Resensi - Sang Alkemis

August 22, 2015



Judul                     : Sang Alkemis
Penulis                 : Paulo Coelho
Alih bahasa         : Tanti Lesmana
Desain sampul   : Eduard Iwan Manopang
Penerbit              : Gramedia Pustaka
Ukuran                 : 13 x 20 cm
Tebal                     : 216 hal.
--0—
Sesuai dengan citranya sebagai filsuf, Paulo juga menjebarkan sisi filosofi kehidupan secara terang-terangan di buku Sang Alkemis ini. Buku yang sarat akan pesan kehidupan ini berhasil menginspirasi pembacanya dan telah dialihbahasakan dan didistribusikan ke seluruh dunia.
Di dalam novel ini, tersebutlah karakter seorang anak gembala bernama Santiago yang percaya akan kekuat
an mimpi dan takdirnya. Dengan sudut pandang orang ketiga, Paulo berhasil menyihir pembaca masuk kedalam dunia Santiago. Anak gembala tersebut memiliki mimpi untuk menemukan harta karun terpendam di piramida. Dalam perjalanannya tersebut ia menemui berbagai macam orang dengan karakteristik yang berbeda-beda, interaksi yang dilakukan oleh sosok Santiago tersebut juga menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya untuk meraih mimpinya.
Awalnya bermula dari mimpi bahwa suatu hari Santiago akan mendapatkan harta karun. Dan pekerjaannya yang menggembala dengan domba-dombanya itu mengantarkan dirinya menuju mimpi yang ingin ia raih.
Diawal perjalanan, ia selalu ditemani oleh domba-dombanya dan buku-buku yang dibaca. Hidupnya mendapat sedikit suntikan motivasi dengan hadirnya sosok putri saudagar yang membeli wol dombanya.
Empat hari sebelum anak gembala itu bertemu dengan sang gadis, ia menyadari sesuatu; bahwa selama dua hari ini ia mendapati mimpi yang sama. Mungkinkah mimpi itu pertanda yang harus ia kejar? Kemudian anak itu berpikir. Segala sesuatu dikehidupan ini memiliki tujuan, bahkan jaket tebal yang ia rapatkan ke badannya tiap malam pun memiliki tujuan, ia pun memiliki tujuan di setiap langkahnya karena ia seorang gembala. Lalu bagaimana dengan mimpi itu? mimpi itu memiliki tujuan untuk disampaikan kepadanya.
Maka Santiago berkelana untuk mencari tahu apa makna mimpinya itu.
Jadi anak laki-laki itu mengembara mengikuti instingnya hingga ia bertemu dengan seorang  wanita gipsi. Dengan kemampuan meramalnya, wanita itu mulai mencoba menafsirkan mimpi si anak lelaki. Katanya mimpinya itu bermakna besar. Meski perempuan tersebut tidak dapat menafsirkan dengan pasti karena ia berkelakar bahwa mimpi adalah bahasa Tuhan, tetap ia meminta imbalan pada si anak. Santiago mengiyakan akan membagi harta yang didapat jika yang ia dapatkan nantinya adalah harta karun.
Si anak merasa kecewa karena ia tak juga menemukan makna mimpi tersebut.
Akhirnya ia berkata pada dirinya sendiri untuk tak lagi percaya pada mimpi dan hanya menjalani kehidupannya sebagai seorang penggembala. Kehidupannya kembali seperti dahulu, memberi makan minum domba dombanya—bertemu teman baru—membaca buku. Lalu suatu ketika sang anak lelaki itu bertemu dengan seorang lelaki tua yang mengganggu kegiatan membacanya. Lelaki tua yang berkata bahwa dirinya adalah seorang raja Salem yang bernama Melkisedek.
Dan lelaki tua tersebut lah yang menerbitkan kembali semangat Santiago untuk menggapai mimpinya. Sang raja Salem mengambil domba-dombanya dan berniat membantunya menemukan harta karun  milik si anak. Kata-kata sang raja mengingatkannya pada mimpinya.
Perjalanan menggapai mimpi pun kembali dimulai. Dari Andalusia, ia berkelana hingga ke negeri Spanyol lalu sampai ke negeri Mesir—dimana harta karunnya tersimpan di dalam piramida. Banyak hal yang ia lalui disana. Mulai tertipu oleh seorang pencopet, memahami cara berdagang dari seorang pedagang Kristal, hingga mahir berbahasa Arab—bahasa yang ia pelajari secara otodidak.
Hingga sampailah ia bertemu dengan seorang ilmuwan asal Australia yang sangat berambisi tentang bagaimana cara membuat emas. Ilmuwan tersebut berkata bahwa ia harus bertemu dengan sang alkemis. Nasib berkata lain, Santiago bertemu dengan sang ahli kimia terlebih dahulu disbanding sang ilmuwan itu. Ahli kimia atau biasa disebut seorang alkemis. Ia diberitahu bahwa sang alkemis akan memberitahukan bagaimana membuat emas dari kuning telur. Sang alkemis bersedia membantu Santiago namun mereka harus berkelana menuju piramida, tempat harta karun Santiago. Sayangnya saat itu Santiago telah jatuh cinta untuk kedua kalinya.
Ia telah bertemu dengan seorang wanita gurun bernama Fatimah. Dan anak lelaki itu jatuh hati padanya. Namun, jatuh cinta kali ini rasanya berbeda ketika ia jatuh cinta pada si anak saudagar yang mungkin kini sudah menikah dengan lelaki lain. Ia jatuh cinta pada Fatimah namun ia menyerahkannya pada takdir. Jika benar mereka berjodoh, baik Fatimah maupun Santiago yakin mereka akan dipertemukan kembali. Maka anak lelaki itu melanjutkan perjalanan bersama sang alkemis untuk menuju Piramida.
Pertemuannya dengan sang alkemis membuat pola pikirnya berubah.  Bahwa meraih mimpi yang sudah menjadi takdir itu dilakukan dengan hati yang tulus, tak mudah menyerah. Bukan ambisi menggebu-gebu seperti yang dilakukan oleh ilmuwan asing itu.
Perjalanan mereka berhenti dan berpisah ketika si anak dan sang alkemis menemukan sebuah piramida yang teramat besar. Si anak bersyukur pada Tuhan bahwa ia percaya akan takdir yang telah Tuhan berikan padanya. Takdir untuk meraih mimpinya. Begitu besar rasa percayanya itu, Tuhan telah menuntunnya bertemu dengan raja Salem hingga sang alkemis. Terutama bertemu dengan cinta sejatinya, Fatimah. Membuatnya teringat akan kata-kata raja Salem. “seluruh alam semesta akan bahu membahu membantumu ketika kamu bersungguh-sungguh”.



Tanjung Pinang, 22 Agustus 2015

You Might Also Like

1 komentar

  1. Aku baru pertama kali sih baca karya Paulo Coelho, tapi sekali baca, langsung jatuh cinta sama Sang Alkemis. Kisahnya ringan dan sederhana, tidak terlalu banyak, namun sarat banget akan makna dan perenungan hidup. Relate banget sama keresahan yang aku alami selama menjalani hidup. Pokoknya da best deh buku yang satu ini.

    ReplyDelete