Count on Me

November 24, 2015

Hari ini pukul 24 November 2015, kingkin menjatuhkan kembali ponselnya dengan sebal.  Petang semakin kelam, dan yang dinanti tak kunjung datang. Gadis itu menyisir rambutnya dengan sebal. Lantas di campakkannya sisir berwarna hijau itu sembarang di atas tempat tidrunya.
Tak ada yang spesial di hari ulang tahunnya. Yah, memang sih panggilan dari sang ibu dan ayahnya tepat jam 12 malam lebih satu menit itu memang menenteramkan batinnya. Lalu panggilan berikutnya datang satu jam setelahnya, dari seorang teman dekat. Well—lelaki terdekatnya saat ini.

Lantas menjelang subuh ponselnya kembali berdering dari teman-teman dan sahabat-sahabat lainnya hingga menjelang ia berangkat ke tempat kerja.
Bahkan di tempat kerjanya, teman-temannya menyiapkan surprise kecil-kecilan juga sebuah cupcake dengan lilin mungil diatasnya. Diiringi dengan berbagai macam doa unuknya.  Tumpukan kertas novel yang masih mentah itu masih saja menumpuk tak berdosa diatas mejanya tak lagi menggugah seleranya.
Dia tak menyangka temannya melupakan hari pentingnya.
***
Aku menenggak dengan cepat sebotol teh dingin rendah gula favoritku. Berusaha menghabiskannya dalam sekejab, namun dayaku hanya menghabiskannya setenggak demi setenggak. Malam semakin larut, kepalaku masih saja terasa berat seperti di pukul dengan batu berkali-kali. Singkatnya aku mengalami jetleg. Memang terdengar berlebihan, namun itulah yang terjadi padaku.
Orang-orang yang tinggal satu asrama denganku perlahan menutup pintu mereka masing-masing, bersiap mengatupkan mata. Namun pandanganku akan tempat baru ini Nampak begitu nanar. Udara malam yang biasanya kufavoritkan, mendadak menjadi sesuatu yang ku benci. Aku ingin segera menyambut sinar pagi. Malam membuatku sesak.
“Hai.” Seseorang menepuk pundakku dan menyapaku dengan intonasi yang menenteramkan. Tak jauh dari tempatku duduk, aku mendapati seorang gadis dengan tinggi yang tak jauh beda dariku dan wajah yang nampaknya seumuran denganku itu ikut menyamakan tinggi puncak kepala kami. Gadis itu duduk tepat di dekatku. Kaki kanannya ia letakkan di atas kaki kirinya. Ia terlihat sangat santai dengan kaus lengan pendek dan celana pendek. Aku bahkan sempat berpikir gadis ini tahan udara dingin.
“Baru datang, ya?” sapanya lagi. Seakan mengingatkanku juga bahwa aku belum membalas sapaannya.
“Oh, hai. Iya barusan saja datang.” Jawabku. Lalu berusaha menarik dua ujung bibirku keatas, menunjukkan padanya bahwa aku berterimakasih atas sikap ramahnya.
“Wah, seger banget tuh.” Katanya lagi. Aku sempat menawarkan minumanku namun ia menolak.
“Kamu kelihatan bingung. Biasalah tempat baru. Iya, kan?” katanya lagi.
“Iya. Aku sempat tak percaya aku masih di Indonesia. Aku bahkan merasa sudah di Malaysi.” Jelasku.
Tiba-tiba aku berbicara tentang Andrea Hirata yang selalu menggunakan setting Melayu dalam tulisan-tulisannya.
“A..Andrea Hirata???!” gadis itu memekik menatapku tak percaya. Menaikkan kacamata kotaknya yang menurutku tak bergerak sedikit pun dari hidungnya.
“Tentu saja aku tahu, siapa yang tak tahu si legendaries Andrea hirata?”
Lantas, sejak saat itulah aku dan dia berjabat tangan, mengenalkan diri masing-masing. Kemudian resmi berteman.
***
Kingkin. Itu namanya. Unik dan aneh begitu pikirku. Namun, segera aku mengaku salah (hanya dalam hati) telah berpikir demikian. Karena ternyata Kingkin adalah nama yang berasal dari bahasa Jawa kuno.
Besok sabtu siang kemana nih?”
Aku tersenyum mendapati pesan darinya saat aku bersiap menyerahkan tumpukan naskah fantasi yang telah aku edit hari ini.
Kubalas,
Yang murah aja. KFC. How? Ada colokan kan disana.
Beberapa saat kemudian dia membalas.
Oke setuju. Sekalian liat-liat gramedia ya ntar.
Kubalas lagi.
Okay.
Semakin waktu berlalu, kami semakin tahu kesamaan hobi kami. Membaca, berburu buku, dan menulis. Namun, Kingkin lebih gila dariku. Dia lebih gila buku dan menulis. Bahkan meskipun ia bukan lulusan sastra, namun aku berguru darinya bagaimana menulis fiksi yang bagus.
Hampir setiap pecan, kami tak pernah absen berburu beberapa kafe dan resto siap saji demi suasana lebih nyaman menulis fiksi. Darinya aku belajar membaca lebih banyak dari biasanya, karena semasa mahasiswa, waktuku lebih banyak kuhabiskan membaca kesustraan inggris.
Darinya aku belajar sastra-sastra unik dari penulis-penulis berbakat Indonesia. Bahkan tulisan Tere Liye yang dulu kuanggap membosankan pun kini dapat kulihat daya tariknya dengan menggali pesan moral yang dikandung setiap novelnya.
***
Aku dan Kingkin kini bersahabat. Dimana ada aku disitu ada Kingkin. kami memiliki hobi yang sama dan watak yang hampir sama juga.
“Tere Liye bakalan datang ke kota ini.” Seru gadis itu tiba-tiba menyeruak masuk kamarku tanpa permisi.
Aku histeriis. Well, kami berdua histeris.  Segera kami kumpulkan buku Tere Liye yang kami punya dan bersiap ke acara launching novel barunya saat itu, novel bulan. Sebuah novel serial yang sebelumnya telah menerbitkan Bumi sebagai serial pertama.
Segera setelah berpulang dari tempat kerja. Tanpa mandi terlebih dahulu, kami bergegas menuju gramedia yang beruntungnya tak bertempat jauh dari kami. Hanya sekali naik angkutan umum, kami dapat langsung menginjakkan kaki di tempat favorit kami itu. Kami berdua mengambil kursi paling dekat dengan Tere Liye. Selama acara berlangsung, aku dapat melihat sisi kingkin yang menggebu-gebu. Dua bola matanya yang bersembunyi di balik kaca mata kotak itu bersinar dipenuhi kehidupan setiap kali Tere Liye menjelaskan tentang novel barunya.
Dia memang sudah gila. Dan aku pasti tidak salah lagi berkata demikian.
Tangan kananya tiba-tiba membumbung tinggi. Dia mengambil kesempatan untuk bertanya kepada tere liye saat pengunjung diberikan kesempatan. Ya Tuhan.
Tetapi aku terpukau dengan semangat menggebu dan passion sebesar gunung yang terpancar dari diri Kingkin. menularkan padaku dalam hal kecintaanku akan apresiasi sastra.
***
Hijau.
Itu adalah warna favoritnya.
Kingkin adalah pribadi yang filosofis dengan mengandalkan bapaknya sebagai role model. Caranya memandang dunia adalah sebuah inspirasi yang layak di teladani.   
Pernah suatu ketika aku bertanya kenapa dia sangat suka warna hijau.
“Duh, semua ijo deh! Sepet nih mata.” Candaku sembari merajai tempat tidurnya. Padahal si empu kamar duduk di lantai. Hahaha, biarin aja.
“Hijau itu asik tau!” jawabnya singkat, sedikit menurunkan volume speaker laptopnya, membuat alunan lagu Demon menjadi lebih pelan dari sebelumnya.
“Hijau itu mencerminkan kesejukan alam.” Katanya sembari mengangkat kacamatanya yang sedikit melorot.
Ya, dan memang dia buktikan. Pernah suatu kali, ia mengajakku bercengkerama dengan alam. Dia mengajariku indahnya mendengarkan suara teriakan monyet yang bergelayut diatas dahan, indahnya cericit burung yang kita sendiri tak pernah tahu dimana mereka bersembunyi, dan sejuknya mata kala melihat refleksi diri diatas sungai. Juga tenteramnya jiwa saat mendengar gemericik air.
Singkatnya, caranya melihat dunia membuatku belajar lebih banyak tentang hidup dan kodrat manusia menjalani kehidupannya.
***
Tok… tok.. tok…
Ketukan pintu tiga kali itu membangunkan Kingkin. dengan mata hampir terpejam juga langkah kaki yang terlampau malas digerakkan, gadis itu membuka pintu.
Tak ada seorang pun berdiri di depan pintunya.
Sialan, ada yang ngerjain. Jancuk!!! Ucapnya dengan intonasi sedikit malas namun gemas.
Namun, sebelum ia menutup pintu, ia mendengar seseorang bernyanyi.
Saengil chukka hamnida,
Saengil chukka hamnida, sarangheo uri kingkin.
Saengil chukka hamnida.
Selamat ulang tahun, cok!!!
Seketika kantuknya hilang, ditambah dengan semprotan air super dingin yang aku semprotkan ke wajahnya yang mulai muncul lingkar hitam di bawah matanya.
Gadis itu kepalang senang dan mengambil kue yang semula ku bawa.

-fin-

Yah, begitulah. Selamat ulang tahun, Kucluk!!!!
Tetap jalani passionmu yang lebih besar dari gunung itu!!!
Suatu hari, bukumu akan sampai di rumahku. Sebuah buku dengan namamu sebagai pengarang.

Hahaha…. Wish u the best 


Tanjungpinang, 24 November 2015

You Might Also Like

2 komentar

  1. ya ampuuuun foto ini hahahahaahahah, thanks a lot Cok, i will remember those time, GBU Cok!

    ReplyDelete