Nama Mayat Itu Adalah Aku

October 31, 2015



-0-

Kami mulai bertemu sore tadi lantaran tugas kelompok yang harus kami kumpulkan di atas meja dosen kami sebelum pukul 10 pagi. Jadilah tiga sahabat; Aku, Vanya, Radit, dan dua kawan lainnya, Retno dan Jessi ngebut menyelesaikan tugas itu malam ini juga lantaran ancaman sang dosen yang sangat menakutkan itu. Katanya mereka tak akan lulus mata kuliahnya jika terlambat mengumpulkan tugas tepat waktu.

Langit sudah beranjak semakin gelap saat pelayan dimana mereka bertemu mengerjakan tugas malam ini menghampiri tempat mereka. Mencoba memberitahu sehalus mungkin bahwa kafe tersebut sudah waktunya tutup. Aku segera mengiyakan kala ia juga melihat beberapa pelayan tengah sibuk membersihkan beberapa bagian di kafe ini kecuali tempat mereka berlima.


Waktu yang semakin mengakhiri hari, Radit dan Vanya juga dua kawan lainnya juga ikut beringsut membereskan laptop, kertas serta alat tulis lainnya untuk undur diri dari tempat ini. Saat Aku hampir selesai bersiap, ia mengambil selulernya dan menekan salah satu panggilan cepatnya. Cukup lama 
Aku menunggu seseorang mengangkat ringikan seluler yang ia telpon.

Sialnya, tak seorang pun mengangkatnya dalam tempo cepat sehingga panggilan Aku ditangguhkan ke nada tunggu. Aku memencet gambar gagang telpon merah, mengakhiri panggilan. Lantas kembali berkemas.

“sudah siap? Kau jadi pulang bareng aku, Vanya?” Tanya Radit. Vanya membalasnya dengan anggukan,

“Iya, orangtuaku sedang ke luar kota dan motorku di service”. Gak papa kan, Dit?”, lantas Radit menimpalinya dengan anggukan kepala.

Pertanyaan pemuda itu beralih pada satu gadis lainnya, “Kalau kamu? Jadi di jemput papamu?”. Aku sedikit kebingungan menjawabnya. “Harusnya iya. Sebentar ya aku telpon papa dulu.”
Dari menggigit jari. Aku kembali memencet panggilan cepat di ponselnya itu. Agak lama ia menunggu hingga panggilannya di jawab oleh suara khas seorang wanita yang terdengar sangat mengantuk. “Kamu sudah selesai kerja kelompok ya, sayang? Papamu tertidur di meja kerjanya. Mama gak tega banguninnya, dari dua hari lalu beliau lembur, kau tahu sendiri, kan?. Kamu minta tolong diantar Radit saja ya?”, lalu panggilan pun diakhiri sepihak. Mama mengatakannya tanpa memberi kesempatan Aku untuk berucap sepatah kata pun. Gadis itu hanya menghela nafas dengan berat.

“Ah, ekspresi itu. Aku tahu. Yaudah yuk berangkat.” Radit mengatakannya dan memberi isyarat pada dua gadis itu untuk menunggunya mengambil motor diparkiran. Radit tak sadar ada keraguan di wajah salah satu temannya.

Lelaki muda itu kembali tak lama kemudian, memberi aba-aba pada dua teman perempuannya, “Yuk, naik.”

Vanya segera naik dan memberi space agar Aku dapat ikut serta.

“Beneran gak papa nih? Motor kan buat dua orang aja.”

“Udahlah, gapapa. Perjalanan kita kan bentar aja. Lagian gak ada polisi malem-malem gini. Cepetan naik” timpal Radit.

“Kamu nganternya gantian aja ya, Dit. Kamu nganter Vanya dulu gih.”

“Nggak efisien kamu. Kasian Raditnya bolak-balik. Masih untung dia mau nganter kita.” Balas Vanya. Radit mengangguk mengiyakan.

Akhirnya dengan ragu-ragu, Aku naik dan duduk di belakang Vanya. “Hati-hati ya, Dit. Jangan ngebut”, Aku mencoba memperingatkan. Si lawan bicara hanya mengangguk dan mulai menghidupkan motornya.

Langit malam semakin gelap, membuat para bintang bersinar makin terang. Udara Malang yang memang sejuk terasa semakin dingin membelai lengan Aku yang tidak tertutup kain, dan ia mengumpat dirinya sendiri dalam hati karena tak memakai jaket.

Semakin lama, angin kota Malang semakin membuatnya menggigil dan ia sendiri kesulitan membuka matanya karena terpaan angin malam yang menerpa dirinya. Semua itu karena semakin lama, speedometer Radit semakin menukik kekanan. Ia memang suka mengebut dan Aku tak heran soal itu. Namun ia sungguh takut.

“Radit, jangan ngebut. Hati-hati!” pekik Vanya melawan udara yang berusaha meredam suaranya.

“Iya, Dit. Aku takut.” Timpal Aku.

“Tenang aja. Biar cepet nyampe.” Pekik Radit tak kalah keras.
Radit sama sekali tak berniat menurunkan kecepatan motornya. Jalanan kota yang lenggang membuatnya makin kesetanan melajukan motornya. Bahkan lelaki itu melepaskan tangan kanannya dari stang sepeda, terlihat membelai udara malam. Lelaki ini memang sinting. Ia bermain-main dengan keselamatan mereka bertiga.

“Radit, pelan-pelan napa!” Aku berusaha memperingatkan kawannya lagi. Tangannya menarik-narik jaket pemuda itu.

“Hey, jangan tarik-tarik. Nanti jatuh baru tau rasa.” Ujarnya, lagi-lagi dengan nada keras melawan udara. Aku hanya mendengus seba. Begitu juga Vanya.

Radit sama sekali tak mengindahkan keluhan dua kawan gadisnya yang khawatir pada speedometernya yang terus menukik ke kanan sedikit demi sedikit. Pemuda itu bahkan memutar memilih rute yang lebih jauh untuk menuju dua rumah Vanya dan Aku. Dia sudah gila memang jika sudah kebut-kebutan, terlebih di jalan yang selenggang saat ini.

“Radit, kok milih rute ini sih?!!” Aku berseru sebal.

“Kita seneng-seneng dulu malam ini sebelum sampai rumah.”

“Radit, kau sudah gila. Ini sudah hampir jam dua belas. Orangtuaku bisa gila aku belum sampai di rumah.” Tambah Vanya.

“Tenang saja, ladies.”

Satu hal yang Aku benci dari Radit adalah kecanduannya akan balapan. Yah, dia memang atlit balap meski kelasnya masih baru akan menginjak moto2. Dibalik sifatnya yang baik hati dan peduli kawan, penyakit kebut-kebutannya itu juga tak jarang bikin orang senewen jika sedang dibonceng olehnya.
Vanya menenggelamkan wajahnya di balik punggung Radit sedangkan Aku berusaha memincingkan mata meski berkali-kali matanya ingin tertutup karena terpaan angin malam yang kencang. Aku berusaha tetap mengintip jalanan di depannya. Ia sangat khawatir. Bagaimana tidak, mereka bertiga naik di satu motor dengan ‘supir’ yang ugal-ugalan.

Aku berpacu dengan nafasnya sendiri saat sesekali matanya menengok speedometer Radit yang tak kunjung beringsut menurun ke kiri, apalagi kembali di angka normal berkendara. Tak lama kemudian mereka menjumpai penghujung jalan yang terdapat lampu lalu lintas di depannya. Dan lampu itu sebentar lagi akan beralih warna dari kuning ke merah.

“Radit, lampu merah. Jangan lupa berhenti.” Teriak Aku meski ia sendiri sangsi Radit akan mendengarkannya

“Sesekali kita terobos saja lampunya tak apa kan? Tak ada polisi dan jalanan sepi.”

“Tetap saja, Radit. Hentikan motornya. Radit!” Pekik Aku lebih melengking dari sebelumnya karena mereka semakin mendekat ke arah tikungan itu dan tak ada tanda-tanda Radit akan menghentikan motornya. Sialan kau, Radit! Umpatnya dalam hati.

Mereka bertiga semakin dekat dengan tikungan dimana lampu lalu lintas itu berdiri di salah satu sisi jalannya. Mata Aku berusaha lebih menajam melawan hempasan angin malam yang semakin lama semakin kejam menamparnya. Di penghunung jalan itu, samar-sama Aku mendapati seberkas cahaya dari tikungan arah kanan yang akan mereka lalui. Oh, Tuhan, betapa Aku berharap ia salah lihat—namun dengan jelas Aku melihat sebuah sorotan cahaya yang terlihat olehnya itu benar-benar berpendar dari salah satu tikungan itu. Cahaya itu semakin lama semakin besar dan menyilaukan. Dan jika benar, Aku berani bersumpah bahwa sorot cahaya itu berasal dari sebuah mobil besar seperti truk atau bus.

Ra… Radit! Aku memekik dalam hati.

Tak selaras dengan ekspektasinya, bibir Aku hanya mampu menganga, tak kuasa gadis itu melontarkan nama kawannya. Bahkan Aku butuh sejurus untuk sekedar meneguk air liur demi melihat apa yang ada didepannya. Kecepatan motor Radit yang kian tak rasional, hempasan angin malam yang menampar tanpa ampun, dan pendaran cahaya yang seolah hendak menelan mereka bulat-bulat itu berhasil meredam suara aku untuk memperingatkan Radit menghentikan laju mereka bertiga. Semuanya terjadi terlalu cepat, tak ada waktu  lagi untuk Aku menguasai diri dan memanggil nama Radit dengan sempurna.

“AAaaaaaaaaaaarrrggghhhhhhhhhhhh!!!!!!!”

Brak!!!

Detik itulah saat Aku merasa terlampau dekat dengan sorotan cahaya hingga mata Aku tak lagi mampu membelalak melawan cahaya itu, hanya lolongan panjang menyayat itulah yang bisa terdengar.

Lalu semuanya menjadi gelap.

***

Sayup-sayup, Aku mendengar jalanan disekitarnya berdengung seperti kumpulan lebah. Ia sendiri tak yakin. Detik berikutnya ia mendengar suara klik-klik khas kamera berputar-putar mengelilinginya. Aku bersusah payah hanya untuk membuka matanya, ingin tahu apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Yah,  sebelum Vanya dan Radit tersadarkan diri, Aku lah yang pertama kali berdiri meski seluruh badannya terasa ngilu dan mencoba membersihkan diri. Dilihatnya dua temannya, Vanya dan Radit masih terkapar tak berdaya tak jauh di tempat  ia jatuh dan bercecer bercak-bercak darah di sekitar mereka terutama di dekat Vanya. Gadis itu sepertinya terluka parah. Tak butuh waktu lama untuk Aku menyadari keadaan sekelilingnya. Banyak wartawan dengan kamera bermoncong panjangnya menyoroti mereka bertiga, beberapa orang keluar dari mobil dan berbisik-bisik sembari mengamati mereka dengan ekspresi sedih, ngeri, kasihan, bahkan jijik. beberapa polisi juga nampak berkomunikasi satu sama lain di dalam garis kuning bertulisakan ‘dilarang melintas’.

“Lama sekali dua ambulan sialan itu datang!” ujar salah satu polisi dengan geram. Satunya lagi menjawab, “Aku baru saja menelepon. Katanya sudah perjalanan. Harusnya tiga-empat menit lagi sudah sampai.”

Dugaan polisi itu benar. Ambulan datang tiga menit kemudian. Jeritan ambulan dan sorotan lampunya membuat Aku merinding dan bergidik ngeri. Gadis itu kini sudah bisa berdiri dengan tegak dan beringsut ke tempat Vanya yang nampak terluka lebih parah dibandingkan Radit.Ditengah kehebohan itu Aku melihat seorang pria jangkung yang juga tengah melihat Aku mengenakan baju unik—ia sendiri tak pernah melihat model baju seperti itu—sedang berdiri tak jauh dari tempat Aku dan teman-temannya kecelakaan. Lelaki itu terlampau tampan untuk orang Indonesia rata-rata namun sepertinya lebih tampan dari orang bule. Selain bajunya, struktur wajahnya juga unik. Unik yang enak dipandang. Wajahnya mengkilat dan sebening Kristal bahkan sebagai perempuan pun Aku tak bisa menebak perawatan seperti apa yang dilakukan pria itu.

Astaga, kawan-kawanmu sekarat. Demi jenggot Merlin! Tak ada waktu untuk beginian! Umpatnya sekali lagi pada diri sendiri. Ia kembali menepuk-nepuk pipi Radit yang terkulai seperti sudah mati.

Ia berteriak-teriak pada salah satu petugas yang turun memeriksa. Mereka segera membopong tubuh Radit yang masih terkulai dan tubuh Vanya yang ditemukan luka dimana-mana. Aku menangis melihat dua kawannya yang sekarat.

“Saya kawan mereka, jadi saya harus ikut, pak.” Kata Aku pada seorang petugas ambulan itu. Namun tak ada jawaban darinya karena ia terlampau sibuk untuk mengurusi Vanya dan radit seorang diri. Petugas itu sibuk memasangkan oksigen dan beberapa alat ke tubuh Vanya dan Radit.

“Oh, ya. Ambulan satunya belum datang, ya?

“Belum. Katanya bentar lagi sampai.” Jawab si supir.

“Oke. Cepat tutup pintunya dan segera berangkat. Mereka berdua kritis.” Lanjutnya pada supir yang berdiri di  dekat pintu belakang mobil. Aku segera naik ke mobil itu. Duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu mobil. Petugas itu terlihat gugup dan bergetar melihat dua orang tak sadarkan diri itu memiliki banyak luka sana-sini. Aku menggigil. Ia tak bisa mengontrol kakiknya yang terus bergetar, beruntung ia memakai kets malam ini jadi tak begitu berisik. Ia menggigiti jari kukunya hingga hampir habis. Mobil ambulan bergerak meninggalkan lokasi kejadian. Dan tak sengaja Aku kembali melihat lelaki misterius itu dibalik kaca ambulan. Dua manik mata lelaki itu masih melekat memandangi Aku.

***

Ambulan berpacu dengan cepat, membuat mereka sampai di rumah sakit terdekat hanya dalam tempo lima menit saja. Begitu pintu dibuka oleh supir ambulan, petugas yang sedari tadi mengecek kondisi dua kawannya segera meneriaki kawannya yang sudah menunggu kami di depan rumah sakit.

“Cepat kita pindahkan mereka!” serunya tanpa menunggu Aku turun dari mobil dengan sempurna. Sehingga membuat Aku nyaris jatuh.

“Halus dikit napa sih, pak.” Decak Aku kesal. Lelaki yang membuatnya sebal tak menghiraukannya, ia lantas berlari dengan mendorong tempat tidur beroda milik Vanya, sedangkan dua teman lainnya juga melarikan Radit.

“Cepat! Aku tunggu di UGD ya!” teriaknya pada dua koleganya.

Tak mau terlambat, Aku mengikuti mereka. Gadis itu tak bisa ikut masuk ke UGD. Ia memutuskan duduk di kursi tunggu dekat pintu UGD. Ia menjambak-jambak rambutnya dengan pelan namun gemas karena ia tak memiliki ide lain apa yang harus ia lakukan. Ia tak memegang apapun. Ponsel dan dompetnya mungkin saja tertinggal di lokasi mereka kecelakaan. Dan ia tak hafal nomor orangtuanya sendiri terlebih nomor orangtua pun rumah dua kawannya itu.

Di tengah kekalutan pikirannya, ia mendengar suara ketukan pantofel lelaki mendekat kearahnya.
Aku menengadah. Dilihatnya sesosok lelaki tampan misterius itu. Wajahnya tanpa ekspresi namun memandang lurus dan tajam ke arah Aku.  Ia tak mengucapkan sepatah kata apapun alih-alih menduduki salah satu kursi tunggu yang paling jauh dari Aku. Lalu menunduk. Mereka, dalam satu lorong, sebaris kursi tunggu, hanya saling diam. Hingga Aku rasa ia bisa mendengar suara mesin AC.
Cukup lama mereka terdiam, hingga akhirnya Aku memulai percakapan.

“Kau kenal dengan salah seorang kawanku yang sedang di dalam sana?” tak ada jawaban langsung. Lelaki itu menoleh pada Aku. Aku sendiri baru menyadari matanya yang sangat cantik itu ternyata sewarna kacang walnut.

Lelaki itu menggeleng. Masih dengan ekspresinya yang kaku.

“Lalu, kau kenal aku?”

Lelaki itu mengangguk. Sedangkan Aku kebingungan.

Lelaki itu nampak menggerakkan bibirnya. Aneh, Aku tak begitu tahu bahasa apa yang sedang lawan bicaranya pakai. Ia tak yakin, mungkin saja Jawa, Sunda, Batak, yang pasti ia paham apa yang lelaki itu katakana. Ia berkata aku datang menjemputmu.

Belum sempat Aku membalas perkataan lelaki itu, pintu UGD terbuka terlihat seorang dokter menyembul keluar dari balik pintu besar itu. Ia berjalan cepat. Dan aku berusaha mengimbangi langkahnya yang lebar-lebar.

“Dok, bagaimana keadaan dua kawan saya?”

“Dok, bolehkah saya masuk sebentar?” ia masih berjalan cepat.

Lalu ia menoleh, “Cepat pindahkan dua pasien itu ke kamar perawatan yang kosong.”

Aku mengikuti mereka yang membawa dua kawanku yang masih memejam mata mereka. Mereka di bawa di dua pavilium berbeda namun bertetangga. Aku masuk ke kamar Radit terlebih dahulu karena ia sampai terlebih dahulu di kamarnya.

Ada dua perawat yang membawa Radit. Seorang mempersiapkan pemasangan infus, seorang lain entah mempersiapkan apa itu namanya—aku tak paham.

“kasihan ya mereka.” Ujar salah seorangnya setelah selesai memasang infuse di tangan kiri Radit. Aku hendak melangkah keluar ruangan dan menengok Vanya.

“Jadi gimana kabar yang satunya? Kapan orangtuanya menjemput?” kata-kata itu membuatku membeku. Satunya? Maksudnya Vanya? Atau a..aku?

“Tabrakannya ngeri sekali katanya, ya? Katanya motornya sampai terbalik kebelakang. Pantas saja yang duduk paling belakang yang paling nahas.” Lanjut lawan bicara perawat itu.

Jantung Aku berdegub dengan keras. Bahkan metode meniup jempol untuk menenangkan degub jantung pun tak sukses kali ini meski Aku mencobanya berkali-kali sebelumnya.

“Siapa nama mayat itu? Namanya unik seingatku.”

Keringat mulai berhambur keluar di dua pelipis Aku.

“Siapa ya? A…Akula Amalia? Ya, itu namanya.” Lalu terdengar suara cekikikan yang terlampau pelan dari dua perawat itu. Mereka mencemooh namaku. Namun, aku tak terlalu memikirkannya. Ada suatu fakta yang lebih menusuk hati untuk di pikirkan saat ini.

Kenyataan bahwa aku.. aku…

Kau sekarang tahu mengapa aku menjemputmu..

Akula menengadah. Mendapati sesosok misterius, yang sedari tadi memandanginya, itu berdiri di depan pintu ruang perawatan Radit.

***

Di tempat lain, di rumah Aku, ponsel sang papa bergetar berkali-kali. Disana terdapat sebuah nomor telepon rumah sakit pusat yang telah papa simpan. Getaran tanpa nada dering itu tak cukup kuat untuk membangunkan papa Akula. Lelaki paruh baya itu tertidur sangat pulas seperti yang diberitakan oleh mama via telepon beberapa saat lalu ketika Akula meminta papanya untuk menjemput. Satu menit tak ada jawaban, ponsel  tersebut kembali sunyi.

Detik berikutnya ponselnya bergetar kembali. Layarnya kembali memaparkan nomor rumah sakit pusat. Kali ini ponselnya berdering lebih lama dari sebelumnya. Papa Akula tertidur pulas hingga mendengkur. Mengabaikan ponsel yang terus bergetar, juga artikel berjudul ‘Selamat Berkendara’ yang belum sempat ia tuntaskan.





-fin-


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com


You Might Also Like

0 komentar