Manipulasi
August 16, 2015
cr:https://sujarman81.files.wordpress.com/2011/08/hukum.gif
16 Agustus
tahun ini.
TKP, ruang
kerja Mario Candra—Gedung KPK
Suasana tegang
masih menyelimuti ruangan kecil di salah satu sudut gedung KPK tersebut. Sorotan
lampu dari para wartawan dan beberapa anggota kepolisian sesekali menyilaukan
mata siapapun yang berada disitu, tak terkecuali Alfian—ketua KPK. Saat ini, 15
Agustus, dua hari sebelum upacara pengibaran sang saka merah putih, resmi
tercatat sebagai meninggalnya seorang anggota KPK yang seminggu lalu berhasil
menjebloskan salah satu anggota majelis yuridis di negara ini dengan sangkaan ‘penggelapan
hukum’ begitu kata-kata yang dibuat dan dipopulerkan oleh wartawan surat kabar
lalu merambat ke wartawan televisi.
Meski demikian
sorot mata Alfian tidak berkedip karena efek flash dari kamera-kamera disekelilingnya. Matanya menatap bekas
tempat jasad Mario Candra—rekannya yang ditemukan meninggal dikantornya pagi
tadi. Otaknya menerka-nerka apakah ini ada hubungannya dengan penangkapan
narapidana tersebut?
“Kami akan
mengabari setelah dilakukan autopsi pada jasad korban juga berita lainnya, pak Alfian.”
Seorang kepala polisi yang menjadi ketua tim menjelaskan. Lantas memberikan
satu hormat singkat yang dijawab oleh anggukan kepala dari Alfian.
Lelaki itu
kembali ke ruangannya yang terletak satu lantai diatas kantor Mario.
“Apa yang
sebenarnya terjadi?”
Belum lima
menit ia menerka-nerka skenario yang dilakukan oleh pembunuh Mario, Hadi—sekretarisnya
masuk dengan membawa sebuah surat yang ia letakkan diatas meja kerjanya. Alfian
mendongak. Ekspresinya menanyakan surat
apa ini.
“Kau mendapat
ancaman.” Kata Hadi, seakan mendengar pertanyaan yang hanya dikatakan alfian
dalam kepalanya.
Lelaki itu
membuka surat tersebut dan membukanya dengan kasar. Matanya bergerak dengan
cepat, membaca dengan cepat. Lalu menelungkupkan surat tersebut diatas mejanya
dengan kasar. Sorot matanya menyalak, ia menghembuskan nafasnya dengan keras—tanda
kemarahannya sedang mendidih.. lantas tersenyum licik.
“Brengsek! Si ‘pemakan
uang’ itu masih bisa mengancam kita meski pantatnya melekat di lantai kotor
penjara.” Ucapnya dengan geram. Sorot matanya masih menyalak.
“Kita harus
melakukan sesuatu atau anda benar-benar korban berikutnya setelah pak Mario,
kemudian saya.”
“Itu tak akan
terjadi. Kita harus ke kantor polisi segera untuk memperketat pengamanan si
bajingan tengil itu!”
Alfian—lelaki tinggi
itu langsung melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan ruangannya, diikuti
oleh Hadi.
***
14 Agustus
tahun ini
ruang kerja Mario
Candra—Gedung KPK
Mario masih
bergelut di kantornya meski waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Ia mengabaikan
perutnya yang masih belum terisi sejak jam makan siang hari ini—pun panggilan
dari anak istrinya yang selalu ia alihkan ke mailbox dan ia berjanji akan mengirimkan pesan kepada istrinya
bahwa ia tak dapat diganggu hari ini dan kemungkinan besar ia akan menginap di
kantor.
Kertas-kertas
bertumpuk di mejanya. Lelaki paruh baya itu melonggarkan dasinya dan membuka
kancing baju teratasnya. Keningnya sesekali berkerut ketika membaca tumpukan
kertas tersebut. Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang menurun karena
hidungnya yang cukup lindai.
“Masih disini,
pak?” suara Alfian mengagetkannya sejenak. Lalu mengangguk.
“Ya. Kasus hakim
yang satu ini cukup rumit. Anehnya sebagian nuraniku berkata aku tak seharusnya
membebankan dugaan itu padanya. Dia orang baik—setahuku.”
“jangan
menyangkutkan nurani dalam masalah ini, pak. Kau sendiri sudah melihat
bukti-bukti itu. lihat, dia membebaskan seorang tahanan baru-baru ini memang seorang
koruptor!” kata Alfian. Lalu menaruh segelas kopi panas untuk rekannya—Mario.
“Anda sudah
membaca kertas-kertas dari saya sore tadi? Itu bukti terkuat kita.”
“Ya. Sudah saya
baca. Dan memang itu ide terkuat kita.” Lagi-lagi Mario membetulkan letak
kacamantanya yang menurun sembari mengatakannya. Ada sesuatu yang mengganjal
pikirannya dan ia sedang menimbang-nimbang haruskah ia menceritakannya pada
Alfian.
“Baiklah kalau
begitu, aku kembali ke kantorku. Malam ini sepertinya kita menginap lagi
dikantor, bung.” Kata Alfian mengumbar sedikit tawa ketika mengatakan ‘lagi’,
begitu pula dengan Mario, “sepertinya begitu, bung Alfian.”
Sesaat setelah
Alfian meninggalkan kantornya, Mario menutup wajahnya dengan kedua tangannya—sengaja
membiarkan matanya yang mulai lelah tertutup sejenak. Kemudian ia mengambil tiga
buah surat dengan amplop putih bersih tanpa pengirim yang ia simpan dan ingin
sekali ia ceritakan pada Alfian.
Isi ketiga amplop
tersebut adalah surat ancaman. Surat ancaman agar angkat tangan soal ‘penggelapan
hukum’ yang dilakukan oleh hakim Bramantio. Hatinya semakin bimbang.
“Apakah hakim
Bramantio benar-benar melakukan ini semua?”
Isi surat
tersebut bermacam-macam ancaman, mulai dari penculikan anggota keluarganya
hingga pembunuhan terencana yang akan ia terima ketika ia masih bersikeras
memasukkan Bramantio kedalam terali besi penjara. Jika memang benar ia mengancamku seperti ini, lantas mengapa kemarin
sore ia bertandang kepadaku baik-baik, berkata bahwa bukan ia pelaku
penggelapan hokum sebenarnya? Bahwa ia dijebak pihak lain dalam majelis yuridis
tersebut?
***
12 Agustus,
sore hari
rumah Mario
Candra.
“Papa, ada
tamu. Dua om-om.” Mario meninggalkan makanan ikan di pinggir kolam koinya. Ia menerka-nerka
siapa yang bertandang kerumahnya Minggu sore ini. Ketika sampai di ruang tamu,
nampak sesosok orang yang sangat ia kenal namun kini segan bertemu—dirumahnya sendiri.
“Oh, pak Bramantio.
Silahkan duduk.” Kata Mario, gestur tangannya mempersilahkan Bram dan seorang
dibelakangnya—yang ia yakini seorang pengacara—untuk duduk.
“Jadi ada perlu
apa lagi bertandang ke rumah saya? Bukankah kita bisa bertemu dikantor?” Mario memulai
percakapan diantara mereka pertama kali tanpa basa-basi. Aura ketegangan menyelimuti
ruang tamunya kala itu.
“Tak perlu ke
kantor untuk membicarakan masalah ini. Nantinya akan terlalu ruwet, jadi kita
akan membicarakan disini—dirumah anda. Oh, dan saya membawa pengacara saya.”
Perbincangan mereka
berlangsung satu jam membicarakan bahwa Bram tidak selayaknya di tuduh ‘penggelap
hukum’, ia seorang korban yang dijebak oleh pengacara di salah satu persidangannya.
Menjelaskan juga bahwa seorang pengacara tersebut bekerja sama dengan hakim
lainnya untuk menjatuhkan reputasinya. Karena menurutnya, ia hakim paling
populer di negeri ini—terkenal adil, dan ia juga memiliki musuh sesame hakim.
“Bullshit!!” Mario
mengepalkan tangannya dan keceplosan dengan nada suaranya yang terlanjut
meninggi saat mengatakannya. Menyadari ia sedang dirumah, ia berdehem dan
menurunkan volume suaranya.
“Semua orang
akan membela dirinya sendiri bukan begitu, bung?!” lanjutnya.
“Aku
bersungguh-sungguh, bung. Kalau pun anda menjejalkan aku dibalik ‘pintu besi’
tersebut bukan berarti masalah akan selesai. Mereka.. ” Bram berdehem dan
menggantungkan kalimatnya sesaat. Ia mencondongkan badannya dekat dengan Mario,
berbisik, “Mereka bisa saja membunuhmu. Mereka akan menjadikanmu tumbal, hanya
demi menurunkan pamorku. Agar masyarakat yakin bahwa aku benar-benar orang
jahat.”
Mata Mario
membulat ketika mendengarnya, namun sesaat ia kembali rileks. Senyuman tipis—sangat
tipis menghiasi wajahnya.
“Mereka? Maksudmu
‘orang-orang’mu?. Jika sudah selesai mewanti-wantiku anda boleh pergi dari
rumah saya. Terimakasih sudah mengkhawatirkan saya.”
“Bung Mario,
saya serius.”
“Tunggu saja
tanggal mainnya, bung. 14 Agustus. Nasib anda ditentukan oleh tanggal itu.”
Mata Bram
berkilat menyiratkan keseriusan, namun dalam hati Mario bertekad akan tetap
dalam pendiriannya. ia lebih percaya pada berkas-berkas empiris yang ia dapat.
***
14 Agustus
2015.
Malam hari, Kantor
Mario Candra—gedung KPK.
Waktu menunjukkan
pukul sepuluh malam, gedung KPK terasa lenggang ketika Mario kembali ke
kantornya. Bahkan petugas kebersihan pun sudah tak ada lagi, hanya ada seorang
satpam yang tertidur di gerbang utama gedung saat ia hendak memasukkan
mobilnya. Malam ini tugasnya terkait Bram sudah usai, jadi ia berencana
membereskan berkas-berkas bekas ia pakai beberapa jam lalu di pengadilan
Bramantio. Lelaki yuridis itu dihukum penjara karena penyalahgunaan hukum untuk
membebaskan seorang koruptor.
Memikirkan hal
itu, sesuatu terbesit dikepalanya. Ini tentang surat ancaman yang datang
berkali-kali untuknya. Apa yang terjadi pada dirinya setelah ini?
Lampu-lampu
disepanjang koridor gedung yang sebagian besar sudah dipadamkan menambah suntuk
di pikirannya sehingga ia menjadi bermikir macam-macam dan khawatir terhadap
berbagai ancaman untuk dirinya.
Suara tuk-tuk-tuk
sepatunya terhenti didepan ruang kantornya. Lelaki berusia awal empat puluhan
itu menekan tombol on untuk
menghidupkan lampu sembari tangan kirinya memijat-mijat pelipis kirinya.
“Sial! Migrain
ini benar-benar mengganggu.”
“Selama malam,
pak Mario.” Suara berat seseorang yang ia perkirakan seumuran dengannya
membuatnya sedikit terlonjak.
“Siapa anda?” tanyanya
sembari otaknya berpikir mengambil sesuatu yang bisa ia gunakan untuk
membentengi dirinya ketika lelaki misterius itu berbalik dan menyerangnya.
Lelaki misterius
yang duduk di balik kursi Mario dan sedang membelakanginya itu menjawabnya
dengan tawa. Entah tawa mengejek, gembira, Mario tak dapat menafsirkannya
dengan pasti.
“Siapa anda? Apa
yang anda lakukan di kantor saya?”
“Pak Mario… Pak
Mario… anda naïf sekali ya ternyata. Anda sudah mendapatkan surat ancaman
berkali-kali dari saya, kan?!” katanya. Lalu memutarkan diri, sehingga kini ia
duduk menghadap Mario.
“Ha…Hakim Adi?!”
“Hey, bung. Kenapa
anda kaget setengah mati seperti itu? iya, ini saya Hakim Adi. Hakim yang
lumayan populer dan beberapa kali terekam di acara berita karna para wartawan
itu. yah, walaupun kepopuleran saya masih kalah oleh hakim Bramantio. Ah,
tetapi tak apa. Toh, hakim
materialistis itu sudah mendekap di penjara, pasti besok saya lah hakim
terpopuler di negeri ini.”
“A.. apa yang
terjadi. Apa maksud anda?! Jelaskan dengan singkat. Cepat!” gertak Mario, kini
ditangannya ia menggenggam sebuah tongkat kayu jati hiasan yang ia taruh di
dekat pintu—sekedar pemanis ruangan.
“O…o… apa yang
anda lakukan dengan tongkat itu? anda mau melukai saya? Baiklah… jika anda
menggunakan tongkat itu..” jedanya sejenak. Lantas lelaki itu—masih dalam posisi
duduk—mengambil sesuatu dibalik jaketnya. Sebuah Pistol Luger kini berada
digenggamannya. Melihat itu, degub jantung Mario berdentum dengan keras,
keringat dingin mengalir di salah satu pelipisnya. Meski demikian suaranya
tidak bergetar alih-alih makin lantang.
“Dan anda akan
membunuhku dengan Luger itu?”
Lawan bicaranya
tertawa keras.
“Tentu saja,
pak Mario! Terimakasih sudah membantuku menjebloskan sainganku si Bram ke
penjara, pak.”
“jadi, benar. Bramantio
hanya terjebak. Dan kau lah dalangnya.”
“Oh my God!, aku keceplosan. Bagaimana ini?”
ucap Adi pura-pura khawatir, namun kemudian ia tersenyum licik.
“Dan karna anda
telah membantuku. Anda harus membantuku sampai akhir. Kematian anda akan
memperkuat bahwa hakim Bram memang licik. Besok dengan mayat anda tergeletak di
kantor ini, akan tercipta dugaan bahwa ‘orang-orang’ dibelakang Bram lah yang
membunuh anda, namanya akan semakin hancur. Sayonara, pak Mario.”
Setelah selesai
mengucapkannya, Adi menarik pelatuk pistolnya. Membuat sebuah peluru meluncur
dengan kilat dan menembus kepala Mario. Lelaki itu langsung terkulai jatuh
dengan darah berceceran disekitarnya.
*
16 Agustus
Sore hari, di penjara Bramantio.
“Anda sudah membunuh Mario—rekan saya.
Jadi sekarang anda berencana membunuh saya?!”
“Apa?! Mario mati?!!!!” dengan
tangan diborgol, Bram hampir saja menggebrak meja yang memisahkan antara
dirinya dengan Alfian. Matanya melotot demi mendengar berita duka yang bawa
oleh lawan bicaranya.
“Anda tak perlu berpura-pura bodoh.
Lihat ini! Anda sekarang mengirim surat ancaman untuk saya!”
“Saya tidak pernah menyuruh ‘orang-orang’
dibalik punggung saya untuk mengancam anda, pak. Sungguh! Saya korban disini!”
“Tidak perlu
anda membual seperti itu. mulai detik ini, saya akan bekerja sama dengan
kepolisian untuk memperketat jam kunjung anda!” kata Alfian dengan tegas, lalu
beranjak pergi.
“Alfian! Dengarkan
saya! Anda perlu tahu sesuatu. Alfian!!” teriakan Bram tak diindahkan oleh
lelaki jangkung yang memakai setelan necis itu. punggungnya tak berbalik meski
Bram meronta-ronta.
-end-
Note:
Cerita ini
adalah salah satu renungan untuk memperingati ulang tahun ke 70 negara tercinta
kita Indonesia. Mari kita tengok lebih dalam. Negeri kita tak hanya dijajah
oleh bangsa lain, namun sebagian orang dari negeri inipun ikut menjajah
negerinya sendiri demi kepentingan pribadi.
Salam merdeka!!!!
cr:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvLCi6pgdAWB6g1WnJt-ItVlrMh5O524ZG23b-V_QCB0fcE8bLg4GWHubbtQgxkx4B_gOIT1HEaSWhFgN-FvUO5bQ1hHbvB2IPbvv5Ehmrgaqehw2mKKaBiioJsPkAlS5i9BvwKkauqvwi/s1600/bendera+merah+putih+berkibar+52.png
Tanjung
pinang, 16 Agustus 2015
0 komentar