(Oneshot) I'm Yours
December 13, 2013
Bagiku, menjalin hubungan dengan seseorang tidak
hanya harus diekspresikan dengan aksi ketika bertemu dengannya saja. Tetapi,
aku lebih senang mengabadikan setiap momen yang aku buat bersamanya.
Mengabadikan dalam bentuk foto dan video misalnya? Ah, terutama dalam bentuk
video. Aku senang mengabadikan semuanya dalam rekaman gambar gerak, seperti
yang selalu aku lakukan ketika berkencan dengan dirinya.
Baiklah, aku jelaskan. Aku memiliki seorang kekasih
yang sudah satu tahun lebih lima bulan ini berada disisiku. Aku merekam video
ketika kencan pertama kami, ulang tahunnya, juga ulang tahun pertamaku dengan
dirinya disisiku. Aku memiliki rekaman momen-momen romantis kami pastinya. Yah,
kecuali rekaman video ketika ia menyatakan cintanya padaku. Jika saja aku bisa
memutar waktu, sangat ingin rasanya aku memasang kamera cctv dimana kita berdua
saat itu. agar setiap detil ketika ia mengungkapkan perasaannya padaku saat itu
dapat ku-rewind sesuka hatiku.
Sayangnya, semua itu mustahil. Yah, tak apa lah.
Seperti yang kulakukan saat ini, aku memutar
berkali-kali momen kami dan kugabungkan dalam satu folder yang kuberi nama KRIS-RHEA
di dalam hard disk eksternal-ku. Kris—nama
lelaki yang sedang kuceritakan kini—sedang tak ada di satu negara denganku saat
ini. Ia sedang di Cina, sedangkan aku di Korea. Menurut perhitungan jadwal
kerjanya, lelaki itu akan kembali ke Korea besok sore jam 3, dan aku sudah
janji padanya bahwa dengan senang hati aku akan menunggunya di bandara Incheon.
Ah, kini video ulang tahunnya sedang berputar.
Ekspresi wajah lelaki itu selalu membuatku sumringah. Yah, itu lah alasan lain
kenapa aku senang sekali mengabadikan ekspresi lelaki itu dalam bentuk
video—selain karena hobiku yang memfilmkan momen sih. Lihat wajah terkejutnya
ketika melihatku membawa sebuah kue ulangtahun besar dengan kesebelas
sahabatnya. Ekspresi terkejut yang dua detik setelahnya disusul dengan
sesungging senyum khas Kris, lengkap dengan mata berbinar. Satu poin plus dari
lelaki ini bagiku, mata kecilnya. matanya memang kecil. Tetapi, aku merasa ada
percikan cahaya di dua mata kecil dan tajamnya itu ketika Kris tersenyum.
Sebuah ekspresi senyum yang memabukkan dan mencandu—begitu aku menyebutnya
ketika ia tersenyum.
“Hey, kau rindu padaku ya?”
Tiba-tiba sebuah suara berat seorang lelaki
mengagetkanku dari belakang. Aku segera menoleh dan menghidupkan lampu yang
semula ku matikan.
Kris.
Ya, aku menemukan Kris berdiri menghadap lurus ke
arahku lengkap dengan senyuman—memabukkan dan mencandu—miliknya.
“Kris, bagaimana bisa kau masuk? Bukankah harusnya
kau sampai Korea besok, bukan malam ini?”
“Babe, kau
lupa aku pernah meminta tolong Luhan untuk meng-hack pintu apartemenmu ketika kau sama sekali tak memberi kabar
padaku juga teman-temanmu selama dua hari penuh dan sama sekali tak keluar dari
apartemenmu? Dan maafkan aku kalau aku berbohong padamu. Aku sampai di Incheon
satu jam yang lalu. Aku ingin memberikan kejutan kedatanganku padamu.”
Lelaki itu mengatakannya sembari berjalan kearahku. Tangannya
meraih ujung sofaku dan kemudian melesakkan badannya disana. Kris menghela
nafas panjangnya setelah menyelesaikan celotehnya itu kemudian bergeser
beberapa meter agar lebih dekat denganku. Dan mataku masih tak terlepas
darinya.
“Kau benar-benar rindu padaku ya? lihat, dua bola
matamu terlihat minta dicopot dan ditempelkan ke wajahku. Ah, segitu rindunya
ya kau padaku.” Candanya. Aku mencubit manja lengannya karna gemas.
“Hei, sudah kubilang hapus video ini.” Kris
tiba-tiba menjadi panik setelah melihat layar televisi yang kuhungkan dengan
kabel USB hard disk eksternal-ku.
Astaga, video ulang tahun Kris tahun lalu sudah selesai
berputar dan kini ganti ke video selanjutnya. Dimana muncul gambar Kris dengan
wajah bangun tidurnya. Jadi saat itu, aku menginap di apartemen Kris karena kami
menonton film yang kebetulan kami hanya dapat jadwal midnight waktu itu. Kris memaksaku menginap di apartemennya dengan
alasan sudah terlalu malam dan akan memakan waktu lebih lama jika aku pulang ke
apartemenku. Ya, memang benar, jarak tempat kami menonton dengan apartmen Kris
lebih dekat daripada ke apartemenku. Waktu itu Kris merelakan kamar tidurnya
untukku dan lelaki itu merelakan dirinya tidur di sofa panjang depan televisi
dan dekat dapurnya. Dan aku yang semula memang memiliki jiwa cukup iseng, sengaja
membangunkan pria itu keesokan harinya dengan handycam kesayanganku yang merekam wajahnya dan ekspresi bingung
khas orang bangun tidur. Sebetulnya, Kris cukup sebal karena aku tak jua
menghapus video itu, “Aku terlihat sangat berantakan dan jelek sekali. Lihat,
mukaku terlihat berminyak dan rambutku seperti singa.” Kurang lebih, begitulah
alasan Kris tiap kali aku menolak menghapus video itu. dan hingga saat ini aku masih
bersikeras menyimpan video itu. bahkan membuat beberapa kopian video itu,
sekedar untuk jaga-jaga ketika lelaki itu diam-diam menghapusnya.
“Ayo, keluar.”
Suara lelaki itu seketika membuyarkan narasi dalam
kepalaku mengenai video lucunya itu, bersamaan dengan pergelangan tanganku yang
ia tarik agar aku berdiri.
“Mau kemana?”
Lelaki itu tak menjawab dan terus menggandengku
hingga keluar dari apartemen. Kami terus berjalan ke arah area parkir.
“Ayo naik.” Perintahnya setelah menaiki sebuah
sepeda sport.
“Sepeda? No car?” namun pertanyaanku hanya dibalas
dengan senyuman lebarnya.
“Hari ini, aku ingin naik sepeda saja.”
Aku bingung dengan aksinya yang menaiki sepeda sport yang biasa ia pakai untuk
bersepeda pagi di sepanjang sungai Han. Tapi …. Bagaimana aku naik? Tidak ada
kursi bonceng di sepeda itu. sepeda itu dirancang untuk dinaiki hanya satu
orang saja.
“Jangan bingung begitu. Kamu naik disini.” Ujarnya
seraya mengelus sebuah besi penyangga dan penggabung antara kursi sepeda dan
kemudi sepeda.
“Kris, kau gila. Mana bisa aku duduk disitu?”
“Sudahlah. Ayo naik.”
Dan aku tak punya pilihan lain selain menuruti
kata-katanya. Akhirnya aku duduk di besi lurus itu. dan dadaku berdetak sangat
kencang dan desiran darahku terasa sangat kencang ketika lengan kiriku dan bagian
samping tubuhnya menempel pada dada Kris yang bidang. Pucuk kepalaku sebatas
hidung lelaki itu. Kris kemudian memposisikan kepalanya hingga wajahnya hampir
menempel dengan wajahku. Ia tersenyum sembari mengayuh pedal sepeda. Aku dapat
merasakan dada Kris pun berdetak cukup kuat, sekuat dekatakan jantungku
sepertinya.
Baiklah, siapapun yang ada diposisi ini kupastikan
akan sama nervous-nya seperti diriku.
Ya Tuhannnn….
Angin malam menerpa wajahku dengan cukup kuat.
Membuat kedua mataku berkali-kali menutup demi menghalau angin malam. Juga
berkali-kali aku memegangi rambutku yang berkeliaran karena angin, dan agar tak
menghalangi pandangan Kris tentu saja.
“Kris, dingin.”
“Iya, Babe. Aku
juga kedinginan. Ayo kita mampir ke warung kecil Tteokokki saja. Aku tahu
Ahjumma penjual Tteokbokki yang buka 24 jam.”
Tak lama setelah Kris mengarahkan kemudi sepedanya,
kami berhenti di salah satu kedai kecil Tteokbokki. Kami segera memesan minuman
hangat dan seporsi tteokbokki yang masih mengepulkan banyak sekali asap.
Malam ini, Tteokbokki terasa sangat hangat dan
membuat perutku nyaman. Mungkin karena aku sangat kedinginan dan memakannya
bersama kekasihku? Mungkin saja.
“Babe, pipimu
merah. Kau kedinginan banget ya?” ujarnya sembari menyibakkan rambut disekitar
wajahku. Kemudian lelaki itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan
menempelkannya ke kedua pipiku. Seketika kedua pipiku terasa hangat.
“Iya. Aku sangat kedinginan. Dan sepertinya
perlakuanmu membuat pipiku semakin terlihat merah, Babe.” Jawabku tersipu karena mendapat tatapan dua mata Kris saat
itu.
Kemudian lelaki itu tertawa mendengar jawabanku
setelahnya. Lelaki itu melepaskan kedua telapak tangannya dari kedua pipiku,
lantas melepaskan jaket tebal yang dipakainya.
“Sudah tahu malam ini dingin, kenapa tidak pakai
jaket tebal sih.” Ceracaunya sembari memakaikan jaket tebalnya padaku. Kris
kemudian menutupi pula kepalaku dengan penutup kepala jaket itu. pria itu
berusaha memastikan seluruh badanku terasa hangat.
“kau sendiri bagaimana?”
“Tenang saja. Aku akan minum minuman panas lebih
banyak darimu agar badanku terasa hangat. Gampang, kan? Yang penting kau tidak
kedinginan.” Jawabnya sembari menutup resleting jaket yang kukenakan hingga
sebatas leherku.
Setelahnya, lelaki itu menghabiskan dua gelas
minuman panas yang disajikan oleh Ahjumma pemilik kedai ini. aku terus
memperhatikannya.
“Kris … Babe …”
“Hmmm..?”
“Terimakasih.”
Malam itu kami menghabiskan waktu beberapa puluh
menit memakan tteokbokki dan beberapa makanan dan minuman lain untuk
menghangatkan tubuh kami. Juga Kris yang terus menceritakan pengalamannya
konser di Cina dan menemui nenek kakeknya disana. Kris adalah seorang penyanyi
yang baru saja debut tahun lalu. Lebih tepatnya dia debut seminggu setelah kami
jadian. Lelaki itu berasal dari Cina dan harus tinggal di Korea karena
perusahaan entertainment tempat ia bekerja berlokasi di Korea selatan, tepatnya
di daerah Apgujong-Seoul. Dan aku sangat bersyukur untuk itu. jika ia tak
bekerja di Korea, mungkin aku tak akan pernah bertemu dengannya.
Obrolan kami terus bergulir hingga tanpa terasa kami
sudah menghabiskan waktu selama empat puluh menit—kalau aku tak salah hitung—di
kedai itu. hingga akhirnya Kris mengajakku pulang,
“Babe, Pulang
yuk. Dingin banget.” Ujarnya menggeratakkan bibirnya, berpura-pura ia sedang
berada di kutub utara. Tentu saja, Korea malam ini tak sedikit itu. ia
berlebihan sekali.
Aku hendak membuka resleting jaketku dan
menyerahkannya padanya tapi lelaki itu menolak.
“Kau pasti lebih membutuhkannya. Ayo cepat pakai
lagi jaketmu.” Ucapku memaksanya, dan akhirnya lelaki itu mau memakai kembali
jaketnya yang semula ia pakaikan kepadaku.
Kami menaiki kembali sepeda dengan posisi seperti
sebelum kami mampir di kedai tteobokki ini. posisi yang sangat membuatku salah
tingkah tapi juga menyukainya dalam waktu bersamaan.
Tak lama setelahnya kami tiba didepan bangunan
apartemenku dan Kris memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda yang
berada tak jauh dari pos satpam apartemenku. Namun, saat ini pukul 3 pagi, jadi
pos itu kosong
Kris mengekor dibelakangku menuju lift yang akan
membawa kami ke depan pintu apartemenku. Kris menekan tombol 7.
“Sesampainya nanti buatkan aku susu coklat panas ya,
Babe. Korea malam ini dingin sekali.”
Aku tersenyum menanggapi permintaannya. Kemudian
berujar, “Dunia ini tak ada yang gratis, babe.
Bayar segelas susu coklat panasku dengan lagu yang kau buatkan khusus
untukku, Ok?”
Dan Kris menaikkan bibir bawahnya agar bibir atasnya
sedikit maju. He’s pouting again, so cute
aku gemas melihat ekspresinya seperti itu.
Tak butuh waktu lama bagi kami hingga akhirnya pintu
lift terbuka di lantai 7, kami segera masuk apartemenku dan Kris segera
menyalakan mesin penghangat ruanganku yang terletak di ruang tengah. Lelaki itu
merebahkan badannya di sofa panjangku.
“Hei, jangan tidur. aku sedang membuatkanmu susu
coklat panas, Kris! Minum ini dulu lalu kau pulang dan istirahat. Kau pasti
capek banget, kan?” Ujarku setengah berteriak dari pantry kecilku.
“Besok saja, Babe.
aku ngantuk sekali.” Katanya lagi.
Aku menengok dari dapur dan mendapati lelaki
mengatupkan dua matanya.
“Hey!!! Siapa yang mengijinkanmu tidur di sofaku.
Sebentar lagi pagi, kau harus pulang dan istirahat di apartemenmu, Babe.” aku setengah berteriak lagi dari
arah dapur. Aku menutup kembali gelas yang semula hendak kugunakan untuk
membuat susu coklat panas untuk Kris. Namun, nihil. Lelaki itu sama sekali tak
mengindahkan perkataanku dan ia benar-benar tidur di sofaku.
Aku mendekatinya sembari membawa serta Canon kesayanganku. Aku menekan tombol shutter dengan sangat pelan. Membidik
dirinya dengan sangat hati-hati yang tertidur di sofa. Aku membidik objek
favoritku berkali-kali dengan pelan, agar ia tak terbangun.
Setelah puas membidiknya, aku mendekati sofa itu
lebih dekat dan mengecup singkat kening lelaki itu. “I love u and thanks for
loving me” bisikku padanya.
Kemudian aku beringsut berdiri dan berjalan
meninggalkan dirinya yang tampak damai tertidur. Namun di langkah ketigaku, aku
mendengar lelaki itu berujar, “u’re welcome. And I know you love me too.”, aku
segera berbalik melihatnya.
“Rhea … ini … aku menyukainya.” Ujarnya sembari
menunjuk keningnya sendiri. Kemudian memberiku kedipan mata.
“Oh my God,
jadi kau belum tidur? Kau pura-pura tidur?”, aku segera menimpuknya dengan
bantal kecil sofa yang kudapat dari sofa terdekatku dimana aku berdiri.
“I was about
to fall asleep indeed, but I heard ur step closer and closer to me.”
jelasnya sambil terkekeh.
Aku melempar kembali bantal kecil kearahnya dengan
gemas, “Tidur sana!”
“Oke-oke, aku beneran tidur ini. selamat malam, Babe.”
—selesai—
Lia
Malihah
0 komentar