(Super Short Fiction) Best Thing

November 14, 2013




Dear Diary,
Hari ini aku dan dia berkencan pagi tadi.
Aku berdecak kesal berkali-kali sembari memegangi jam tanganku dengan gemas. Lelaki itu kembali terlambat hampir setengah jam. Mochacchino  yang kupesan hampir saja habis hanya menunggunya saja.
Selang beberapa saat, akhirnya mataku menemukannya. ketika mendapati sosok tinggi itu memasuki kafe bernama ‘Exotic Neon’, dimana kita membuat janji untuk bertemu, aku langsung memalingkan muka dan berusaha berkonsentrasi pada minumanku.
“Kau telat! Telat sekali!” Ujarku jutek padanya.
Kusesap dalam-dalam kopi hangatku sebelum menghempaskan nafas yang dalam juga ketika lelaki itu mengatakan,
I’m sorry, babe. What should I do to make my baby smile?
Aku benci dengan kecurangannya. Dia selalu mengatakannya sembari tersenyum. Memamerkan senyum menawannya—yang selalu sukses melelehkan es dalam hatiku.
Dan ketika memandang lelaki pemilik mata berkilau itu, mataku langsung tertuju pada tas ransel yang masih belum ia lepaskan dari punggungnya sedari tadi.
“Kenapa kau tak pakai tas yang aku berikan padamu waktu itu?”
Demi Tuhan! Kenapa dia selalu memakai tas butut itu?! padahal aku sudah menghadiahkan sebuah tas untuk ulangtahunnya sebulan lalu.
Dear diary,
Sejatinya, ada banyak sekali poin kelemahan pria ini yang membuatku bergidik melihatnya. Yang membuatku membuang muka darinya.
Salah satunya, dia suka terlambat dan tidak begitu suka memakai barang baru termasuk barang pemberianku. Katanya ia lebih nyaman memakai barang-barang lamanya yang sudah butut.
Jika saja, aku tak mencintainya.
Jika saja, hatiku tak berdebar untuknya.
Aku tak akan memandangnya.
“Kau belum mandi? Semalam Kau bilang, kau lembur lagi kan? kau tidur lagi di kantormu? Dalam obrolan singkat kita kemarin sore, aku sudah berkali-kali memperingatkanmu untuk pulang saja ketika selesai lembur?”
“Bagaimana aku bisa pulang kalau pelatihku baru memperbolehkanku dan teman-teman pulang setengah jam sebelum aku bertemu denganmu, sayang?”
Dear diary,
Lihat! Dia jorok sekali. Dan aku sangat percaya kalau lelaki ini memang benar-benar belum mandi. Ia tidak menyempatkan diri menyisir rambut pirangnya terlihat berantakan, wajahnya juga terlihat lelah dan . . . berantakan juga.
Jika saja, aku tak mencintainya.
Jika saja, hatiku tak berdebar untuknya.
Aku tak akan memandangnya.
Errr… tapi aku tetap tampan kan dimatamu?”
Dan perkataannya sukses membuatku meninju lengannya dengan pelan. Gemas.
By the way, that green lace dress suits you best. Ah. I mean, you are the one who make that dress looks the best.
Dia tersenyum lagi memandangku. Ini sudah kedua kalinya ia membual padaku dan sukses membuatku tersenyum malu. Baiklah, wanita mana yang sanggup menahan senyumnya jika menerima kata-kata manis seperti itu dari kekasihnya?!.
Well, aku tak bermaksud membela diriku.
“Ngomong-ngomong, jas abu-abu yang sedang kau pakai itu sudah kau pakai dua hari lalu kan? Aku masih ingat kau memakai itu ketika menjemputku dua hari lalu and I absolutely don’t believe that you’ve washed it already.
Dan lelaki tinggi itu tertawa.
You always got me, babe.
Di mataku, kau selalu terlihat menawan dengan apapun yang kau pakai, Mr. K. ujarku dalam hati ketika itu. Tapi aku menyembunyikan senyumku dalam hati dan memilih mengkerutkan hidung dan salah satu ujung bibirku yang kujungkit keatas. Memberikan tanda jijik untuknya.
Jika saja, aku tak mencintainya . . .
Jika saja, hatiku tak berdebar untuknya seperti saat ini . . .
Anyway, aku lapar. Kau belum pesan apapun disini, kan?” Tanyanya dengan ekspresinya yang terlihat lucu dan tampan bersamaan
“Belum. Aku menunggumu. Aku ingin tahu kau ingin sarapan apa hari ini.”
“Oke, kalau begitu kita pulang saja.”
Tangannya yang besar itu tiba-tiba membuatku berdiri. Aku memandangnya heran. Namun dia segera menjawab pernyataanku, “Bukankah kau minta kita bertemu disini untuk sarapan bersama?”, dengan jawaban “Aku ingin kau masak untukku.”.

-

Aku bukanlah tipe gadis yang lihai di dapur. Dan lelaki ini memaksaku melakukan sesuatu dan menyajikan makanan. Jadi aku hanya akan memasak sebuah burger sederhana dengan ukuran jumbo untuknya. Aku hanya memberinya dua pilihan saja ‘MAU’ atau ‘TIDAK’? dan tentu saja sosok berjakun itu memilih ‘MAU’.
“Bagaimana burgerku?”
Lelaki itu masih mengunyah makanannya.
“Hmmm…?” Kataku sembari menelengkan sedikit kepalaku kekanan dengan mata yang masih menatapnya.
“Hmmm… Hmmm ….” Masih tanpa jawaban yang jelas, lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengangkat dua alisnya keatas.
Kepalanya sedikit memiring kearah kiri, berusaha agar saus dan mayonais yang mencuat keluar tidak sampai menetes.
Lucu. Aku tersenyum geli melihatnya.
“Jadi kau tak akan memberikanku jawaban, sayangku?” Tanyaku lagi ketika kulihat ia berhasil memakan habis burger buatanku tanpa tercecer sedikit pun.
Ia terdiam sesaat memandangku.
“Mau minum? Nih!” kusodorkan segelas jus jeruk kehadapannya.
Namun, lelaki itu tersenyum manis kearahku dan menyondongkan badannya kearahku.
Ia mencium singkat pipi kananku. Membuat pipiku terasa memanas karena ulahnya. Aku terdiam sesaat.
Oh, My Gosh. Aku meninggalkan mayonais-ku di sana.” Ujarnya hendak menempel ke pipiku lagi.
Aku segera membentengi diriku dan mendorongnya menjauh kembali.
Why?, that’s mine.
“Sana pergi mandi, Kris. Kau bau!” Jawabku sembari menutup hidungku dan mengibas-ngibaskan sebelah tanganku di depan wajah.
Lelaki itu mendengus dan memajukan mulutnya sekitar dua senti kedepan.
He’s pouting.
Everything he does is cute.
Dear, diary …
I’ve got my best thing.
Him.

—selesai—

You Might Also Like

0 komentar