Enchanted - Eps. 1

January 04, 2022

 

Scr: Travel Triangle

Kulihat lelaki di depanku masih asik memakan chicken muffin. Kudapati lelaki yang membuatku tertarik pada intelijensinya itu menunjukkan ekspresinya biasa saja. Tidak memperlihatkan bahwa apa yang ia makan enak atau tidak enak.

Ku resapi raut wajahnya. Kaos pendek warna abu – abu yang dikenakannya, bentuk dua mata dan kaca mata yang menggantung di tulang hidungnya, hidungnya, caranya tersenyum, tahi lalat yang ada di ujung bibirnya, juga jemarinya saat memegang muffin tanpa saus yang sempat membuatku merasa aneh. Bagaimana rasanya memakan roti tangkup tanpa saus? Bukankah terlalu kering?

Sepanjang ia mengunyah, kudapati ekspresinya biasa saja. Ia sesekali memperlihatkan senyum manis namun juga sangat tenang, jelas semakin membuatku semakin salah tingkah. Sangat berbeda denganku yang kuyakini terlihat kacau. Aku juga sedikit kecewa ketika tidak melihat gurat canggung di wajahnya.

Hatiku mencelos, jadi Cuma aku saja? Rasanya perasaan takut kecewa, bingung, tertarik, canggung, tapi nyaman membaur jadi satu.

Bahkan, saat ini untuk berdiri saja kaki rasanya tidak mampu. Diam – diam aku merutuki diriku sendiri, kenapa tadi tidak langsung memesan sesuatu begitu sampai. Padahal jarak menuju dimana dia duduk lebih jauh dibandingkan tempat aku seharusnya memesan.

Tapi apa boleh buat. Tidak mungkin rasanya hanya menungunya menghabiskan chicken muffin yang dimakan tanpa saus dan masih menunggunya menyesap kopi hitam yang kuyakini masih panas itu.

“Ayo, aku antar pesan”, Katanya. Beruntung, ia berbaik hati mengantarku.

Aku menggulir menu pada layar sentuh jumbo untuk memesan sesuatu. Sejatinya pikiranku kalut, aku membagi konsentrasi antara memilih menu dan berusaha mengembalikan tenaga agar kakiku tidak lagi lunglai seperti saat pertama kali duduk didepannya. Memalukan.

Aku heran. Kenapa dengan diriku. Padahal sebelum berangkat, aku membentengi diri untuk biasa saja. Tak usah berekspektasi apa – apa, tidak perlu cepat baper.

“Tadi kamu scan kartu vaksin atau QR Code?” tanyanya, ditengah aku menikmati segelas Ice Coffee float yang ada digenggaman dengan kikuk. Ya, percakapan kami memang kurasa tidak terlalu penting tapi ntah kenapa tetap kami bicarakan. Siapa yang peduli mau QR code atau scan kartu, di masa covid ini, dua cara itu rasanya sangat lazim dilakukan.

Perbincangan kami terus berjalan sembari menunggu minumanku dan muffinnya habis, aku heran kenapa tidak habis –habis, apakah dia grogi juga? Tapi wajahnya santai sekali. Membuatku semakin susah menebak. Aku benci teka – teki ini.

Memperhatikan wajahnya yang tenang membuat pikiranku flashback saat pertama kali ia dengan random mengirimkan pesan:

Semangat nyeleseinnya, syg

3 huruf yang rasanya terlalu cepat dan gegabah untuk diketik. Lancang dan curiga dia buaya, tapi aku diam – diam menyukainya. Tak ada rasa sebal atau jengkel sama sekali. Kali ini rasanya berbeda.

Aku tersenyum mengingatnya, menertawakan keanehan diriku sendiri dan juga dia, padahal kini orang itu kini ada didepanku.

----

Kami berpindah tempat. Sesuai janjinya, ia mengantarku ke sebuah klinik kecantikan untuk treatment jerawat yang setahun terakhir ini kumiliki dan membuatku jengkel luar biasa.

Dia bersedia mengantar dan menunggu seberapa lama pun aku. Dan diriku? sudah menyiapkan diri untuk mendapatkan pesan

Lama sekali’ atau ‘Masih lama?

Dan juga mempersiapkan diri untuk melihat ekspresi jijik ketika aku keluar dari ruangan treatment dengan wajah merah, penuh bekas suntikan, dan tentu tidak sedap dilihat karena saat itu terlihat kulit asliku yang tidak bermake up.

Biarlah. Pikirku saat itu dengan sikap acuh. Aku masih bisa memesan gocar atau grab karena punya banyak voucher disana.

Tapi nihil.

Ia justru makin lekat memperhatikanku membersihkan sisa – sisa treatment di kaca mobilnya. Sama sekali tidak protes, tidak ada ekspresi jijik, dan masih memperlihatkan senyum berkali – kali.

Dengan sabar ia menungguku mengaplikasikan krim yang diberikan dokter, lalu DD cream dan lipstick tipis.

Laki – laki dari planet mana dia sebenarnya? Aneh

Belum selesai rasanya aku kagum dengan pria ini, kulihat kresek indoapril berisi coklat, makanan manis kesukaanku. Aku meraihnya, ia menyuruhku membukanya. Untukku katanya.

Hatiku spontan ingin teriak ketika melihat Coki-coki. Dia masih ingat soal coki-coki.

‘Yang ada rasa stroberi nya gak ada kata mbak Indoapril-nya’, ucapnya.

Aku melihatnya tak percaya. Diberi hadiah saja sudah membuatku tersentuh, apalagi mengigat sedetail ini. Aku sendiri tidak ingat kapan aku terakhir benar – benar menghadiahi diriku sendiri apalagi mengharap hadiah dari orang lain.

Belum selesai rasanya pria ini membuatku kagum, ia justru mengutarakan isi hatinya. Membuat hubungan kami yang semula abu – abu, menjadi semakin jelas.

Pertemuan kami singkat, aku merasa detik jam seperti berlomba agar waktu cepat habis dan kami berpisah. Membuatku kesal, tapi apa boleh buat. Tangan kami yang bertaut, segera terlepas kembali.

Rasanya tak berhenti otakku memutar memori – memori itu. Aku tak tahu diksi dalam bahasa Indonesia apa yang paling tepat. But I feel enchanted.


You Might Also Like

0 komentar