Menjangkaumu

August 10, 2016


sumber: google

Meski tak sekalipun pernah kami berkenalan, namun aku mengetahui namanya. Nama yang kuanggap istimewa selama 4 minggu ini sejak aku mulai bekerja disini dan bertemu dengannya di meja kasir. Hampir tiap hari gadis itu bertandang kemari. Memesan kopi kesukaannya saban kesini. Iced Blawan grande. Selalu seperti itu. Oh, namun terkadang ia juga memesan kopi lain jenis latte ataupun beberapa minuman frapucinno. Tetapi iced blawanlah yang hampir selalu ia pesan.

Pagi ini pun ia kembali datang. Tepat jam 8 pagi seperti biasanya. Sosok istimewa yang selalu kunantikan untuk bertandang. Tak ada senyum di wajahnya yang ayu—padahal diam-diam aku menantikan lengkungan cantik itu mampir di wajahnya. Ah, sudahlah.


“Selamat pagi. Mau pesan apa, mbak?” sapaku sesumringah mungkin seperti yang kulakukan pada pelangganku yang lain. Tetapi aku yakin, badanku terutama urat wajahku tak selues saat aku melayani pembeli lainnya. Ah, biarlah, lagipula dia tak akan sadar. Maksudku, dia tak akan peduli.

“Iced blawan grande satu.” Katanya dingin. Tuh, betul kataku. Kata-kata yang diucapkan sama bahkan tone nya pun sama.

“Baik. Iced Blawan grande satu. Ada yang lain?” tanyaku. Ia menggeleng. “Ada kartu memb...” belum pula aku selesaikan kalimatku, gadis didepanku bergegas membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu anggota kafe ini, masih dengan ekspresi datar yang tak bersahabat sama sekali.

Aku hanya tersenyum hampa menganggapinya. Gadis itu memberikan kartunya, aku menggesekkan kartu tersebut agar ia mendapatkan kopi yang diinginkannya.

Aku mengambil sebuah gelas grande untuknya dan menyerahkan pada temanku agar kopi pesanannya segera diracik.

Sebelumnya, tanpa menanyakan padanya, aku segera menorehkan namanya pada gelas tersebut Indunesia. Bahkan dirinya terkesan tak acuh, sama sekali tak terkesima dengan diriku yang sudah tahu namamu, nona.

Lana—gadis itu bernama.

Dari ekor mataku, Lana tersenyum tipis. Mungkin sedikit terkesima dengan pelayan loyal sepertiku—hingga nama pelanggan pun aku menghapal.

Baiklah, akan kujelaskan. Aku adalah seorang pekerja di sebuah kedai kopi kenamaan dari Indonesia yang sudah mendunia. Aku pemuda 22 tahun yang sedang menyelesaikan skripsi dan diterima kerja disini, kebetulan aku mendapat bagian menjaga kasir dari pagi hingga siang hari, dan membuatku bertemu dengan sosoknya. Penampilannya mempesonaku. Bukan, dia bukan tipe gadis pekerja kantor yang selalu necis dengan merk baju ternama. Dia memiliki penampilan yang berani berbeda. Memakai kacamata kotak, kemeja garis-garis atau terkadang memakai jas polos namun memakai sneaker. Dia tak pernah senyum—sangat jarang aku menemuinya tersenyum. Ia selalu memakai tas selempang dengan sebuah buku tebal ditangannya. Kali ini ia memegang script book harry potter terbaru The Cursed Child. Aku tahu buku itu karena aku pun penggemar karya-karya J.K.Rowling.

Pada awal aku bekerja disini, aku melihat gadis itu hampir selalu memesan dua gelas kopi. Satu kopi blawan satunya latte.  Setelah beberapa saat gadis itu duduk menghatamkan buku-buku yang ia pegang, muncul seorang lelaki berkulit sawo matang dengan jambang tipis. Gadis itu meminum latte dan lelaki yang duduk didepannya meminum kopi hitam yang selalu dipesan. Secara fisik, lelaki itu tidak termasuk namun juga tidak termasuk mungil. Tinggiku yang mencapai 180cm ini tentu saja lebih tinggi darinya tetapi badanku lebih kerempeng.

Biasanya mereka berdua akan menghabiskan waktu selama tiga puluh menit kurang lebih. Lalu keluar dari kedai kopi ini dengan kedua tangan yang saling bertaut, terkadang hanya jalan berdua dengan badan yang lengket seperti ditempeli lem kasat mata, lain waktu gadis itu terlihat menyisipkan tangannya dilengan si lelaki. Pemandangan yang semakin  lama kusadari semakin kutahu bahwa aku diranda cemburu pada orang yang bahkan tak kukenal.
sejak itulah aku baru menyadari, aku telah menaruh perhatian berlebih kepada pelanggan kedai kopi tempatku berkerja. Sepertinya tidak lazim bukan pelayan jatuh cinta kepada pelanggan. But, hey, jatuh cinta adalah hak semua orang tanpa memperhatikan jabatan, tebal tipisnya kantong, ataupun wajah, meskipun orang tersebut... telah memiliki pasangan.

Hanya dalam waktu tiga minggu sejak aku bekerja disini dan menjadi pengagum rahasia gadis itu namun di minggu keempat, aku tak lagi melihat gadis itu didatangi oleh lelaki yang biasa ia tunggu, tak lagi memesan dua kopi—blawan dan latte—alih-alih hanya memesan segelas Blawan, kopi jawa, untuk dirinya sendiri, namun buku masih ada digenggamannya setiap kali ia bertandang kemari.

Wajahnya tak secerah biasanya ketika ia didatangi lelaki—yang sialnya aku cemburui itu.  Antara cemburu dan senang, itulah yang kurasakan. Senang karena gadis manis itu tak lagi menunggu lelakinya namun juga cemburu karena aku tak lagi melihatnya tersenyum sedikitpun setelahnya.
Dan tiga puluh menit setelahnya, Lana berhasil menghabiskan segelas kopi jawa hitam pekatnya, juga menutup the cursed childnya yang telah ia baca beberapa lembar. Gadis itu melenggang meninggalkan gelas kopinya yang telah tandas isinya.

Juga meninggalkan satu ruang hatiku yang masih kubiarkan kosong untuknya.
-

Hari ini Lana kembali datang. Aku segera menyapanya dengan senyum secerah biasanya. Dengan suara yang terdengar semangat demi menyembunyikan suasana hatiku yang selalu berhasil ia buat kacau balau kala ia mendekat.

Sedikit lebay ya? Hehe..

“Selamat pagi, mbak Lana? Pesan yang biasanya?” kataku mencoba membuatnya terkesan.

Gadis itu hanya mengangguk. Tanpa sesungging senyum tipis yang selalu kurindukan hadir di wajah ayunya. Hatiku mencelos mengingat usahaku tak juga berhasil seperti biasa. Lana mengeluarkan kartunya dan aku mengangguk saat menerimanya lalu menuliskan nama Lana di gelas grande dan memberikan kepada temanku agar kopi pesanan Lana segera diracik.

Lana duduk di spot yang lain  dari biasanya, kali ini sedikit jauh dari meja kasir. Ia duduk di dekat jendela yang membuatnya dapat melihat jalanan—memperhatikan orang wara-wiri dengan tempo langkah yang cepat. Tak lama kemudian dia membuka buku the cursed childnya yang kini sudah tinggal seperempat dari tebal buku untuk dihatamkan. Aku terkesan dengan gaya membacanya yang super cepat itu.

Karena kedai tak serame biasanya, aku sengaja tidak membiarkan temanku meneriakkan nama LANA lantaran kopinya sudah siap sedia. Kuambil segelas iced blawan ukuran grande itu. Aku mendekatinya yang masih membaca bukunya. Semakin jarak kakiku mendekatinya, hatiku semakin berdegub kencang tak terkendali. Berkali-kali aku menghirup nafas dengan kencang—mencoba menenangkan diri.

Jarakku dan jaraknya tinggal tiga langkah lagi, kuhirup lagi oksigen sekitarku banyak-banyak. Dan... ups, apakah aku menghirup O2 terlampau kencang? Lana menoleh padaku. Aku menghapus tiga langkah yang memisahkan kami. Kemudian tersenyum canggung.

“Mbak Lana?” sapaku. Berdiri kaku—dan mungkin terlihat tolol. Gadis itu terlihat bingung. “Ya? Itu... kopi saya?” katanya sambil menunjuk segelas iced blawan yang kupegang.

“Iya, ini iced blawannya” kutaruh segelas kopi dingin itu lantas hendak beranjak pergi. Namun gadis itu memanggilku, membuatku menoleh langsung menoleh padanya.

“Permisi? Bi..bisa temani saya sebentar?” ucapnya.

Untuk sesaat aku mematung. Dengan wajah sumringah aku mendekatinya, mengambil tempat duduk kosong di depan gadis itu. “Sure,” jawabku tegas.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini, aku memilih the cursed child sebagai topik pembuka karena aku tahu banyak hal tentang karya fantasi J.K. Rowling yang masih berhubungan dengan Harry Potter itu.
***

Bagi saya, menikmati kopi di pagi hari itu semacam amunisi yang wajib disuntikkan ke tubuh saya. Saya adalah seorang peminum kopi level berat, dan kedai kopi yang kebetulan tak jauh dari perusahaan tempat saya bekerja adalah kedai kopi favorit saya. kedai kopi ini cukup lengkap. selain menyediakan beberapa kopi fancy, mereka menyediakan berbagai jenis kopi nusantara seperti kopi Aceh Gayo yang meskipun menurut saya kopi paling pahit namun memunculkan aroma gurih saat saya meminumnya, kopi jawa yang memiliki cita rasa manis dan hitam pekat, kopi sumatra yang kaya akan aroma rempah dan berbau lebih tajam. Tetapi biasanya biasanya saya memilih kopi jawa yang bermerk blawan. kopi blawan sangat pas menurut saya, kadar asamnya cukup rendah, beraroma manis dan warnanya hitam pekat.

Well, sebetulnya tidak sepenuhnya tempat saya bekerja. Mungkin bisa disebut tempat “nongkrong” saja. Perusahaan yang saya maksud adalah sebuah perusahaan startup milik ayah yang ia dirikan sepuluh tahun silam—perusahaan yang tak dapat kupungkiri menjadi atm berjalanku untuk membeli barang-barang favoritku terutama buku-buku yang semakin bertumpuk dan menyulap salah satu sudut kamarku menjadi perpustakaan pribadi, sejak aku berusia 15 tahun.

Saban pagi, saya selalu menyempatkan diri singgah di kedai kopi favoritku itu. Awalnya tentu tidak setiap hari, namun kegiatan ngopiku berubah hampir setiap pagi aku kemari lantara urusan profesional perusahaan yang ayah saya paksakan menjadi urusan pribadi saya. Ayah dan seorang kawan pemilik suatu perusahaan cukup besar menjodokan saya dan Danni.

Mereka akan membuat tim kerjasama yang saling menyokong keberlangsungan usaha mereka. Hubungannya dengan saya? Mereka menggunakan anak-anak mereka sebagai tool tambahan agar hubungan kerjasama mereka langgeng selamanya. Tak lain dan tak bukan adalah dengan menjodohkan saya dengan putra kawan Ayah tersebut.

Tentu saja hubungan tersebut hanyalah artificial relationship saja.  untungnya sebelum perjodohan ini saya sudah berkenalan dengan anak kawan Ayah saya yang bernama Danni itu. Tingginya sekitar 170 sekian dengan kulit sawo matang, badannya tegap. Baiklah cukup sekian membicarakan fisik Danni karena saya tidak terlalu membicarakan ketertarikan saya padanya. Danni mengetahui alasan dibalik kedua orangtua kami menjodohkan saya dan Danni, saya pun tidak menemukan pancaran lebih dari pertemanan dengan Danni.

Lelaki itu baik dan humoris, membuat saya nyaman berada didekatnya. Danni selalu memesan latte pada saya yang datang ke kedai ini lebih dulu darinya. Namun, ia selalu meminum blawan kesukaanku dan memaksa saya meminum latte pesanannya. “Perempuan terlalu kelihatan lelaki kalau meminum kopi sehitam ini” katanya selalu, meski terkadang saya sanggah “memang kopi berjenis kelamin, ya? Mau itu kopi pahit mau itu kopi berifrappe, apa kamu menemukan tanda kelamin dikeduanya?” dia hanya tertawa dan tetap menyeruput kopi hitam manis pesanann saya.

Hampir tiap hari saya dan Danni bersambang ke kedai ini, namun sebetulnya bukan Dannilah yang membuatku semakin bersemangat meminum kopi disini. Seorang lelaki yang nampaknya lebih muda driku telah mencuri perhatian lebihku. Dari wajahnya mungkin ia baru saja lulus SMA? Atau mungkin di tahun awal perkuliahannya. Entahlah. Tapi ada sesuatu dari lelaki muda itu bagiku. Saya wanita umur 25, mungkin terpaut sekitar 4 tahunan darinya.

Diam-diam, dialah alasan lain saya makin rajin bertandang kemari. Dan kebetulan Danni pun juga menyukai ngopi disini, jadi saya Danni mengagendakan ngopi bareng disini barang 30 menit sebelum kami bekerja. Lagipula kantor Dani dan Ayahnya berada di seberang kanktor saya.

Hubunganku dengan Danni tak berjalan lama, hanya sekitar 20 hari saja. kami sama-sama tidak menemukan kecocokan sebagai pasangan. Semakin lama kami mengenal kami hanya nyaman satu sama lain sebagai sahabat bertukar pikiran saja, karena kami sama-sama menyukai buku. Terutama jika kami sedang berdiskusi tentang novel berbau feminisme dan fantasi seperti karangan Dee Lestari, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, J.K.Rowling dan sebagainya.

Seminggu lalu, Danni mengajakku makan malam di rumah. Ia mengutarakan perasaan sesungguhnya tentang hubungan artificial kami dan aku sangat menyutujuinya untuk membicarakan hal ini kepada orangtua kami dan mengakhiri hubungan ini baik-baik. Besok malamnya, kami berdua sepakat bertemu dengan kedua orangtua kami untuk membatalkan pertunangan ini. Ah, tentu saja malam itu adalah malam yang tak akan kami berdua lupakan. Papa marah besar padaku, begitu juga orangtua Danni yang sama-sama kecewa pada kami. Mama mencoba melindungiku dari amukan papa saat itu. Pemutusan perjodohan Danni dan saya berimbas pada relasi yang papa dan ayah Danni jalin, mereka menjadikan kami sebagai alasan putusnya hubungan bisnis mereka.

Malam itu juga papa meminta saya untuk menginap di luar hingga beliau mengijinkanku kembali dari rumah, saat itu saya langsung memesan hotel hingga beberapa hari kedepan. dan hingga saat ini, saya masih belum bisa menginjakkan kaki ke rumah. rasa rindu mendalam tentu saja menyergap saya setiap malam, merindukan Papa dan Mama, meskipun hanya bisa saya dengar suaranya di malam hari saat mereka pulang bekerja, ataupun pagi hari sekali sebelum mereka berangkat.

Hufh! Meski berkali-kali saya menghela nafas, tetap saja dada saya terasa sesak. Untungnya kedai ini selalu buka. Hari ini saya sengaja memilih duduk di dekat jendela saja. biasanya—meski bersama Danni—saya memilih duduk di dekat kasir alih-alih di meja yang saya duduki saat ini. Tentu saja apalagi kalau tidak mencuri pandang ke arah penjaga kasir itu. Dalam diam, saya selalu mencuri pandang padanya. Untuk pertama kali saya menyukai seseorang di pandangan pertama—3 minggu lalu saat saya datang untuk memesan dua kopi untukku dan Danni. Dia pegawai baru.

Dia selalu terlihat segar dan sumringah. Namun hari ini saya memilih spot duduk yang berbeda. Pikiranku berisi masalah yang campur aduk, bagaimana saya dapat meyakinkan papa bahwa akan ada cara lain untuk perkembangan perusahaan tanpa harus menumbalkan saya dan Danni dalam urusan bisnis mereka. Bagaimana cara saya dapat kembali pulang kerumah agar kembali dapat memeluk mereka. Bahkan the cursed child tak lagi terlihat semenarik biasanya bagiku. Sudah seminggu lebih dua hari saya membacanya namun masih belum juga hatam.

Disini saya dapat melihat orang-orang sibuk lalu lalang. Langkah mereka cepat dan hampir semua gerakan mereka sama. Menengok jam, lalu kembali menatap lurus jalanan dengan langkah cepat dan lebar, sesekali beberapa diantaranya menenggak kopi. Dan.. ehm.. selain memperhatikan orang-orang di jalan itu, dua manik mataku memperhatikan refleksi pemuda penunggu kasir yang ramah itu di jendela ini.

Senyumnya terlihat tulus dan terlihat selalu bahagia. Dia pemuda yang menarik.
Dia sungguh kebalikan saya. saya gadis yang tidak mudah tersenyum, bibir saya ini terbiasa terkatup rapat. Bahkan setiap saya berdiri berhadapan dengannya di meja kasir pun, saya tak kuasa menyunggingkan senyum lebar saya.

Setiap kali saya berada di dekatnya, saya berdebar dan ada perasaan ingin selalu di dekatnya. Masa iya saya betulan naksir padanya? Entahlah, namun karena debaran itu, saya semakin susah tersenyum. Mungkin lelaki yang dari name tagnya bernama Zach itu mungkin menganggapku gadis—aneh—sombong—sejagat raya. Ah, biarlah. Biarkan saja, lagipula tak apa bagi saya jika hanya mencintai dalam diam.

Mencintai kata saya?

Entahlah biarkan waktu nanti yang memutuskan kata tersebut tepat untuk saya ucapkan atau tidak namun untuk saat ini biarlah saya menyebut perasaan saya pada pemuda itu dengan kata “mencintai”.
Saya masih saja mencuri liat ke arah Zach. Hingga akhirnya pemuda itu menoleh memperhatikan saya. Matilah saya! Segera kusudahi acara curi-curi lihat itu, alih-alih membuka lembar terakhir yang kubaca pada The Cursed Childku.

dari ekor mataku, saya dapat melihat Zach melangkah mendekat. saya menoleh kearahnya karena pemuda itu mengambil dan mengeluarkan nafas cukup keras.

“Mbak Lana?” sapanya. Sekilas saya merasakan suara pemuda itu sedikit bergetar saat menyebutkan nama saya. Ia berdiri kaku dan tampak innocent sekali—saya baru sadar, apakah semua pemuda yang lebih muda selalu memiliki sisi wajah yang innocent seperti ini?

Ya ampun kopiku!! Saya memekik dalam hati karena melupakan kopi yang saya pesan, mungkin saja daritadi saya tidak mendengar pelayan memanggil nama saya berulang kali sedari tadi hingga ia harus mendatangi saya seperti ini

“Itu kopi saya?” kata saya.

“Iya, ini iced blawannya” katanya

Saya menangguk dan Zach mendekat, menaruh kopi dingin itu di atas meja saya. Setelahnya memberikan saya senyum manis lalu hendak beralih pergi. Namun, seolah tanpa permisi, bibir saya tiba-tiba berucap untuk menghentikan langkahnya.

“Permisi? Bi..bisa temani saya sebentar?” ucap saya. Ya ampun!

“Sure” Pemuda itu mengangguk dan menduduki kursi kosong di depan saya. Sejak itulah kami resmi berkenalan. Kami resmi tak lagi mengetahui nama masing-masing hanya dari name tag juga namaku sebagai nama kostumer yang dia tulis di gelas plastik kopi saya.

Zach pemuda yang menyenangkan. Zach membuka obrolan dengan membahas buku karya J.K.Rowling yang sedang saya baca dan mendengarkan ceritanya. Kerlingan mata hijaunya  dan pandangan intensnya saat saya berbagi cerita membuat saya yakin untuk tak pernah menyesali mengundangnya sebagai teman ngobrol pagi ini.


-selesai-

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

You Might Also Like

0 komentar