kumis
March 11, 2015
Aku memandangi
gadis yang dulunya pernah singgah di hatiku itu. telah lama aku merindukan
seberkas senyum manisnya itu. dulu ia memang pernah menyakitiku dengan memilih
mencecap kebahagian dari lelaki lain alih-alih mencecapnya dariku. Aku memang
sempat tak terima kala itu, namun apa dayaku. Aku bukan dia dan dia bukanlah
aku, secinta apapun aku padanya, aku tak memiliki hak apapun untuk menahannya
apalagi mengontrol perasaannya.
“Kau masih suka
kopi tanpa gula, ya?” gadis itu tersenyum amat manis ketika aku berkata pada
pelayan kafe tersebuta bahwa aku memesan kopi tanpa gula namun ditambah krim
diatasnya.
Ha!, kau masih
mengingatnya? Dulu aku pecinta manis, bahkan susu krimmer pun aku beri tambahan
gula, kopi dan the pun demikian. Namun demi dirimu, gadis terspesial dalam
hidupku, memintaku agar aku mengurangi konsumsi gula, aku menurut saja.
Ah, jika kau
sadar dan mau menghitungnya. Bukankah aku selalu mengalah padamu? Bahkan aku
mau melewati masa-masa terpuruk ketika kau menendangku dari kehidupanmu. Hanya untuk
memilih Niko, teman semasa kuliahmu itu. meskipun aku sudah memukul Niko karena
mencurimu dariku atau aku berusaha meyakinkanmu bahwa aku lebih baik dari
seorang Niko, kau tidak percaya kan?
Karena saat itu
aku yakin, hatimu itu memang telah tertambat padanya. Sedangkan padaku? Perasaan
itu hanya lewat saja, tanpa berniat untuk singgah apalagi pindah.
Aku sungguh menyedihkan ya?
“Bagaimana
kabarmu?” ia membalas dengan berapi-api bahwa keadaannya sangat baik. Aku lega.
Lalu ia menceritakan seputar pekerjaan pertamanya sebagai editor sebuah surat
kabar. Juga perjuangannya saat menyelesaikan skripsi dan mencari perkerjaan. Bilang
padaku bahwa menjadi pengangguran itu memang tak enak. Sungguh. Aku mengamininya.
Apa yang ia bicarakan tak pernah sekalipun tak kuamini.
Anisa, ayolah aku tahu kau sudah tak bersama
lagi dengan Niko, kan?
Namun aku hanya
menyimpan pertanyaan itu hanya dalam hati. Aku tahu pertanyaan itu benar-benar
ingin keluar, seperti jerawat yang sudah saatnya meletus tetapi aku malah
menutupinya dengan BB cream yang kucuri sementara dari kamar saudara
perempuanku. Ah, sudahlah, aku tanyakan atau tidak aku yakin gadis didepanku
itu nantinya akan bercerita padaku.
Minuman kami
akhirnya datang selang lima menit kemudian. Anisa tersenyum ketika membantu
pelayan kafe tersebut memberikan minumannya padaku. Berbeda denganku, gadis itu
memesan secangkir kopi putih yang menguarkan aroma harum.
Tunggu!
Anisa masih
memperhatikan diriku bahkan ketika ia menyeruput kopinya. Seperti mesin
fotokopi, aku ikut memperhatikan mata berbola hitam pekat yang kini sedang
memperhatikanku itu. tatapan mata itu … intens… romantis sekali…
“Dika? ”
Aku mendongkak
dan meletakkan cangkir kopiku diatas meja. Aku jawab, “Ya?”
“Aku ingin
curhat, Dik”
Ha! Aku sudah
bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
“Kau ingin
curhat bahwa kau dan Dika sudah putus, kan?”
Gadis itu melotot
melihatku ekspresinya seakan tak percaya aku mengetauinya. Lalu ia mengangguk. “Loh,
kok kamu bisa tahu?”
“Iya dong, sisi
mana dari hidupmu yang tidak kutahu?”
Deg! Duh, aku ngomong apa sih?!!! Rutukku
pada diriku sendiri.
“Ah, lupakan,
An. Tadi aku hanya melantur.”
“Tak apa. Sebenarnya
bukan itu yang hendak kukatakan padamu.”
“Jadi?”
Gadis itu
tampak ragu-ragu sejenak. Membuatku semakin gugup dan bergedub kencang jantung
ini kala memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan gadis ini utarakan
padaku.“Errr…. Ada dua ceres warna-warni nyangkit di kumismu. Tadi nempel waktu
kamu makan krim diatas kopimu, Dik.”
Sialan! Aku mengumpat
dalam hati sembari mengelap mulutku dengan tisu.
-end-
0 komentar