Sesosok Malaikat Bernama Ibu

January 31, 2015


Saya menulis cacatan ini untuk ibu. Demi waktu – waktu yang telah beliau curahkan agar saya tetap berdiri kokoh dan kuat.


Ibu. Bagi saya, Ibu adalah seorang istimewa yang mengerti bagaimana menyimpan keinginannya untuk memakan kue demi anak-anaknya. Beliau tahu apa yang harus dilakukan ketika melihat 3 roti untuk 4 orang, ibu akan pura-pura “Ibu gak suka roti, Mbak. Tadi juga udah nyemil”, atau paling sering bilang, “Ibu lagi diet. Rotinya buat kakak dan adik-adikmu saja.”. dulu dengan polosnya saya selalu percaya perkataan itu. Tapi semakin saya dewasa dan saya tahu betapa ibu sangat memfavoritkan roti untuk makan atau sekedar ngemil, saya semakin sadar bahwa apa yang selalu ibu katakana bahwa ibu tak suka roti atau sedang diet itu hanya kebohongan besar. Yah, seperti itu lah sosok ibu. Seseorang yang akan melakukan satu pengorbanan kecil untuk anak-anaknya. Dan betapa naifnya saya yang baru menyadarinya baru-baru ini.

Jujur saya tidak ingat lagi masa kecil saya, sewaktu ibu menampakkan dirinya pada detik saya melihat cahaya. Sewaktu saya menangis—yang mungkin tangisan bahagia seorang anak melihat malaikatnya. Bahkan saya lupa nikmatnya belajar berjalan dan berlari ke pelukan ibu. Saya hanya mengingat masa kanak – kanak saya. Dulu sewaktu saya masih duduk di bangku Tk hingga SD, ibu adalah sahabat saya. Ralat, sahabat karib. Beliau selalu bergegas membangunkan saya di sela-sela menyiapkan sarapan, menuang susu di gelas mungil saya, bahkan menggendong saya ke kamar mandi. Membasahi badan ini hingga terkejut dan terpaksa membuka mata lebar-lebar, bahkan tak jarang saya menangis keras-keras karena di paksa oleh Ibu. Tapi saya tak pernah memiliki dendam pada ibu. Mungkin karena saya masih kecil, atau karena ibu tak pernah mengajarkan pada saya apa itu dendam.

Ibu tak pernah membiarkan saya jatuh. Tangan ibu selalu menggenggam saya agar tak terlepas ke jurang nista duniawi. Ia selalu menuntun saya. Bahkan meskipun saya mencoba menepis tangan ibu, beliau tetap memegang erat dan membiarkan dekapannya kapanpun saya merasa pilu.
Waktu terus bergulir hingga saya beranjak dewasa. Di waktu inilah, saya mulai tak menganggap ibu sebagai—sahabat—terlampau—karib seperti dulu. Saat itu, saya mulai sibuk dengan kegiatan sekolah pagi hingga sore, ekstrakulikuler setiap akhir pekan, juga teman-teman yang selalu mengajak saya belajar kelompok atau sekedar main. Sisanya? Mengobrol sebentar dengan Ibu ketika makan, kemudian tidur. Bahkan saya pernah ‘membenci’ ibu di fase remaja saya. Ibu melarang ini itu, beliau selalu bilang “Ibu bilang seperti ini untuk kamu, nak.” Atau “Kamu anak gadis ibu, harus hati-hati.” Bahkan “Kamu gak boleh pacaran! Gak boleh keluar malam lagi!” dan blah blah blah …. Semakin usia remaja saya bertambah, bertambah pula hal ini itu yang ibu larang. Terkadang beliau seperti detektif yang menyelidiki teman – teman saya. Jujur saja, banyak perintah ibu yang saya larang pada saat itu, karena ibu terlalu mengekang. Katanya “Zaman sudah tidak aman lagi untuk anak perempuan!”. Menyebalkan, bukan? IYA, memang menyebalkan tapi hanya untuk saat itu.
Hingga akhirnya saya harus ke luar kota untuk melanjutkan studi saya. Waktu itu ibu rela meninggalkan pekerjaannya, begitu pula dengan Ayah, agar dapat mengantarkanku mencari tempat tinggal di dekat universitas tempat saya belajar. Saat itu, kurasakan ada ikatan batin yang kuat antara saya dan ibuku. Ada kata – kata yang tak terucap dari dua mata ibu yang jernih. Pada saat yang sama, saya melihat dua lingkar bawah mata ibu semakin kentara meski saya yakin ibu sudah membubuhkan banyak bedak untuk menutupinya. Apa ibu terlalu khawatir? Namun saya tak menanyakannya, karena seperti yang sudah – sudah, ibu pasti berbohong pada saya. Ibu tak pernah jujur tentang perasaannya. Kapan ibu bahagia? Kapan ibu sedih? Yang pasti ibu dapat mengekspresikan perasaannya kala bahagia, namun kala sedih? Ah, sosok itu selalu pandai menutupinya. Hanya melalui matanyalah ibu jujur padaku. Kala itu, dua mata ibu menyorotkan kekhawatiran yang sangat. Genggaman tangannya yang semakin mengerat menggenggamku, menjawab sudah apa makna sorot matanya. Ibu sangat—amat—khawatir anak perempuannya yang belum bisa memasak dan menyetrika dengan benar ini dapat bertahan hidup tanpanya. Begitulah ibu.
Mata ibu saya cantik. Di balik bulu mata lentik alaminya, dua mata ibu yang sama - sama menukik kebawah di ujung luarnya dengan bola mata coklat muda itu tak pernah dapat berbohong padaku. saya tahu ibu sedang menahan sakit hati, sakit kepala, senang, atau khawatir dari sorot dua matanya. Meskipun ibu selalu berbicara sebaliknya ketika bersedih.
Saya tahu ibu mencintaiku. Dan saya merasa sangat beruntung untuk itu.
Sekarang saya tahu makna mencintai, cinta abadi itu seperti apa. Ibu tetap mencintai saya dan mengkhawatirkan diriku. Menemaniku dengan setia meskipun saya melewati masa labil semasa remaja hingga saya tahu tujuan hidup saya. Ibu menerangi hidup saya dan memberikan warna – warni indah melebihi mejikuhibiniu yang diciptakan pelangi dalam diri saya.
Bahkan ibu tak lagi dapat mengungkapkan perasaannya kala—melalui pesan singkat—saya menanyakan bagaimana rasanya melahirkan dan memiliki seorang anak. Butuh sekitar lima menit baliau baru menjawab. Dengan singkat beliau berkata. Melahirkan dan memiliki seorang anak itu sulit—sakit—senang yang menjadi satu. Hebatnya, beliau dengan senang hati bersedia melahirkan lebih dari satu anak meskipun beliau tahu akan melewati fase sulit—sakit—senang itu.
Tuhan, terimakasih telah memberikan malaikat penabur cinta dan warna dalam hidup saya. Terimakasih telah mencintaiku sepenuh hati dan jiwa, ibu.


-finn-



"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di websitehttp://nulisbarengibu.com ."

You Might Also Like

0 komentar