Yang Tak Pernah Tersirat
April 22, 2014sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsOGqKDXL3l1E-O7U0PbFRLT6-vdacqTX_QsmfyLWGHXT-ycZXFPy8KhYhaJInvbVbuHYJLfeVFwnvCThucg8NRooTvCJaRuBPy-OcQbTVMGPcI3uoUluleWKNWrPsFqahgPoJbDDKF-1L/s1600/jatuh-cinta-diam-diam.jpg
===============================================================
Kata orang, jatuh cinta itu indah.
Tetapi bagi saya, jatuh cinta harus merasakan sakit terlebih dahulu untuk
dibilang indah. Bahkan, perbedaan antara menyenangkan dan menyakitkan itu amat
sedikit dalam sudut pandang cinta. Terkadang, saya merasa aneh dengan diri saya
jika harus mengartikan cinta. Oh, mungkin saja memang itu cara saya mengartikan
cinta? Siapa yang tahu. Tetapi paling tidak itu yang terjadi pada saya, cerita cinta
mengenai saya dan kamu.
Kamu dan saya selalu bersama beberapa
tahun ini. kebersamaan yang dapat disimbolkan seperti pepatah jawa yang
berbunyi, ‘makan gak makan, ngumpul’. Saya selalu didekatmu dan mengerti
keadaanmu, begitu pula dirimu yang selau ada didekat saya dan selalu mengerti
kemauan dan perasaan saya. Bukannya berlebihan jika saya mengatakan demikian,
tetapi semua itu memang benar. Boleh dikata, pundakmu itu selalu kau sediakan
jika saya sedang membutuhkannya. Kamu memang lelaki terbaik untukku.
Namun, semua berubah ketika kau
menemukan seseorang selain saya. Seseorang itu membuat senyummu yang memang
sudah terlihat menawan itu semakin bersinar. Andaikan seseorang itu saya …
***
Waktu berjalan semakin cepat, dan
tumbuhnya cintamu untuknya semakin lebat. Membuat hatiku semakin tersayat.
Namun, itu tak apa. bukankah kamu selalu bilang, saya adalah wanita kuat?
“Kapan kau menyatakan cintamu
padanya?”, tiba-tiba dengan lancang kata-kata itu keluar dari mulutku,
menghancurkan hatiku sendiri.
Tolong
katakan kau tak akan melakukannya, katakan bahwa kau berubah pikiran atau
semacamnya.
“Mungkin sebentar lagi, sepertinya saya
sudah mendapat lampu hijau dari dia. Bagaimana menurutmu?” hati saya mencelos
mendengarnya. Saya memaksakan diri untuk tersenyum, saya tak peduli lagi jika
senyuman saya terlihat palsu.
“Kau tak apa? kenapa dengan
ekspresimu? Hey, kamu sakit ya? mukamu pucat.”, tanyamu sembari hendak
menempelkan telapak tanganmu pada kening saya, namun saya tidak membiarkan hal
itu terjadi.
Saya terkekeh getir menanggapi
pertanyaan bodohmu, tetapi tentu saja saya tak menjawabnya alih-alih
menggelengkan kepala saya padamu
Ayolah. Apa kamu terlalu bodoh?
Mengapa sinyalmu lemah sekali menerima getaranku? Baiklah tak ada gunanya itu
kufikirkan, toh kamu tak akan memikirkannya.
“Kira-kira, saya masuk kriteria lelaki
yang dia cari gak, ya?”
Saya menelan ludah sendiri dengan
cukup susah sebelum menjawab, “Mungkin saja. Tak ada yang tak mungkin, kan?.”
Kini kau semakin tergila-gila padanya.
Hampir setiap kali di sela ‘kencan’ kita di taman maupun perpustakaan kau selalu
menyisipkan nama Laina, gadis rambut panjang pujaanmu itu.
Tiga tahun telah berlalu, dan kau
masih tetap berada disisiku meskipun hatimu menancap kuat pada gadis itu. tapi
tak apa, bagiku dengan kamu selalu ada untuk saya itu sudah cukup. Terlebih
kamu yang telah mengenal watak dan sifat saya, kebiasaan dan hobi saya, jadwal
kuliah dan semua kerja paruh waktu saya. Hey, meskipun saya berhak menuntut
lebih tetapi menurutku saya akan menjadi wanita bermuka tebal dan terlampau
egois jika saya meminta perasaanmu pada saya lebih dari sekedar sahabat.
Paling tidak, hingga detik ini saya
masih menganggap kamu adalah obat yang membuat saya dapat tersenyum, bahkan
senyum terpahit pun.
***
Hari ini genap sudah 4 tahun kita
‘bersama’, dan saya tak pernah menyesal telah mencintaimu meskipun kamu tak
pernah kubiarkan mengetahuinya.
“Nanti malam annyversary day pertama saya sama Laina. Kau datang, ya? nanti saya
jemput jam 5. Be prepared”
Kau mengatakannya tanpa membaca
ekspresiku dan menunggu jawabanku. Saya sendiri bingung memberi jawaban apa atas
ajakan dadakanmu, bahkan yang kulakukan hanyalah mengamatimu tanpa mengucap
sekata pun. Kau kemudian mengecek waktu di jam tangan hitam yang melingkar di
pergelangan tangan kananmu, saya tahu kau selalu mengenakan jam di tangan
kananmu hingga saya dapat melihat bekasnya tak peduli berapa kali pun kamu
membasuhnya.
“Saya anter Laina pulang dulu, ya. kau
tunggu sini nanti saya susul dan antar kamu pulang. Oke?”
Tentu saja saya menggeleng kuat
menolak tawaranmu yang dulu selalu kunantikan, “Nggak usah, saya nanti naik bis
kota aja. Kamu pasti pengin jalan-jalan juga kan sama Laina?”
Dan saya melihat semburat senyum
lebar di wajahmu. Senyum orang yang sedang jatuh cinta. Tentu saja saya tahu
artinya apa.
“Beneran gak papa? Yaudah saya cabut
dulu, nanti saya jemput jam 5 ya? jangan dandan lama-lama.”
Saya hanya mengangguk-angguk kuat
sembari mengibaskan tangan saya, berpura-pura mengusirmu.
.
Saya melihat jam kecil di meja saya
yang—entah kenapa—suara detikannya terasa menghujam jantung karena terdengar
begitu keras di telinga. Sekarang sudah pukul 4:30 sore dan saya masih memakai
handuk usai mandi. Sama sekali belum mengenakan bedak apalagi baju.
20 menit kemudian telah berlalu dan saya
masih duduk di meja, bergelut dengan pikiran sendiri antara haruskah saya pergi
dan menahan tangis setiap saya melihat kamu dan Laina bergandeng tangan atau saya
mencari alasan apapun agar tidak merasa terasing diantara kamu dan dia?
RRrrrr….
Kamu menelepon, seperti yang selau
kamu lakukan setiap kali hendak menjemputku.
“Halo?”
“Halo. Kamu udah siap, kan? Saya
berangkat ke rumahmu sekarang, ya?” saya terdiam sejenak sebelum menjawab.
“Tunggu, jangan berangkat dulu. sa..
ya…saya diare, jadi harus istirahat di rumah.”
Duh!
Maafkan saya.
“Diare? Kenapa gak bilang. Biasanya
kamu selalu bilang kalo lagi gak enak badan, bahkan penyakit ringan macam flu.”
“Gak usah kuatir, tadi saya sudah
minum obat diare dari ibu. Kamu kan juga sudah janji sama Laina”
“Kau kenapa sih? Kau sudah gak butuh saya
lagi?! Berkali-kali kau selalu nyari alasan untuk menjauh dari saya dan Laina!”
saya terkesiap mendengar suara kamu yang tiba-tiba meninggi. Baiklah, berikan saya
alasan untuk tidak semakin mencintaimu jika kamu terlalu perhatian pada saya?
Tidakkah kamu pikir ini susah untukku?
“Sudahlah, gak usah lebai. Sana
berangkat. Laina pasti sudah nunggu. Saya tutup sekarang ya? saya ingin ke
kamar mandi. Bye.”
Saya menutup telepon sepihak dan
membenamkan muka saya sedalam-dalamnya pada bantal. Entah ini langkah keberapa
saya menjauh darimu, saya tak berani meskipun rasanya sangat menyakitkan. Airmata
saya tak dapat saya tahan lagi dan terus keluar sejak obrolan telepon kita
berakhir tadi.
Maaf
sudah bohong.
RRRrrrttttt..
Saya sekarang di luar, kamu cepetan keluar sekarang!
Saya semakin kaget mendapat pesan
singkat darimu yang lagi-lagi dadakan. Saya segera berjalan menghampiri jendela
kamar dan membuka tirainya. Disana saya melihat kamu tersenyum lebar kearah
saya dan melambai-lambaikan sesuatu dalam kresek hitam pada saya.
Dasar
kamu lelaki idiot!!!
Saya segera menghapus airmata saya
dan membubuhkan bedak untuk menyembunyikan wajah sembab saya, kemudian mengenakan
baju sekenanya dan berlari keluar menghampirimu.
“Kenapa? Mau maksa saya yang lagi
diare ke kencanmu sama Laina, huh?!”
“Hohoho! Jangan marah dulu dong, nona.
Ini saya bawakan susu sapi murni tanpa gula yang sudah dimasak ibu saya, jadi
bisa langsung kau minum. Kau harus banyak minum susu biar cepet sembuh. Oya.
kata ibu, jangan langsung minum obat sehabis minum susu, ya. Oke saya pergi
dulu, Laina sudah nunggu.”
Saya masih mematung dan tak bereaksi
menanggapimu, dan kau masih saja dengan seenaknya menasehatiku dengan senyum
manis seperti seorang ibu. Saya melihat kamu menghidupkan mesin mobilmu itu dan
bersiap mengemudikan setir, namun tiba-tiba kamu urung melakukannya alih-alih
menurunkan kaca mobilmu dan mencondongkan wajahmu agar keluar sedikit, sembari
berujar,
“Hey, kalau ada apa-apa tetap kabari saya.
Jangan buat saya khawatir lagi, Oke? Rasanya aneh gadis cerewet sepertimu udah
gak rewel dan bikin saya repot lagi. Meskipun sudah ada Laina, kamu tetap gak
ada gantinya. Cepet sembuh ya, bye.”
Dan dengan bodohnya saya menangis di
tempat. Tepat setelah mobilmu bergerak maju meninggalkan saya yang masih tetap
berdiri di depan pagar rumah. Baiklah, mulai hari ini, saya akan mengaku bahwa
saya memang cengeng. Seperti yang sering kamu katakan.
***
Tiga jam lagi waktu akan mennunjukkan
pergantian tahun yang baru sekaligus penanda tahun kelima saya dan kamu
bersahabat, dan juga ada Laina di tengah-tengah kita. Dadaku sesak dan badanku
berkeringat dingin menyadari bahwa saya akan melewatkan malam sakral ini
tanpamu.
Kau dimana? Sepuluh menit lagi aku berangkat ke
rumahmu.
Lagi-lagi kamu mengajakku
menghabiskan waktu denganmu dan … Laina.
Ngapain? Orangtua saya ngajak keluar.
Kemudian saya tak lagi mendapat
balasanmu tetapi kamu meneleponku.
“Halo. Gak usah cari alasanlah,
sahabatku tercinta. Saya tahu kau bohong, setahu saya kau pernah bilang
orangtuamu tak suka merayakan pesta tahun baru”
Sial!
“tapi. Benera-…”
“tapi. Benera-…”
“Sudahlah. Saya sudah siap-siap berangkat ini”
Setelah itu saya mendengar suara mesin yang
dinyalakan sebelum kamu menutupnya.
.
15 menit kemudian, kamu memberitahuku bahwa kamu
telah menunggu di depan rumah saya. Langsung saya ambil jaket saya dan
mengusung tas punggung mungil saya yang berisikan ponsel, dompet, juga dompet
mungil yang selalu saya bawa berisi; parfum dan krim. Saya bergegas menuju
mobilmu, namun seketika saya membatu melihat kamu membuka pintu depan untuk saya.
’Sesuatu’ yang dahulu kerap kamu lakukan dan menjadi hal favoritku itu kembali
kamu lakukan untuk saya. Jok depan samping kemudi itu kembali kukuasai.
“Lalu, Laina?”, ujar saya menunjuk jok depan itu.
Saya berharap kamu menjawab sesuatu semacam—saya
sudah putus dengan Laina—atau sejenasnya.
“Sudah masuk aja dulu.”
Ah, sudahlah. Yang penting saya dapat duduk lagi
disitu malam ini.
Angin malam membelai lembut wajah saya selama
perjalanan ke dekat jembatan Anglingan—begitu katamu, untuk melihat pesta kembang
api di langit.
“Kamu gak jemput, Laina?” tanya saya setelah
menyadari sesuatu bahwa letak tujuan kita semakin dekat. Kamu tak segera
menjawab dan mengambil jeda cukup lama. Kemudian memberiku seulas senyum dan
berujar, “kami putus.”
Tunggu. Putus
katanya?
Sial. Saya tak tahu harus berekspresi apa.
“kenapa?”
Tapi sayangnya kamu tak langsung
menjawab. Mobilmu berhenti tepat di pinggir pagar beton jembatan, tak begitu
dekat juga dengan beberapa pedagang kaki lima yang menggelar dagangan di ujung
sebelum jembatan, sehingga suasana cukup sepi.
“masih setengah jam lagi pestanya”
“kita tunggu di mobil saja lah. Nanti
masuk angin”, dan kamu langsung menyetujuinya.
Aku menyalakan ipodmu dan memutar
lagu Lana Del Rey berjudul Dark Paradise. Suara merdu Lana menguar melalui headset di telinga kananku,dan menguar
ditelinga kirimu.
Kau mendengarkan lagu itu dengan
sedikit tertunduk, mungkin kamu mengantuk. Dasar
muka bantal!. Tapi saya mendengarkannya dengan segenap hati—karena lagu itu
mewakili gambaran perasaan saya untuk kamu. Tak lama setelahnya, lagu pun
berganti. Kali ini lagu milik Evan Taubenfield berjudul The Best Years of Our
Lives berputar dengan indah. Tiba-tiba mataku menjadi panas. Aku sesenggukan
menahan tangis. Lagu ini mewakili perasaanku ketika Laina datang mencurimu
dariku.
“Kenapa kamu menangis?” kamu
mengangkat wajahmu padaku dengan sendu. Membuatku yang menangis ini tak tahu
harus berbuat apa, karena disana saya pun mendapati matamu mengeluarkan air
mata seperti saya.
“Kamu juga menangis?” giliran saya
menanyaimu, kenapa dua matamu berair. Namun kau tak menjawab dan langsung
mengusap dua matamu dengan jempol dan telunjuk tangan kananmu.
Kemudian kau tersenyum padaku, tepat
dibelakang kepalamu, aku melihat pancaran kembang api yang menguasai langit,
seolah berlomba-lomba menyentuh langit dengan warna-warna meriahnya. Namun
bukan kembang api itu pusat perhatianku malam ini, tetapi ‘mengapa kamu
menangis malam ini?’
“Wah, kembang apinya sudah mulai”.
Lalu kau menoleh menatap langit dengan senyum dan tingkah jenaka yang kau
paksakan.
Apa
arti air matamu itu?
Ada jeda beberapa detik antara kita
malam itu, kemudian kau berucap, “Aku berharap mendapatkan pengganti Laina yang
lebih baik.”
Ucapanmu merobek hatiku malam itu
juga, dan airmataku semakin menderas. “Kau BODOH!”. Kau menoleh karena
kata-kataku.
“Aku mau pulang. Sendiri!”
“Hey!” kau mencoba mencegahku yang
hendak keluar dari mobilmu. Namun, saya tetap menghindari kamu. Saya tak ingin terus
menangis di depanmu saat ini ketika kau sendiri menangis untuk wanita lain.
0 komentar