Orang-orang Danau Bidadari
June 21, 2015
-0-
Wajah Liana seketika berubah ekspresinya kala gadis itu mengikuti lima kawan lainnya memasuki area danau Bidadari. Terlebih, wajahnya nampak makin pias ketika mendengar bunyi para monyet yang saling sahut-sahutan, ia segera mendongkak ke sumber suara yang ternyata berasal dari pohon tinggi-tinggi itu. Dan gadis itu berteriak ketika pandangan matanya tak sengaja menangkap beberapa monyet sedang bergelayutan. Teraiaknnya membuat beberapa dari monyet itu menoleh kebawah, namun terlihat tidak menggubris keberadaan Liana dan kawan-kawannya.
“Haha. Lihat, wajah Liana sudah pucat pasi cuman karna mendengar sahutan para monyet.” Kata Diana terkikik sembari terkikik, diikuti oleh kawan-kawan lainnya. Membuat Liana melotot kearahnya.
Liana berbeda dengan kelima temannya yang nampak lebih tenang. Hari ini adalah kali pertama
Liana menjajakkan sepasang kakinya menapaki jejak alam yang masih perawan. Keinginannya itu sebetulnya sudah ia kemukanan dengan kelima teman pecinta lingkungannya, namun kenyataan dan keinginan tak selalu selaras. Ia sempat mengalami pergolakan batin malam sebelumnya. Bagaimana pun ia sangat takut jika ditengah perjalanan nanti akan bertemu berbagai hewan buas yang bisa saja menerkamnya dari balik pohon-pohon kanan-kirinya. Ah, membayangkannya saja sudah membuat Liana memeluk dirinya sendiri. Bahkan demi melihat dan bertatap mata dengan beberapa monyet yang bergelayutan pun sudah bulu kuduknya serentak berdiri.
“Jangan teriak, mbak. Nanti mereka kaget. Untung tadi mereka tidak langsung menyerang mbak.” Kata seorang lelaki asing yang tiba-tiba menampakkan diri di antara 6 orang rombongan itu. Liana membulatkan matanya demi mendengar kalimat terakhir, tetapi akhirnya gadis itu mengangguk, begitu juga dengan lainnya.
“Saya salah satu penjaga yang mendapat tugas menjaga shift pagi disini. Kalau ada apa-apa teriak saja. Alam yang akan mengantarkan suara kalian pada saya. Tidak perlu khawatir, lagipula alam itu baik kok.” Katanya lagi. Obrolan mereka berlanjut dengan perkenalan singkat. Lelaki itu bernama Sulam. Meski bajunya terkesan sedikit compang-camping namun lelaki—yang berumur awal 40an—itu sangat ramah.
Perjalanan pun berlanjut, pak Sulam mewanti-wanti rombongan para gadis itu untuk berhati-hati dan tidak teriak sembarangan agar tidak mengagetkan hewan apapun yang mereka temui. Pria setengah baya itu melambaikan tangan dari pos sedangkan Liana dan rombongan meneruskan perjalanan. Memasuki hutan demi meneguk keindahan danau Bidadari, dan mencapai air terjunnya.
Ketika ia benar-benar memasuki kawasan hutan perawan itu, Liana melangkah dengan pelan dan ekstra hati-hati seakan sangat takut jika ia menginjak kadal, ular dan hewan lainnya yang merayap diatas tanah. Beban pikirannya sendiri membuatnya berpikir beban di punggungnya semakin menekan-nekannya, padahal ia hanya membawa satu botol air minum, baju renang, dan satu box makan siangnya. Kanan kiri Liana dan kawan-kawan disambut oleh hijaunya dedaunan juga tingginya pepohonan yang melindungi mereka dari sengatan matahari.
Ditengah pergolakan batin antara takut dan penasaran, Liana semakin mendapatkan ketengangan batin semakin jauh gadis itu melangkah. Hijaunya dedaunan dan warna tanah yang kecoklatan berhasil menyegarkan matanya, ia juga mencandu cericit burung yang suaranya tak dapat ia deteksi dengan pasti—dimana para burung-burung cerewet itu berkomunikasi.
“Keren sekali.” Seru Liana.
“Benar! Alam memang sangat keren. Lihat ini semua.” Diana membalas perkataan Liana meski ia tetap jalan lurus didepan Liana.
Gadis itu merentangkan tangannya dan mendongakkan kepalanya. Ia nampak sedang menghirup udara banyak-banyak. Diana menambahkan, “Itulah kenapa kami selalu rindu dengan alam.”
“Pepohonan dan berisiknya para binantang ini sudah membuatmu jatuh cinta, Liana? Tunggu dulu, kau belum bertemu maskot tempat ini.” Seru Cyntia yang sedang berjalan di belakang Liana. Membuat gadis itu menoleh pada gadis berambut sebahu itu—Cyntia.
“Apa maskotnya?”
“Sang danau. Danau Bidadari.”
//
Jalanan di hutan itu kian lama kian menanjak. Liana yang baru sekali ini bersenggama dengan alam berkali-kali terjatuh. Gadis itu memutuskan untuk merayap lebih hati-hati sembari menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Hey, teman-teman. Lihat sebelah kiri kalian!” seru Maya, sang kepala barisan. Telunjuknya diarahkan ke kiri, diikuti oleh teman-teman dibelakangnya termasuk Liana.
Arah telunjuk Maya membuat Liana dan keempat kawan lainnya menengok sekumpulan air berwarna biru diantara kawanan pohon-pohon yang tidak selebat sebelumnya. Maya memulai langkah mereka untuk menilik lebih dekat kubangan air berwarna biru itu, lagi-lagi diikuti oleh kelima anggotanya. Mereka menyibak beberapa dahan nakal yang menghalangi pandangan dan jalan mereka.
Dan betapa Liana terpana ketika mereka telah sampai. Juga perlu di ralat, yang Liana temukan bukan hanya kubangan air berwarna biru, namun ternyata yang nampak adalah hamparan danau yang begitu indah dan mempesona. Itu lah yang dirasakan Liana saat ini. Matanya membulat, tubuhnya kaku dan diam, juga mulutnya yang membentuk huruf O.
Sesuai dengan namanya, danau bidadari memang sangat cantik. Danau itu hanya memiliki satu warna, namun memiliki dua warna. Biru dan hijau. disepanjang pinggirannya danau tersebut berwarna hijau—yang mungkin ada sekawanan ganggang atau semacam lumut di sekeliling danau tersebut. Yang pasti semakin ke tengah, danau tersebut berwarna semakin biru. kecantikannya bertambah karena ia dikelilingi oleh pepohonan yang nampak berhamburan hendak memeluk danau tersebut.
Insting otomatisnya membuat Liana mengambil kamera disalah satu kantong tasnya. Mengabadikan danau cantik itu.
//
Perjalanan pun berlanjut. Semakin menanjak dan semakin tahu bahwa air terjun akan segera mereka gapai. Disepanjang perjalana itu, kelelahan Liana terbayar setiap kali gadis itu menoleh kearah kiri. Air danau yang memiliki dua warna itu berkali-kali dihempas angin, seakan angin sengaja membelai puncak genangan air raksasa itu.
Di tengah perjalanan, mereka menemui sebuah jembatan kayu yang baru pertama kali Liana lihat. Jembatan kayu yang akan menghantarkan Liana dan kawan-kawannya menuju tempat yang lebih jauh. Namun, lagi-lagi hati Liana menciut demi melihat jembatan yang hanya terbuat dari satu gelondong besar kayu yang ditidurkan begitu saja. Dibawahnya terdapat anakan danau bidadari yang terlihat hijau dan jernih. Tetapi tetap terlihat menakutkan bagi Liana. Sebagai gadis yang pertama kali menginjakkan kakinya di hutan seperti ini, wajar saja ia takut terpeleset lalu terjerembab kemudian meluncur kedalam anakan danau Bidadari yang nampak begitu bening dan hijau itu.
“Tidak usah melihat kebawah, Liana. Lihat saja lurus kedepan.” Kata Diana memberi semangat.
“Yang perlu kau lakukan hanya menjaga keseimbangan saja. Anggap saja dibawah kayu itu tidak ada apa-apa, kau tak perlu takut jatuh.” Maya ikut menyemangati Liana.
Ingin hati gadis itu melotot kearah Maya karena kalimat terakhir yang ditujukan padanya. Demi Tuhan, Liana tak dapat berenang. Namun, niat itu diurungkannya, Maya hanya berusaha memberinya semangat.
Dengan penuh hati-hati Liana berjalan selangkah demi selangkah. Suara nyaring burung-burung yang mengembara diatasnya seakan berusaha menyisipkan kata semangat dalam dada Liana. “kau bisa melakukannya, Liana.” Gadis itu terkesiap lalu menengok kebawah melihat anakan danau itu. air berwarna hijau itu seakan berbisik kearahnya. Liana kini tak mempedulikan kata-kata Diana untuk tidak melihat kearah bawah. Gadis itu justru mendapat ketenangan dan kekuatan untuk melewati jembatan kayu yang awalnya terlihat sungguh menyeramkan.
Ia kini sepenuhnya berjalan mantap diatas segelondong kayu jati utuh itu. ia dapat menjaga keseimbangannya dengan tetap memperhatikan anakan danau yang sesekali di goda angin kemudian bergerak-gerak kecil, juga beberapa ikan yang sesekali nampak menggoyang-goyangkan ekornya—berenang dengan damai. Liana sekali lagi merasakan damai tak terkira berjalan diatas air sembari memperhatikan suara angin menghempas air dengan lemah, ikan-ikan yang nampak menggoyangkan tubuh berlakangnya—tak menyadari Liana yang berjalan diatasnya, suara para burung yang memperhatikannya dari atas, juga samar-samar suara monyet yang saling bersahutan.
Namun ketenangan tak berlangsung lama. Gelondong kayu itu bergoyang-goyang, dan Liana terlalu takut menengok ke belakang. Tak mungkin teman-temannya menakut-nakutinya seperti itu.
“Diana?” tak ada jawaban.
“Maya?” masih tak ada jawaban.
“Cynthia?” masih juga tak menyahut. Dilihatnya Dian dan Cinta sedang mengobrol di seberang sana. mereka hanya sesekali melihat kearah Liana sembari terkikik, lalu pura-pura tak mendengar.
“Dian! Cinta! Siapa yang ngerjain aku dibelakang?” mereka berdua tak peduli.
Liana mulai gentar, keringat mulai mengucur. Bagaimana jika yang menggoyang kayu itu adalah hewan yang buas dan besar?.
Ditengah itu semua, tiba-tiba muncul seekor ular di depan Liana yang nampaknya keluar dari dalam air. Kepala ular berwarna keabu-abuan itu menghadang Liana. Seketika gadis itu teriak kencang lalu kehilangan keseimbangan. Liana jatuh kedalam danau.
Ia terasa melayang namun tak kuasa bernafas, telinganya menangkap sinyal lemah suara teman-teman yang meneriaki namanya. Liana membuka matanya dan langsung kalap karena baru menyadari dirinya terjebur kedalam anakan danau. Ia mengerjp-ngerjap dan menggerak-gerakkan tangannya namun tak ada gunanya. Semakin ia kalap, ia semakin ditarik gravitasi bumi. Ditengah oksigen yang kian menipis, Liana membuka matanya. Ia melihat beberapa ikan berukuran mini sepanjang ibu jarinya hingga para ikan sepanjang telapak tangannya nampak terbirit-birit menjauh darinya. Namun nampak begitu indah dimata Liana. Juga sekelompok gagang berwarna hijau itu melambai-lambai terkena tekanan air yang tak terkontrol karena Liana tiba-tiba bergabung masuk dalam singgasana danau itu.
Liana sekali mengerjab dan menggerak-gerakkan tubuhnya dengan rancu tiba-tiba, ia kembali ingin keluar dari dalam air ketika dilihatnya ular yang tadi membuatnya begitu kaget hingga terjatuh ke dalam air itu kini mendekat kearahnya. Ia semakin meraung-raung meski tak dapat menghasilkan suara apapun, membuatnya semakin terjatuh. Namun disaat yang bersamaan tubuhnya ditarik keatas oleh sepasang tangan kokoh. Dan Liana yakin 1000% tangan itu bukan milik salah satu dari kelima temannya.
Oksigen menyeruak masuk dengan paksa kedalam paru-paru Liana begitu gadis itu. ia berusaha mengais kesadaran dengan melihat kesekelilingnya. Diantara kelima temannya, ada dua anggota tambahan. Keduanya laki-laki, spontan Liana sadar bahwa sepasang tangan yang baru saja menyelamatkannya dari maut adalah milik salah satu dari dua lelaki ini.
Dari cerita mereka semua, Liana tahu bahwa yang menggoyang-goyangkan jembatan kayu itu adalah ulah dua pria asing ini. Payahnya kelima teman-temannya menyetujui karna Liana tampak sangat takut dan teman-temannya tergelitik untuk mengerjai gadis itu.
Dua pria tersebut bernama Ian dan Dimas. Mereka adalah salah satu contoh anak muda pecinta lingkungan. Dua kantong plastik berukuran besar itu cukup menjadi bukti bahwa dua pria muda itu benar-benar ikut menjaga kebersihan kawasan hutan virgin yang mengelilingi danau bidadari. Mereka bahkan membagikan satu kantong plastik sampah untuk masing-masing keenam gadis itu. mengajak mereka memungut sampah disepanjang perjalanan mereka menuju air terjun yang katanya makin dekat itu.
“Ada banyak pemuda seperti kami. Kaus ini hanya satu dari beberapa.” Kata Ian sembari menunjukkan sebuah lambing yang dikelilingi tulisan ‘pemuda pecinta alam’. “Bahkan jika beruntung, kalian juga akan beruntung bertemu dengan pemuda-pemuda yang ikut melestarikan ekosistem hutan ini meski berpakaian compang-camping dan nampak seperti kuli bangunan.” Tambah Dimas sekaligus mengakhiri pertemuan mereka. Kedua rombongan itu akhirnya berpisah. Liana dan kawan-kawannya harus melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang mengalirkan airnya pada danau Bidadari.
Dan Liana benar-benar bertemu dengan beberapa kelompok pemuda pecinta lingkungan disepanjang perjalanannya menapaki jalan kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon dengan suara berbagai macam hewan itu.
Gadis itu menunduk memikirkan dirinya. Ia malu kepada dirinya sendiri yang begitu terlambat mencintai alam.
//
Liana sudah memikirkan tentang hal itu. bahwa ia akan menceritakan orang-orang pengagum danau bidadari itu dengan sebutan orang-orang danau Bidadari. Kurang elok memang, namun ia tak lagi dapat memikirkan nama selain itu yang lebih pas lagi. Mengapa Liana menyebut mereka demikian? Karena gadis itu bertemu dengan orang-orang tersebut di sepanjang perjalanannya memutari danau Bidadari. Manusia-manusia itu rela menghabiskan waktunya untuk mencecap keindahan sang danau dan sekelilingnya. Sebetulnya, seperti yang gadis itu ungkapkan sebelumnya. Liana sendiri terpana dengan kecantikan danau tersebut. Letak kecantikan sejatinya berada pada warna si danau, begitu opini Liana. Danau tersebut memiliki dua warna yang berbeda namun bersatu dengan harmoni warna yang indah. Ia memiliki warna hijau di pinggiran namun berwarna semakin biru di tengah-tengahnya. Disekelilingnya terdapat berbagai macam pohon dengan tinggi yang berbeda-beda. Semua pohon itu nampak rindang, begitu hijau, dan begitu menenangkan mata siapapun yang memandang. Termasuk Liana. Gadis itu juga termasuk pengagum danau Bidadari.
-end-
Nb:
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
“Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
0 komentar