My Nostalgia

January 26, 2014



-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Jadi gimana kabarmu sekarang?”

Sebenarnya aku masih tak mempercayai bahwa lelaki ini kini duduk berhadapan denganku dan menanyakan kabarku.

“Baik.”

“Kau jadi meneruskan S2 ke Inggris?”

“Iya, jadi. Lusa aku berangkat. Kamu sendiri gimana kabarnya?”

“Seperti yang kau lihat.”

Huh! Masih sama seperti dulu. Kau tak berubah sama sekali. Selalu menjawab pertanyaanku dengan pernyataan.

Jika saja di kafe ini ada seseorang yang mengenal kami terlebih mengetahui masa lalu kami, maka dapat kupastikan orang itu akan heboh seheboh hebohnya melihat kami duduk berdua ditemani secangkir kopi klasik dan secangkir kopi putih.

Dari sudut mataku, aku memperhatikan tingkah polah lelaki ini dan juga penampilannya dari warna rambutnya yang dicat kecoklatan dan kaos reglan polos warna biru dan hitam. Semua yang ia kenakan nampak pantas.

Intinya ia masih tampan seperti dulu. Ralat. Bahkan ia semakin tampan.

“Apa kau akan hadir di reuni SMP besok?”

Sebenarnya sangat ingin aku katakan padamu bahwa aku sangat ingin pergi ke acara reuni itu. Aku ingin sekali lagi bertemu denganmu.

Entah kamu ingat atau tidak ketika hampir teman-teman kita sekelas menyoraki kita sebagai pasangan kekasih di tahun pertama kita menjadi siswa-siswi SMP.

~

“Dia tahu kau suka padanya.”

Pernyataan yang dilontarkan Rani membuat hatiku terasa di hujam palu dengan keras.

“Gimana bisa? Apa aku terlalu kelihatan kalo naksir dia?”

“Entahlah. Kayaknya dia tahu dari Indri.”

Memang sudah lama aku menyimpan rasa sukaku padamu. Namun, aku tak pernah bisa mengungkapkan perasaanku dalam tindakan terlebih dalam ucapan.

Berita aku suka padamu pun tersebar diseluruh lapisan SMP negeri Bangsa dalam waktu yang lebih cepat dari prediksiku. Seluruh teman kelas dua bahkan kakak kelas tiga dan adik kelas satu pun menyoraki hubungan kita.

Semenjak itu kau menjauh dariku seakan tak ingin lagi bertemu denganku.

~

Aku tahu itu adalah masa yang sangat memalukan hingga aku ingin sekali mengubur masa itu, tetapi semakin aku ingin menghilangkannya dari ingatanku, semakin kuat masa itu lengket di otakku.

“Entahlah, aku harus menyiapkan banyak berkas dan berbagai kebutuhanku untuk ke Inggris nanti.”

“Semoga kau bisa datang.”

Aku tertegun dengan ucapanmu.

“Kenapa memangnya?”

“Ya, aku bisa jemput kamu nanti kalau kamu bisa datang.”

Hey, Kau. Apa aku tak salah dengar?.

Aku menenggak kembali isi cangkir kopi putihku.

“Kalau kamu bisa dateng, aku boleh jemput kamu?” Aku hampir tersedak dengan ucapanmu yang semula berupa tawaran menjadi pertanyaan yang menuntut.

Aku bingung menjawabnya. Kau mau aku jawab bagaimana?

“Din?”

“Dina? Kamu ngelamun?”

“Ah, sori, Ren.”

Dan ekspresimu itu membuatku mengingat bagaimana dulu aku tergila-gila padamu.

~

“Kamu naksir aku kan, Din?”

“Ih, pede banget. Ngapain juga? Kita kan udan temenan dari kecil.”
Aku berbohong padamu. Maafkan aku.

“Hari ini hari kelulusan SMA kita. Kamu yakin gak mau bilang sesuatu padaku?”

“Selamat kita udah lulus SMA. Semoga kita nanti cepat masuk ke perguruan tinggi yang kita inginkan.” Aku berusaha tersenyum lebar.

“Dina, kau benar-benar gak naksir aku?”

“Kamu ini ngapain sih tanya sesuatu yang kamu sendiri udah tau jawabannya?” aku berusaha tertawa jenaka meskipun ketika itu kau memperlihatkan wajah seriusmu dan membuat dadaku berdegub kencang.

“Oh, syukurlah. Din, aku suka sama Agnes.” Ucapanmu seketika membuat jantungku seakan berhenti sesaat, wajahku kaku dan senyum lebar yang kubuat tadi seakan hilang diterpa angin.

“Oh.. hmm.. ke.. kenapa kamu gak ngajak dia ngobrol sekarang? Kamu sudah punya nomor ponselnya?” wajahku terasa panas ketika mengatakannya. Tetapi tak mungkin aku menangis didepanmu saat itu, kan?

“Aku gak punya nomornya, Din. Makanya aku mau minta ke kamu sebenarnya. Kamu punya?”

“Ya, aku punya. Aku kirim setelah ini ya? Aku ke teman-teman dulu ya. sampai nanti.”

Air mataku seketika menetes setelah aku membalikkan badanku untuk memunggungimu. Itulah saat ketika kau membuatku menangis.

Aku mencari namamu ‘Rendra’ dan menekan tombol send.

~
-
Dari: Rendra
Din, kamu bisa ke acara reuni? Usahakan bisa datang ya?
.
Kirim ke: Rendra
Aku jadi dateng, Ren. –Dina-
.

Dari: Rendra
Aku jemput ya? 20 menit lagi aku sampai di rumahmu.
.
Kirim ke: Rendra
Baiklah.
.
Dari: Rendra
Sampai ketemu.
.

“Din, aku suka sama kamu.”

Aku tertawa mendengarnya.

“Aku serius.”

Pria di depanku ini terlihat gugup dan malu ketika mengucapkannya. Dia bersungguh-sungguh. Lelaki bernama Rendra itu berusaha meraih tangan kiriku.

“Aku menyesal sudah meninggalkanmu.”

“Aku janji, gak akan membuatmu menangis lagi dan meninggalkanmu.” Lanjutmu. Genggaman tanganmu pun semakin rapat. Membuat tangan kiriku semakin terasa hangat.

Satu-dua-tiga-empat. Genggaman tanganmu terlepas kembali.

“Aku membawa ini.”

Sebuah kotak merah kau buka dan memperlihatkan sebuah cincin berlian berkilau di mataku.

Cincin itu sama sekali tak menarik perhatianku. Aku memperhatikannya dalam diam dan tak berekspresi.

“Kamu udah punya pacar ya, Din?” kau bertanya hati-hati padaku dengan ekspresi cemasmu.

“Aku sudah bertunangan, Ren.” Aku memutar cangkirku dengan tangan kanan untuk memperlihatkan cincin mungil yang melingkari jari manisku.

Dan mata Rendra terpaku melihat jariku. Sudah pasti ia melihatnya dan mengerti apa makna cincin itu.

You Might Also Like

0 komentar