Kulihat lelaki di depanku masih asik memakan chicken muffin. Kudapati lelaki yang membuatku tertarik pada intelijensinya itu menunjukkan ekspresinya biasa saja. Tidak memperlihatkan bahwa apa yang ia makan enak atau tidak enak.
Ku resapi raut wajahnya. Kaos
pendek warna abu – abu yang dikenakannya, bentuk dua mata dan kaca mata yang
menggantung di tulang hidungnya, hidungnya, caranya tersenyum, tahi lalat yang
ada di ujung bibirnya, juga jemarinya saat memegang muffin tanpa saus yang
sempat membuatku merasa aneh. Bagaimana rasanya memakan roti tangkup tanpa
saus? Bukankah terlalu kering?
Sepanjang ia mengunyah, kudapati
ekspresinya biasa saja. Ia sesekali memperlihatkan senyum manis namun juga sangat
tenang, jelas semakin membuatku semakin salah tingkah. Sangat berbeda denganku
yang kuyakini terlihat kacau. Aku juga sedikit kecewa ketika tidak melihat
gurat canggung di wajahnya.
Hatiku mencelos, jadi Cuma aku
saja? Rasanya perasaan takut kecewa, bingung, tertarik, canggung, tapi nyaman
membaur jadi satu.
Bahkan, saat ini untuk berdiri
saja kaki rasanya tidak mampu. Diam – diam aku merutuki diriku sendiri, kenapa
tadi tidak langsung memesan sesuatu begitu sampai. Padahal jarak menuju dimana
dia duduk lebih jauh dibandingkan tempat aku seharusnya memesan.
Tapi apa boleh buat. Tidak
mungkin rasanya hanya menungunya menghabiskan chicken muffin yang dimakan tanpa
saus dan masih menunggunya menyesap kopi hitam yang kuyakini masih panas itu.
“Ayo, aku antar pesan”, Katanya.
Beruntung, ia berbaik hati mengantarku.
Aku menggulir menu pada layar sentuh
jumbo untuk memesan sesuatu. Sejatinya pikiranku kalut, aku membagi konsentrasi
antara memilih menu dan berusaha mengembalikan tenaga agar kakiku tidak lagi lunglai
seperti saat pertama kali duduk didepannya. Memalukan.
Aku heran. Kenapa dengan diriku.
Padahal sebelum berangkat, aku membentengi diri untuk biasa saja. Tak usah
berekspektasi apa – apa, tidak perlu cepat baper.
“Tadi kamu scan kartu vaksin atau
QR Code?” tanyanya, ditengah aku menikmati segelas Ice Coffee float yang ada
digenggaman dengan kikuk. Ya, percakapan kami memang kurasa tidak terlalu
penting tapi ntah kenapa tetap kami bicarakan. Siapa yang peduli mau QR code
atau scan kartu, di masa covid ini, dua cara itu rasanya sangat lazim
dilakukan.
Perbincangan kami terus berjalan
sembari menunggu minumanku dan muffinnya habis, aku heran kenapa tidak habis –habis,
apakah dia grogi juga? Tapi wajahnya santai sekali. Membuatku semakin susah
menebak. Aku benci teka – teki ini.
Memperhatikan wajahnya yang
tenang membuat pikiranku flashback saat pertama kali ia dengan random
mengirimkan pesan:
Semangat nyeleseinnya, syg
3 huruf yang rasanya terlalu
cepat dan gegabah untuk diketik. Lancang dan curiga dia buaya, tapi aku diam –
diam menyukainya. Tak ada rasa sebal atau jengkel sama sekali. Kali ini rasanya
berbeda.
Aku tersenyum mengingatnya, menertawakan
keanehan diriku sendiri dan juga dia, padahal kini orang itu kini ada
didepanku.
----
Kami berpindah tempat. Sesuai
janjinya, ia mengantarku ke sebuah klinik kecantikan untuk treatment jerawat
yang setahun terakhir ini kumiliki dan membuatku jengkel luar biasa.
Dia bersedia mengantar dan
menunggu seberapa lama pun aku. Dan diriku? sudah menyiapkan diri untuk
mendapatkan pesan
‘Lama sekali’ atau ‘Masih
lama?’
Dan juga mempersiapkan diri untuk
melihat ekspresi jijik ketika aku keluar dari ruangan treatment dengan wajah
merah, penuh bekas suntikan, dan tentu tidak sedap dilihat karena saat itu
terlihat kulit asliku yang tidak bermake up.
Biarlah. Pikirku saat itu dengan
sikap acuh. Aku masih bisa memesan gocar atau grab karena punya banyak voucher
disana.
Tapi nihil.
Ia justru makin lekat
memperhatikanku membersihkan sisa – sisa treatment di kaca mobilnya. Sama
sekali tidak protes, tidak ada ekspresi jijik, dan masih memperlihatkan senyum
berkali – kali.
Dengan sabar ia menungguku
mengaplikasikan krim yang diberikan dokter, lalu DD cream dan lipstick tipis.
Laki – laki dari planet mana dia
sebenarnya? Aneh
Belum selesai rasanya aku kagum
dengan pria ini, kulihat kresek indoapril berisi coklat, makanan manis
kesukaanku. Aku meraihnya, ia menyuruhku membukanya. Untukku katanya.
Hatiku spontan ingin teriak
ketika melihat Coki-coki. Dia masih ingat soal coki-coki.
‘Yang ada rasa stroberi nya gak
ada kata mbak Indoapril-nya’, ucapnya.
Aku melihatnya tak percaya. Diberi
hadiah saja sudah membuatku tersentuh, apalagi mengigat sedetail ini. Aku
sendiri tidak ingat kapan aku terakhir benar – benar menghadiahi diriku sendiri
apalagi mengharap hadiah dari orang lain.
Belum selesai rasanya pria ini
membuatku kagum, ia justru mengutarakan isi hatinya. Membuat hubungan kami yang
semula abu – abu, menjadi semakin jelas.
Pertemuan kami singkat, aku
merasa detik jam seperti berlomba agar waktu cepat habis dan kami berpisah.
Membuatku kesal, tapi apa boleh buat. Tangan kami yang bertaut, segera terlepas
kembali.
Rasanya tak berhenti otakku
memutar memori – memori itu. Aku tak tahu diksi dalam bahasa Indonesia apa yang
paling tepat. But I feel enchanted.
- January 04, 2022
- 0 Comments