Nilai Seratus Untuk Ibu
March 11, 2015
Seorang anak gadis bangkit dari
duduknya di pinggir sungai kecil diperjalanannya pulang. Ia membuang bungkus
permen seharga 500 perak yang semula ia genggam. Namun Ia tak lagi ingin
mengemut permen itu, jadi ia memilih membuangnya sedetik setelah bungkus
gula-gula itu terbuka. Ia lebih bersemangat pulang untuk segera memeluk ibunya.
Selembar kertas yang digenggamnya
terkadang digoda angin agar ikut dengannya, namun para angin gagal. Gadis kecil
itu benar-benar tak membiarkan angin menang. Ia menggenggam kertas yang sungguh
berarti itu kuat-kuat.
Aneh.
Ia tak menemukan jalan pulang
meski sudah berkali-kali ia melewati perbukitan itu. dan sudah dua kali ia
menyeberangi sungai yang semula ia duduki salah satu batunya saat
memperhatikan. Bahkan ia masih melihat bungkus permennya yang masih tergeletak
di samping batuan-batuan besar disana. Rasa rindu untuk bertemu ibunya kian
menjadi meski ia masih tak mengerti mengapa ia tiba-tiba tersesat, tak tahu
lagi jalan pulang.
Anak itu tak lelah bahkan tak
menggubris rasa pegal yang mulai menggerayangi otot – otot kaki kecilnya. Permai,
nama gadis itu, mulai ragu pada akhirnya ketika ia kembali lagi ke sungai
tempat ia membuka permennya beberapa waktu lalu. Padahal ia yakin seyakin
yakinnya bahwa ia tahu betul jalan menuju rumahnya. Dan mengapa ia kini
tiba-tiba tersesat?
Bagaimana ini? Aku harus membantu ibu berjualan.
Permai memang harus membantu
ibunya setiap hari-hari sebelumnya. Pada hari sabtu seperti saat ini, siswi
sekolah dasar negeri yang biasanya pulang pada pukul 10 pagi dan harus membantu
ibunya menjajakan dagangan di terminal pada pukul 12 siang. Namun bagaimana
ini? Apa yang harus ia lakukan sekarang.
Matahari telah membuat
bayangannya berdiri sejajar lewat 5 derajat—jika ia tak salah hitung—itu berarti
waktu telah menunjukkan pukul 12 lewat sedikit. Mungkin 12:15 siang. Permai
mulai gusar. Lalu gadis kecil itu mengambil sebuah kotak pensil warnanya yang
telah usang dan hanya memiliki 5 warna dasar. Permai mengambil warna merah. ia
mencoret-coret batu besar yang semula ia duduki saat membuka permen. Ia tak
patah semanangat. Ia sungguh ingin segera pulang dan bertemu ibunya lantas
menunjukkan sebuah kertas yang sangat ingin ia museumkan di pikiran ibunya itu.
Sebuah kertas ujian dengan nilai
100 itu sangat ingin permai tunjukkan pada ibunya. Gadis kecil dengan cita-cita
sederhanya ketika ditanya, katanya ingin menjadi apa saja yang diinginkan sang
ibu, itu ingin sekali menunjukkan bahwa ia adalah anak yang sangat bisa
diandalkan.
Jadi anak itu kembali berjalan ke
jalan pulang. Meskipun akhirnya ia bertemu lagi dengan batu besar sungai yang
semula sudah ia tandai dengan warna merah.
Permai menangis. Ia tersesat,
entah setan atau makhluk apa yang telah membuatnya tak dapat pulang, yang pasti
ia tahu satu hal, keinginannya untuk membuat ibunya bahagia hanya dengan
selembar nilai ujian 100 itu gagal.
“Permai?! Perma?! Permai anakku?!!!!”
Samar-samar Permai menoleh karah
suara ibunya yang terdengar nyaring itu tak jauh dari dirinya. Permai kegirangan
mendapati ibunya menjemputnya.
Ia selamat.
“Permai!!! Kau kenapa, Nak!!!!”
sang ibu menangis dengan seru. Permai yang melihatnya mematung, karena saat itu
Ibu memang menjemputnya, namun yang ibu dapati hanyalah Permai yang sudah tak
bernyawa.
Gadis muda yang melihat itu
semakin menangis menitikkan air mata. Keinginan paling sederhana seorang anak
dengan nilai 100 nya telah sirna.
-end-
0 komentar