi.
***
Dua
bulan lalu ketika aku membereskan kamar Appa, aku menemukan sesuatu yang
terlihat menyeruak keluar dari sebuah buku bertebal sekitar 300 halaman. Ketika
kuperhatikan lebih lekat, aku menemukan sebuah foto seseorang sedang tersenyum
disana. Foto seorang wanita. Tidak, bukan hanya satu foto terselip disana.
Ternyata selembar foto yang kudapatkan waktu itu, tapi masih ada tiga foto
lain. kedua bola mataku terbelalak pada salah satu foto yang memperlihatkan
Appa dan wanita itu tergambar saling menyuapi makanan satu sama lain.
Appa, siapa wanita ini? Jangan
katakan bahwa ia pengganti eomma. Appa, dia hanya teman? rekan kerja? Sahabat?
Katakan apapun itu asal bukan…
Aku
tak sanggup lagi meneruskan kata – kataku kala itu.
“Rie,
apa yang kau lakukan di kamar appa? Bukankah ada ahjumma yang bisa membereskan
kamar Appa?” aku memutar badanku dan mendapati Appa berdiri dengan tangan masih
memegang gagang pintu
“Appa,
siapa dia?” tanyaku dengan suara yang aku sendiri dapat mendengar dan pastikan
bahwa saat itu terdengar bergetar. Bukan. Bukan hanya suaraku yang bergetar,
sebuah foto yang memperlihatkan adegan Appa dan wanita tersebut saling saling
menyuapi pun ikut bergetar saat tanganku mencoba mengacung.
Appa
tak menjawab dan hanya diam.
“Appa.
Rie tanya, siapa dia?” aku tak tahan lagi untuk tak menahan air mataku menuruni
bukit tulang pipiku sekali lagi ketika mengatakannya.
‘Rie…’
Appa berjalan kearahku namun aku beringsut menjauhinya dan pergi dari kamar
tersebut secepat mungkin. Aku menjatuhkan selembar foto itu.
Tolong jangan katakan sesuatu yang
akan membuat hatiku dalam keadaan buruk, Appa. Tolonglah…
***
Bunga – bungaku, aku
ingin merangkai kalian dan membuat kalian terlihat berseri dan ceria hari ini.
Tapi apa aku bisa?
Mawar
putih, apa menurutmu aku bisa melakukannya kali ini?
Kali ini aku menangkap
ekspresi mawar putih yang seolah mengatakan ‘apa
kau yakin hari ini bisa merangkai mereka hingga terlihat ceria sementara kau
saja belum bisa melupakan kejadian menyesakkan dua bulan lalu?’
Aku mendengus mendengar
jawaban si mawar putih yang seolah – olah aku dengar, jadi aku menjawab
Hmmm.
Setidaknya aku berusaha bukan?
Tak lama kemudian aku
menatap mawar putih dan mendapat jawaban
Kau serius mengatakannya? Semenjak
kau membuka toko bunga ini dan membesarkanku, kau selalu meluapkan emosimu
dengan merangkai berbagai bunga di bangunan kotak yang hampir seluruhnya
terbuat kaca ini. Dan asal kau tau, bunga – bunga yang kau rangkai selalu terlihat
muram dan sedih seperti yang selalu hatimu rasakan.
Jawaban
si mawar mulai memojokkanku, aku sedikit kesal. Namun, walaupun demikian memang
kuakui bahwa semenjak aku membuka toko bunga ini aku selalu gagal membuat
rangkaian bungaku terlihat ceria, hidup dan bergairah. Semasa eomma hidup, hampir
setiap minggu kami merangkai berbagai bunga yang kami petik dari kebun kecil
yang terletak di teras rumah kami. Ketika itu usiaku masih 17 tahunan. Kala itu
eomma masih belum begitu sibuk. Pekerjaan sehari – harinya saat itu hanyalah
masih menjadi penulis artikel untuk majalah dimana ia bekerja, sebelum akhirnya
jabatan pimpinan redaksi yang diberikan padanya ketika umurku menginjak usia
sekitar 19 tahun berhasil merebut hampir seluruh perhatian eomma yang selalu
diberikan untukku, bahkan semakin parah ketika majalah tempatnya bekerja
menjadi majalah nasional yang masuk dalam kategori best seller. Tak hanya merebut perhatian eomma, pekerjaan eomma
berhasil memisahkanku dengan beberapa teman yang aku dapat dinegeri yang
terkenal dengan sebutan keep calm country
ini dan harus pindah ke Korea. Sialnya lagi appa semakin bersemangat dengan
kepindahan kami sekeluarga karena ia memang memiliki cabang perusahaannya di
korea.
Dadaku
sesak dan mataku terasa memanas. Lagi.
Aku
kembali teringat eomma.
***
“Rie, ayo kita
lakukan ritual pagi kita hari ini!” ritual pagi. Begitu ungkapan yang digunakan
eomma untuk menyebut kegiatan kami merangkai bunga.
“Iya, eomma”
seperti biasa, aku menyusul eomma ke taman dengan sedikit melayangkan kakiku
bergantian dengan ringan, setengah berlari.
“Rie, bunga
adalah salah satu ciptaan tuhan yang memiliki banyak arti yang terkandung
disetiap warna dan bentuk yang dimiliki” ucap eomma suatu waktu ketika masing –
masing dari kami sibuk menyiram bunga dan memetik manapun dari mereka yang
menurut kami terlihat cantik untuk dirangkai.
“Maksud eomma?”
aku membalikkan ucapan eomma menjadi kalimat tanya tanpa mengalihkan
pandanganku dari setangkai mawar putih didepanku yang dua detik sekitarny
berhasil aku patahkan batangnya.
“Eomma akan
memberitahumu definisi termudah dari bunga. Tapi sebelum itu, coba lihat dan
perhatikan dua mawar berbeda warna yang ada didepanmu. Bagaimana kamu
mendefinisikan mawar dengan dua warna yang berbeda itu?”
“Hmmm. Mawar
merah dapat disimbolkan sebagai sisi keromantisan sedangkan mawar putih karena
warnanya putih jadi menurutku melambangkan sesuatu yang bersih seperti sebuah ketulusan”
selesai menjawab pertanyaan yang diberikan, aku menoleh melihat wajah eomma
yang seperti biasanya menampakkan keteduhan.
“Bisakah kau
tunjukkan definisi lainnya pada eomma?” tanya eomma lagi.
“apa ya, eomma?
Aku tak tahu. Ayo katakan padaku apa lagi definisinya, eomma” aku menggaruk
rambutku yang tak terasa gatal ketika mengatakannya. Eomma adalah seseorang
yang selalu sukses membuatku menggaruk – garuk kepala yang tak terasa gatal
dengan memberikan pertanyaan yang bahkan aku pun tak pernah menerimanya dari
siapapun sebelumnya, apalagi mengetahui jawabannya. Meskipun eomma tahu jawaban
dari pertanyaan yang dilontarkan tetapi tetap saja selalu ingin aku agar
berpikir dan menebak jawabannya.
“Mawar putih
yang kau petik ini yang memiliki makna paling kompleks dibanding bunga – bunga
yang ada ditaman kita ini, Rie” kata eomma sambil mengambil setangkai mawar
putih yang berhasil aku petik dan menaruh di keranjang biru kami. Tak selang
waktu lama eomma melanjutkan kembali penjelasannya
“Dikatakan
paling kompleks karena mawar putih ini lah yang paling banyak memiliki arti. Salah
satu definisi dari bunga ini adalah sesuatu yang penuh dengan pesona. Mawar
putih dapat diartikan sebagai lambang kematian atau keguguran, dapat pula
diartikan sebagai lambang ketulusan dan
cinta kasih. Cinta kasih dan ketulusan yang tergambar dari sisi persahabatan,
ketulusan cinta antara orangtua dan anak begitupun sebaliknya, dan ketulusan
cinta antara laki – laki kepada perempuannya dan perempuan kepada laki – lakinya.
Jadi harus kau artikan dengan bijaksana ketika memperhatikan mawar ini”
“Sedangkan
mawar merah berarti menjadi lambang keromantisan. Dapat pula diartikan sebagai
sesuatu yang mengembara dan berkobar layaknya api. Namun, kobaran tersebut
dapat pula diartikan sebagai kobaran untuk cinta atau malah dendam. Jadi harus
hati – hati pula untuk mengartikan mawar merah, tapi setidaknya tak serumit
mengartikan mawar putih yah. hehehe” Eomma sedikit terkekeh diakhir
penjelasannya mengenai makna mawar merah. Penjelasan mawar merah usai ketika
eomma selesai memetik setangkai mawar merah yang berada didepan kami. Aku ikut
terkekeh.
Aku mengikuti
eomma yang bergeser sekitar 4 kaki kesebelah kiri, dan aku mengekori
langkahnya. Kaki kami berdiri didepan barisan bunga tulip.
“lihat tulip –
tulip yang selalu meringkuk malu untuk menunjukkan bagian tengah kelopaknya
itu, Rie. Apa kau juga ingin tahu rahasia dari tulip?” tangan eomma menunjuk
segerombol tulip yang terlihat amat cantik dengan tiga warna berbeda didepanku,
merah, kuning, dan ungu.
“Tentu saja,
eomma. Ayo katakan padaku semua rahasia tentang semua bunga – bunga ditaman
kita, eomma” ujarku masih dengan bergelayut manja ditangan eomma.
“Selama ini apa
kau tahu darimana para tulip ini berasal? Kau akan menjawab dari negeri kincir
angin, Belanda. Kan?” eomma menghela nafas dengan dalam sebelum melanjutkan
kata – katanya. Aku tak menjawab pertanyaan eomma, aku hanya menunggu apa yang
akan eomma katakan mengenai bunga tulip.
“Sebenarnya
tulip bukanlah berasal dari Belanda, melainkan berasal dari Turki. Negeri yang
pada benderanya memiliki simbol bulan sabit dan bintang dengan warna merah yang
mendominasi” penjelasan eomma membuat mataku membulat
“Hah? Benarkah,
eomma? Tapi bagaimana bisa? Dibeberapa buku pengetahuan umum yang pernah aku
baca menjelaskan bahwa tulip berasal dari Belanda, eomma”
“Memang tak
banyak yang tahu, Rie. Semua terjadi waktu zaman penjajahan yang dilakukan oleh
negara – negara yang haus akan perebutan tanah kekuasaan. Dulunya Belanda
berhasil menjajah Turki setelah mengalahkannya. Ketika mereka mereka pulang ke
Belanda, bibit bunga tulip sempat dibawa dan voila ternyata bunga tulip dapat
pula tumbuh didaratan Belanda. Dan akhirnya dunia dicekoki bahwa bunga tulip
berasal dari Belanda”. Aku menutup mulutku yang menganga atas info baru yang
kudapat dari eomma kali ini. Tulip, kau telah melewati perjalanan yang amat
jauh.
“Tulip ini
merupakan simbol dari seorang perfect
lover, lambang kepercayaan, simbol dari beautiful eyes yang artinya digunakan
pula untuk mengungkapkan jika kita mengagumi mata seseorang. dapat pula
diartikan sebagai pernyataan cinta untuk seseorang. Namun masih sedikit orang
yang menggunakan tulip untuk menyatakan cinta, Rie” perhatianku tak lengah dari
eomma ketika menjelaskan makna bunga tulip yang ternyata memiliki arti tak kalah
hebat dengan mawar putih. Eomma mengakhiri penjelasan mengenai tulip dengan
memetiknya dua batang.
***
Aku
memarkirkan mobilku disisi jalan seberang sebuah toko bunga berlabel Huinsaek. Sebelum
memposisikan mobilku didepan toko bunga kecil namun tampak cantik itu aku
memperhatikan gadis yang selama ini berseliweran disela – sela jaringan otakku.
Ah, gadis itu masih bergulat dengan bunga – bunganya. Masih dengan sebatang
mawar putih yang ada didekatnya. Aku tak habis pikir bagaimana caranya menumbuhkan
hanya sebatang mawar dan dapat berdiri tegap disebuah pot seperti itu? Dasar
gadis unik. Aku tak sabar masuk ke toko bunganya. Tunggu, sebelum masuk dan
bertemu dengan gadis yang membuatku linglung selama ini setidaknya aku harus
merapikan baju yang kupakai ini, kan? Ah, gadis itu membuatku gila. Jinja!. Aku
bersiap menghidupkan mesin mobil dan berganti tempat parkir didepan toko bunga
kecil itu. Apa lagi kalau tidak agar aku bisa langsung melenggang masuk kedalam
setelah keluar dari mobil.
Triiing….
Aku suka bagaimana bell yang terpasang di pintu masuk toko ini mengeluarkan
bunyi. Sepertinya semua bell mengeluarkan bunyi yang sama, namun entah mengapa
bunyi dentingan bell yang satu ini terdengar paling istimewa di telingaku.
Semua gara – gara Park Quin Rie. Aku jamin itu.
Heol,
apa gadis itu tak mendengar bunyi bell. Bagaimana bisa gadis bernama Park Quin
Rie itu masih sibuk dengan segerombolan bunga yang sedang dirangkainya ketika
seseorang membunyikan bell?. Hmm, gadis ini benar - benar memiliki indera
pendengaran yang hebat. Aku takjub. Biar aku coba membunyikan bell ini lagi
dengan membuka tutup pintu toko bunga Huinsaek ini.
Triinggg….
Aish,
aku mulai gemas.
“Yeobboseo”
aku berjalan dengan pelan untuk mendekatkan diri dari tempat dimana gadis itu merangkai
bunga – bunga kesanyangannya. Ah, dia melamun lagi. Aku tak habis pikir mengapa
gadis ini sering sekali terlihat melamunkan sesuatu. Memang tangannya bergerak
– gerak merangkai bunga, namun kedua mata itu selalu terlihat kosong setiap
kali aku berhasil membuatnya membalas tatapan mataku.
“Nona
Park Quin Rie, apa kau tak apa?” tanyaku lagi masih berusaha menyadarkannya.
***
Triiinggg….
Tringgg….
“Yeobboseo”
terdengar suara seorang laki – laki membuyarkan lamunanku. Aish, bahkan saat seperti ini aku melamun? Kenapa kau hobi sekali sih
melamun. Ah, jinja.
Tunggu,
suara ini. Apakah…
Benar
Laki
– laki tampan pemilik mata dan bibir yang indah itu datang lagi. Tepat seperti
dugaanku bahwa siang ini ia akan datang lagi di jam yang sama. Dan rambutnya
masih sama seperti kemarin dan hari – hari sebelumnya, berwarna coklat muda.
Entah dengan alasan apa, namun aku menyukai laki – laki yang memiliki rambut
berwarna coklat muda.
“Nona
Park Quin Rie, apa kau tak apa?”
0 komentar