Love Puzzle - Bagian 2
July 20, 2013(Fanfiction - Love Puzzle part 2)
casts: akan muncul sendiri tiap part ceritanya :)
genre: romance
selamat membaca ^.^
==================================================================
“Nona
Park Quin Rie, apa kau tak apa?”
Lelaki
yang baru kesadari sejak dua hari lalu, bahwa selalu kunantikan kedatangannya
kini akhirnya muncul di hadapanku. Aku menyukai rambut coklat dan mata
indahnya. Dan yang paling kurindukan adalah suara halusnya yang selalu
terdengar sopan. Tunggu, rindu?! Ah, tapi aku memang tak dapat memungkiri bahwa
aku merindukan kedatangan sosok lelaki itu untuk berkunjung ke toko bungaku,
bertemu denganku.
“Maaf,
selamat datang, Tuan” sapaku padanya berusaha menjaga imej bahwa aku berhadapan
dengan pelangganku, meskipun dadaku berdebar ketika mata ini bertemu dengan
kedua mata itu.
“Terimakasih,
Nona Quin Rie. Sepertinya setiap aku kesini, aku selalu mengganggu harimu
dengan bunga mawar putih itu” katanya menunjuk mawar putih yang sering aku ajak
berbicara.
“Atau
mengganggumu yang sedang menerawang menghayal sesuatu” lanjutnya terkekeh. Aku
suka senyumnya.
“Ah,
maafkan saya, Tuan. Saya terlalu sering melamun. Saya mendapatkan hobi baru
akhir-akhir ini” jawabku menggaruk kulit kepalaku yang tak gatal. Dia tertawa
menanggapiku.
“Oiya,
silakan melihat-lihat bunganya, tuan. Bunga seperti apa yang tuan kehendaki
hari ini?” tanyaku tak mampu lagi untuk berbasa-basi. Aku terlalu malu.
“Hmmm… aku lihat kau tadi merangkai bunga untuk hari ini
kan, Nona?” tanyanya menoleh kearah meja dimana tergeletak sekelompok bunga
yang belum selesai kurangkai.
“Iya,
saya merangkai lagi. Tapi belum selesai rangkaiannya, Tuan. Entahlah, ide
sedang macet”
“Saya
ambil bunga yang kau rangkai hari ini saja, Nona”
“Tapi
belum..”
“Tak
apa, saya akan menunggunya sementara kau menyelsaikannya, Nona” selanya
tersenyum manis.
-
Aku
merasa kedua telapak tanganku dingin ketika kucoba merangkai bunga-bunga yang
kupetik sebelumnya. Sial, bagaimana aku bisa merangkai bunga-bunga ini dengan
rapi dan indah sementara dua mata indah itu menatapku tajam? Wajahnya
menyunggingkan senyum kapanpun aku menoleh kearahnya.
“Apa
tidak anda ambil nanti sore saja rangkaian bunga ini, tuan Luhan?”
“Quin
Rae, bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan kau untuk tidak memanggilku
tuan? Panggil saja aku oppa. Panggilan tuan membuatku merasa sangat tua, kau
tau?!”
Aku
sedikit tertawa mendengar kata ‘merasa sedikit tua’ nya.
“Baik,
Oppa. hehehe”
Luhan,
ya itu nama lelaki bermata indah itu. Dari namanya saja semua orang pasti dapat
menebak bahwa ia bukanlah warga asli Korea. Luhan adalah warga Cina yang telah
menetap di Korea semenjak satu tahun lebih 2 bulan yang lalu, namun ia masih tetap
berkewarganegaraan Cina. Ia mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar Cina-Korea
untuk tahun akhir perkuliahannya selama satu semester. Ia menyelesaikan semua
penelitian dan tugas akhirnya di Korea, sebulan lalu dia baru saja kembali dari
Cina untuk mengurus kululusan dan acara wisudanya disana.
“Tak
apa, aku ingin melihat proses merangkai bunga. Lagi pula setelah ini aku sedang
tak ada jadwal latihan apapun hingga nanti malam, ruang latihanku sedang dipakai
senior untuk konser mereka sebulan lagi” jawabnya masih tak melepaskan
pandangannya dari segala gerak-gerikku.
Oya,
setelah lulus kuliah Luhan dilirik oleh menejemen artis dari SM Entertainment,
sebuah agensi terbesar di Korea, ketika sedang jalan-jalan santai untuk sekedar
berbelanja di daerah Myeundong. Ia segera menerima tawaran SM untuk menjadi
trainee menjadi calon penyanyi disana, lagipula menjadi penyanyi adalah salah
satu impiannya.
“Oya,
wah pasti asik ya jadi trainee disana” tanyaku berbasa-basi. Sungguh, aku tak
cukup pandai berbasa-basi, jadi jangan salahkan aku bila kalimat yang kugunakan
terdengar aneh kadang-kadang.
---
Sebenarnya
ada sesuatu yang kupendam selama ini. Sebuah pertanyaan yang hingga kini masih
bercokol dihatiku dan masih belum bisa kupecahkan. ‘Apakah Luhan membeli bunga-bunga ini setiap hari untuk kekasihnya?’.
Selalu ada keengganan ketika aku hampir menanyakannya. Tapi, wajar kan kalau
seorang pemilik toko sekedar basa-basi menggoda pelanggan yang membeli bunga
untuk kekasihnya?
“Pasti
hari-hari gadismu yang selalu kau belikan bunga setiap hari terasa indah yah,
Tuan Luhan. Saya membayangkan bahwa gadis itu amat sangat cantik kan..”
“Quin
Rae-ah, apa kau ingin tau alasan aku membeli bunga setiap hari?” aku menoleh
padanya yang sekali lagi menyela kalimatku. Aku mendapatkan guratan ekspresi
yang serius dan sulit kuartikan ketika lelaki itu menggantungkan pertanyaannya
padaku. Namun hanya dengan menatap padanya tanpa belum sempat menjawab, ia
melanjutkan
“Jika
aku mengaku bahwa alasan mengapa setiap hari aku beli bunga ditoko ini adalah
untuk menemuimu, apa kau anggap pengakuanku ini hanya lelucon gombal?” jawabnya
sekaligus membuat pertanyaan
Aku
serasa seluruh badanku mematung mendengar ungkapan Luhan Oppa.
***
Sore
ini kutelusuri taman kota yang penuh dengan goyangan bunga-bunga kerdil
setinggi bawah lututku yang tertiup angin. disebelah kanan terdapat kawanan
mawar merah yang melambai-lambai kearahku, sedangkan sekawanan tulip bergoyang
hebat karena angin sore sehingga menggoda mataku untuk menatapnya. Didepanku
pun tak kalah indah, disana terdapat 8 air mancur yang akan menyemprotkan air
dengan ritme yang berbeda sehingga memunculkan kesan semakin indah dan
menenangkan siapapun yang melihatnya. Dan disinilah tempatku duduk diantara
pemandangan indah yang telah kusebutkan tadi, duduk diatas kumpulan rumput
berwarna hijau segar yang menahan berat badanku agar aku merasa nyaman—maafkan
aku yang menduduki rumput-rumput manis ini dengan tega. Disini aku juga
ditemani dengan seseorang yang kini menyandarkan kepalanya dipahaku, sisa
badannya direbahkan diatas rumput itu. lihat, dia bahkan lebih tega dari padaku
dengan menumpukan seluruh berat badannya pada rumput sore ini kan?.
“Quin
Rae-ah, lihat awan diatas sana. Awan itu membentuk wajahmu yang sedang
tersenyum” kata lelaki itu menunjuk awan yang mengapung diatas kami, posisinya
masih sama dengan menyandarkan kepanya dipahaku.
Aku
melihat keatas mengikuti arah tangannya, sambil mendongkak keatas kutelengkan
sedikit wajahku kearah kanan.
“Benarkah,
Oppa? Tak terlihat seperti itu” jawabku. Benar, aku tak bohong. Awan itu hanya
nampak seperti segerombolan kapas saja disana
“Ah,
kau tak seru. Bagaimana bisa kau tak melihatnya, Sayang? Oh, aku tahu! Mungkin
karena kadar cintaku padamu lebih tinggi daripada kadar cinta darimu untuk
dirimu sendiri” kata lelaki itu mengalihkan pandangan bola matanya kearahku.
Sial!!!
Ia
menggodaku lagi!
Aku
malu!
“Ya!
Oppa …” aku berusaha memukul lengannya tapi ia selalu berhasil menahan
pukulanku.
“Sayang,
kau tahu. Aku benar-benar menikmati suasana seperti sore ini, ketika hanya ada
kita berdua ditaman penuh bunga dan suara kucuran air mancur itu. yah, aku
sudah sangat senang walaupun hanya dengan posisi seperti ini asalkan itu
kulakukan denganmu” katanya lagi dengan tatapan mata mematikan itu. disana
terlihat kedua manik mata hitamnya bersinar ketika mengatakannya.
Dia
membuatku malu lagi …
Apa
pipiku memerah? Kemungkinan besar iya!...
“Luhan
Oppa, sudahlah hentikan. Aku tak sanggup mendengar lagi kata-kata manis darimu”
kataku akhirnya
“Kenapa?”
tanyanya dengan ekspresi wajah polos yang berusaha ia tampakkan
“Ya!
wajahku terasa hangat tiap kali kau buai aku dengan kata-kata gombalmu itu,
Oppa”
“Maksudmu
wajahmu yang menjadi semerah tomat? Oh terutama dikedua pipimu itu? kenapa? Aku
senang melihatnya” ujarnya lagi.
Ah,
aku semakin geli
“Semua
yang kukatakan tak ada satu pun yang gombal kok, semuanya benar-benar dari
lubuk hatiku” lanjutnya
Aku
tak tahannnn…..
Luhan
Oppa, saat ini ia adalah kekasihku.
Ia
menjadi pria paling romantis yang pernah kutemui selama hidupku. Tak hanya itu,
ia juga selalu hadir secepat kilat disaat kapanpun aku membutuhkannya.
Hari-hari
indahku bersama Luhan oppa telah kulalui semenjak setahun lalu
Semua
itu terjadi karena pengakuannya yang tiba-tiba saat ia mengawasiku merangkai
bunga untuknya …
***
“Jika aku mengaku bahwa alasan mengapa setiap
hari aku beli bunga ditoko ini adalah untuk menemuimu, apa kau anggap
pengakuanku ini hanya lelucon gombal?”
“Quin
Rae-sshi?” tanyanya menyadarkanku yang telah mematung.
“Oh.
Ya, o..op..pa” aku tergagap menjawabnya, karena masih belum seluruhnya aku
tersadar.
.
Kulihat
lelaki itu menggeser kursi untuk berdekatan denganku, aku masih diam duduk
ditempatku tanpa ekspresi apapun.
“Quin
rae-ah, aku… aku mencintaimu. Jika kau menanyakan alasannya, dapat kupastikan aku tak tahu alasannya. Tiba-tiba
saja hatiku terpaut olehmu, dan semakin lama aku tak dapat menyembunyikannya
apalagi mengontrolnya. Maka dari itu, akhirnya hari ini… detik ini… kunekatkan
diriku untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Jadi…”
Ia
memberi jeda sejenak. Aku masih tak tahu harus mengeluarkan ekspresi seperti
apa
“Be
mine?”
Oh
Tuhan, Apa-apan ini! Luhan oppa menembakku?
Aku
masih saja terdiam beberapa saat, bibirku terasa membeku tak kuasa mengatakan
apapun.
Akhirnya,
“Aku…
aku… tak tahu, Oppa” jawabku akhirnya
Didepanku
Luhan masih menatap harap kearahku, ia menyunggingkan senyum manis… teramat
sangat manis
“Hmmm…
tak apa. Sungguh tak apa, aku akan setia menanti jawabanmu. Tapi kau harus
tahu, setiap hari aku akan datang padamu menagih jawaban, Quinrae-ah. Oke?”
tanyanya akhirnya bangkit dari kusinya. Ia melepaskan genggaman tangannya.
--
Semenjak
itu Luhan oppa tak bosan-bosannya mendatangi toko Huinsaek untuk bertemu denganku,
maksudku lebih tepatnya menanti jawabanku.
Sudah
seminggu ini aku menggantung perasaannya tanpa kepastian
Hingga
akhirnya saat ini,
“Quinrae-ah,
apa kau sudah mendapatkan jawabannya?”
“Ingat
kau tak boleh merasa risih setiap kali aku menanyakannya!” lanjutnya disertai
ancaman.
“Aku…
aku… mau, Oppa” kataku sambil menunduk dan memainkan ujung bawah bajuku.
Aku
melirik kearah Luhan oppa sedikit. Disana kutemukan ekspresi sumringah dan dua
manik mata yang berkilau.
Luhan
berjalan mendekatiku..
Kemudian
memelukku…
Sedetik
kemudian aku tak lagi merasakan kakiku menyentuh tanah.
“Aku
sangat mencintaimu, Quinrae” ucapnya tepat ditelingaku
“Aku
juga mencintaimu, Oppa”
***
“Sayang,
apa yang kau pikirkan? Aish.. kenapa kau masih saja melamun bahkan ketika aku disini?”
protesnya membuyarkan lamunanku.
“Aku
tak melamun apa-apa” elakku.
Andaikan
dia tahu bahwa dialah objek lamunanku
Aku
terkikik geli melihat ekspresinya
“Ya!
kenapa kau tertawa?”
“Tak
apa-apa, oppa” jawabku
.
. .
“Quin
rae-ah, oppa lapar. Ayo kita makan kimbab yang kau buat untukku itu” ujarnya
menunjuk sebuah kotak makan yang terletak didekat kami.
***
0 komentar