The Scene

December 13, 2013


Aku akan bercerita padamu tentang secuil kisah yang aku alami baru-baru ini.
Di suatu siang menjelang sore, aku yang saat itu berjalan di salah satu sudut taman kota, menoleh pada seorang pria yang mengenakan jas warna Khaki lengkap dengan kemeja putih didalamnya. Ia mengenakan celana dengan nada warna yang sepadan dengan jas yang ia pakai saat itu. Sepatunya terbuat dari kulit, kalau aku tidak salah, dan berwarna hitam mengkilat. Sangat necis dan rapih.
“Kenapa kau terus memperhatikanku?”
Aku bertanya padanya saat itu. Tetapi lelaki itu masih memperhatikanku tanpa berkedip. Lengkap dengan wajahnya yang nampak sangat pucat.
Hei, aku sedang berbicara padamu.
Dua detik—tiga detik—empat detik. Aku masih tidak mendapatkan jawaban. Jadi aku memutuskan untuk menanyainya lagi.
“Aku tahu aku cantik. Oh, apa kau naksir padaku?”
Aku masih memperhatikannya yang juga masih memperhatikanku. Satu kata yang kupakai untuk mendeskripsikan lelaki aneh ini kala itu, ‘matanya aneh’.
Tak lama kemudian akhirnya aku mendapatkan jawaban darinya.
“Karena kau menarik pandanganku Karena … “
“ … setiap hari aku hanya melihat mayat dan darah.”
Jujur saja, aku sangat kaget mendengar jawaban darinya. Dia tadi bilang mayat dan darah?. Dan tanpa menunggu aba-aba ‘YA’ dariku, lelaki meraih tangan kananku dan aku merasakan sengatan kecil yang lelaki itu alirkan padaku.
***
Semenjak lelaki itu menggenggam tanganku dan mengalirkan sengatan kepadaku, aku tiba-tiba berada kedalam dimensi tempat yang amat sangat berbeda. Disini sangat panas dan penuh debu. Tak ada tanaman dimanapun mataku memandang, aku hanya menemukan deretan bangunan kotak yang aku yakin terbuat dari batu dan memiliki satu pintu kayu saja.
Hei, tundukkan kepalamu. Jangan sampai satu peluru pun menembus batok kepalamu itu.
lelaki itu menekan pucuk kepalaku agar kembali merendah dan tertutup oleh batu yang sepertinya menjadi tameng perlindungan kami berdua. Suasana ini membuatku curiga kalau …
Jangan bilang …
Dan seperti mendengar telepati yang kusampaikan, lelaki itu mengangguk kuat dan membenarkan apa yang sedang kupikirkan.
Ya, seperti yang kau pikirkan. Kita berada di medan perang.
Tunggu! W… What?????!!!! MEDAN PERANG KATAMU?!, Aku berteriak dalam hati, dan lelaki itu kembali menjawabku dengan anggukan. Seolah ia benar-benar mendengar seruanku dalam hati.
Ya, pantas saja sedari tadi aku mendengar bunyi meriam, bom, dan berbagai senjata yang mengeluarkan peluru.
Hei, Pria aneh. Kenapa kau membawaku kemari?!” aku sedikit menyentaknya dengan sebal ketika itu. tetapi lelaki itu sama sekali tak mengindahkan konsentrasinya padaku, dua bola matanya masih saja memperhatikan dua kubu yang sedang beradu senjata.
Oh, tidak. Jangan keluarkan meriam. Ah, dasar bodoh. Sama sekali tak memiliki strategi perang…
Pria itu terus menyerocoskan berbagai komentarnya untuk perang dua kubu yang sedang saling membunuh di raidus beberapa ratus meter di depan kami. Lelaki ini sungguh membuatku takut.
Hei, bukankah ini menarik?!! Lihat, mereka saling menodongkan senjata dan membunuh satu sama lain.” Ujarnya kepadaku.
Sebentar! Entah aku sedang berhalusinasi atau apapun itu, tetapi aku melihat sekilas dua bola matanya berubah menjadi merah hati ketika ia mengatakan ‘menarik’. Kilatan merah itu tak lama, mungkin hanya satu—dua detik. Dan aku tak berbohong pun mengada-ngada. Aku benar-benar melihatnya jika kau masih tak percaya padaku.
“Menarik katamu?” tanyaku sekedar mengklarifikasi ucapan ‘menarik’nya ditengah scene pembunuhan yang terjadi tepat di depan mata kami.
“Iya. Sangat menarik. Tidakkah kau setuju denganku? Manusia-manusia jaman sekarang menyukainya.”  Ujarnya dengan mata berbinar. Tidak, kali ini tak muncul kilatan merah seperti yang aku ceritakan padamu sebelumnya.
Aku bersiap diri untuk hendak melawan argumen konyolnya. Namun, belum juga aku mengeluarkan kata pertamaku, lelaki itu menyela.
Ayo, ikut aku. Kutunjukkan scene lainnya.” Begitu katanya sembari meraih kembali tanganku dan menyalurkan aliran aneh serasa tersengat listrik.
***
Hei, kuberitahu padamu sesuatu. Dia benar-benar membawaku ketempat lain yang berbeda. Jika aku boleh menyampaikan apa yang kupikirkan, maka aku akan berkata bahwa This guy is scary and so frustrated.
Kali ini aku dan dia berdiri di salah satu tembok semacam pengungsian warga. Terdengar suara tangisan wanita dan bayi di sekitar tempat itu. dan memang benar, banyak sekali para wanita yang menangis dengan wajah babak belur bahkan aku menemukan beberapa darah yang mengalir di berbagai bagian tubuh diantara mereka. Mengenaskan.
Oh, menurutku yang lebih mengenaskan adalah mayat-mayat bayi dan balita yang tergeletak dengan berbagai luka tusuk dan bekas tembakan ditubuhnya. Dan bahkan beberapa kepala mereka terdapat bekas sayatan di sekeliling leher. Seakan pelaku hendak menggorok anak-anak yang sangat malang itu. bukankah itu lebih dari mengenaskan? Ah, mungkin kata yang lebih tepat mengerikan, ya?
“Waw, mereka benar-benar tanpa ampun. Bahkan kepada bayi-bayi mungil ini? keren sekali!”
Bisiknya.
Lagi-lagi lelaki itu merespon pemandangan mengerikan ini dengan ekspresi takjub dan … senang?
“Tunngu. Jelaskan padaku bagian mana yang terlihat menurutmu ‘Keren’?”
Belum sempat lelaki itu menjawab pertanyaanku, kami mendengar suara tembakan yang terdengar sangat kuat dan dekat. Dan beberapa saat setelahnya muncul beberapa tentara lengkap dengan senjata laras panjangnya serta senjata lainnya menginvansi tempat dimana kami berdiri. Lelaki aneh itu menarikku dengan paksa untuk bersembunyi. Sekedar kau tahu, ia menarikku karna kedua kakiku sama sekali tak dapat digerakkan karena shock. Mungkin.
Ia membawaku ke salah satu bilik kosong yang terletak di sudut rumah penampungan itu. Di ruang kecil itu terdapat pintu kayu dengan sedikit celah sangat kecil dibagian bawah pintu itu. aku dan lelaki aneh itu harus beringsut kebawah dan menempelkan tubuh kami pada tanah agar dapat mengintip kejadian yang ada diluar ruangan kecil tempat kami bersembunyi. kami berdua menyaksikan kekejian dari pria-pria berotot tebal dengan balutan seragam hijau tua itu membunuh semua wanita dan anak-anak yang masih hidup dengan cara mereka yang sungguh brutal.
Dengan telinga dan pipi kanan yang masih menempel di lantai demi mengintip aksi brutal mereka, aku bergidik dengan kekejaman mereka. Bagaimana mereka, pemakai kalung peluru-peluru besar dan pemegang senjata laras panjang, menghadang semua wanita dengan memukul wajah mereka kapanpun mereka memberontak hendak kabur dari rumah penampungan ini. dan anak-anak, bayi, dan juga balita yang menangis pun tak luput dari nafsu keji mereka. Tanpa ampun, mereka melepaskan peluru yang tertanam dalam laras panjang itu untuk melayangkan jiwa-jiwa murni mereka. Tentu saja, mereka seketika tak lagi bernafas dengan satu hentakan peluru saja.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit bagi tentara kekar tak tahu malu itu menghabisi semua wanita dan anak-anak disini. Setelah pasukan banci itu meninggalkan mayat-mayat mereka, aku mendengar cekikikan lelaki aneh yang sedari tadi berada didekatku. Dia tertawa sembari memegangi perutnya dan tangan satunya menunjuk mayat-mayat itu.
Namun, ada sesuatu yang lain tertangkap ditelingaku. Aku mencoba keluar dari bilik ini dengan sangat hati-hati membuka pintunya. Aku berusaha mencari-cari sumber suara itu. seperti suara seseorang yang menangis sesenggukan. Oh, bukan seseorang … tapi masih bocah, ini suara seorang bocah.
Aku memberanikan diri mendekati sebuah bilik toilet laki-laki yang tak jauh berada dimana aku bersembunyi tadi.
Halo??
Masih tak ada jawaban. Tangisan itu seketika berhenti, berganti menjadi suara sesenggukan yang terdengar ditahan. Aku semakin yakin suara itu ada disekitar toilet pria yang aku masuki ini. perlahan aku melihat bayangan seseorang di balik salah satu pintu toilet itu dan membukanya perlahan.
Gadis mungil dengan mata sembab dan basah terlihat memelas padaku.
Ya. Disana aku menemukan seorang gadis kecil kurus duduk diatas kloset duduk yang tentu saja tertutup lubangnya. Ia menekuk dua lututnya dan memeluknya hingga menempel pada dadanya yang kurus. Ia masih menangis dan terlihat takut-takut melihatku.
Tak apa. Aku orang baik,
Ujarku saat itu sembari berusaha meraih tangannya agar gadis itu tak lagi duduk diatas kloset ini.
Tak apa. Kau aman bersamaku.
Kemudian aku memeluk gadis itu yang masih menangis dan menceracau. Aku mengabaikan apa yang ia ucapkan.
Hei, apa yang kau lakukan padanya?, sebuah suara lelaki mengagetkanku
Aku menoleh menengok kearah suara besar itu. lelaki aneh itu lagi. Pandangannya terlihat heran melihatku memeluk gadis kecil ringkih ini.
Dia ketakutan. Lihat dia menangis dan bercucuran keringat, kita harus menyelamatkannya.
Tidak bisa! Jawab lelaki itu seketika. Wajahnya menegang.
An … na ja sggdt …. jkhotwhev. Ucap gadis itu sembari mendongkak dan menatapku. Aku tak mengerti satu kata pun yang ia ucapkan. Ia menggunakan bahasa yang aku sendiri tak tahu itu bahasa apa.
Kau bilang apa? Aku tak mengerti, Kemudian gadis itu menjawab lagi, Anna ja sggdtjkhotwhev. Dan aku masih tak mengerti apa yang ia katakan.
Namun aku segera mengetahui artinya ketika lelaki aneh itu menerjemahkan apa yang gadis kecil itu katakan padaku, anak ini memakai bahasa arab yang artinya, ‘selamatkan aku, sister.’.
Aku menatap kedua mata hijau dengan warna merah darah di masing-masing titik tengahnya milik lelaki aneh itu dengan penuh harap.
Kenapa kau menatapku seperti itu? tidak! Kita tidak bisa membawa serta anak kecil ini! tak akan.
Kenapa?!
Karena, jika kita menyelamatkannya dia maka pertunjukan akan berakhir. Dunia akan kecewa.
Apa sih yang kau bicarakan?
Kau pasti tahu apa maksudku. Jika kekerasan ini usai, manusia tak akan lagi menonton televisi dan membaca koran dengan antusias, kan?

DEG!!!

Rasanya darahku berdesir 45% lebih cepat dari biasanya ketika mendengar ucapan lelaki itu. dan tanpa menunggu aba-aba ‘setuju’ dariku, lelaki bermata aneh itu kembali menarikku dengan paksa hingga pelukanku pada gadis kecil itu terlepas.
Seketika sengatan kecil kembali kurasakan setelahnya, bersamaan dengan keadaan sekitarku yang semakin meredup dan aku tak tahu lagi kemana lelaki ini membawaku pergi. Oh, lebih tepatnya kemana lagi dia akan membawaku untuk melihat pembunuhan keji?

***

HOP!!!
Kita sampai.
Aku membuka mata dan kembali mendapati suasana taman kota yang beberapa saat kutinggalkan karena ajakan mendadak lelaki itu. ia kemudian melepaskan tangannya yang besar dan selalu terasa panas ditelapak tanganku.
Senang bertemu denganmu dan terimakasih sudah mau kuajak jalan-jalan.
Ucapnya dengan senyum tanpa rasa beban dosa.
Hey, tunggu. Kau ini apa dan si … belum juga aku menyelesaikan pertanyaanku, lelaki itu melambaikan tangan kanannya sembari memunggungiku. Kemudia ia menjentikkan jari nya dengan santai. Ia menghilang dalam kejapan mata setelahnya.

—selesai—

Lia Malihah

You Might Also Like

0 komentar