Ditolak Sekolah
May 29, 2015
cr: http://bereaonline.com/wp-content/uploads/2015/01/NO-School.png
---------------------------------------------------------
Aku
Andin, lengkapnya Andini Saraswati. Setiap harinya aku tiduran dengan secangkir
susu atau es sirup juga setumpuk buku cerita dan majalah di atas meja
belajarku. Aku memang harus minum di setiap apapun yang kulakukan. Di usia yang
menginjak 10 tahun memang tak wajar rasanya anak sepertiku mendekam di
kamarnya, bukan? Sebetulnya aku sangat ingin seperti teman-teman seusiaku yang
belajar dengan guru yang telaten memintarkan kami setiap pagi kemudian bermain
petak umpet bersama kawan di saat waktu menunjukkan jam satu siang, lalu
mengaji saban sore.
Jangankan
untuk keluar sekedar membeli jajan dan melakukan hal-hal itu seperti anak –
anak usia 10 tahun lainnya. Aku bahkan tak punya … teman. Mereka semua takut
padaku. Aku adalah hama bagi masyarakat. Tak ada yang mau menjadi temanku
apalagi menjadi guruku.
Mungkin
aku lahir untuk di benci. Terkadang aku tak habis pikir dengan ibu dan ayah
yang tetap sabar membesarkanku bahkan ibu kehilangan teman-teman gosipnya, ayah
masih bertahan bertani di sawahnya yang kecil. Sebetulnya aku pun sangat ingin
melihat ayahku mencangkul dan menimba ilmu tanam darinya.
“Obatnya
berupa salep dan sangat mahal. Kemarin kami sudah jual tivi kami, mas. Saya
sangat berharap tangan-tangan dari donatur.”
Aku
berusaha menutup telingaku tetapi gagal. Letak ruang tamu yang berada tepat di
depan kamarku, suara ibu dan reporter—yang entah keberapa datang kerumahku—itu
terdengar jelas. Lagi-lagi mereka membicarakan tentangku.
“Lalu,
apakah Andi pernah berpikir untuk sekolah, Bu?”
Aku
menelan ludahku susah payah. Pertanyaan itu menohokku. Kututup majalah bobo
bekasku untuk mempertajam pendengaranku. Karena, Ya bersekolah adalah keinginan
terbesarku saat ini.
“Sebenarnya
anak saya sangat ingin sekolah seperti tetangga – tetangga seusianya, mas.”
Jeda
sejenak
“Saya
pun ingin anak saya tumbuh normal, mas”
Bunda
terisak setelahnya. Pun menyisakan sesak didadaku. Tetapi aku hanya anak 10
tahun yang tak tahu harus berbuat apa untuk diriku sendiri.
***
Angin
yang terasa sejuk masuk menyapa kami, menguarkan aroma masakan bunda. Dibalik
sekotak jendela itu kulihat anak – anak kecil seusiaku berjalan bersama,
sesekali tawa terselip diantara obrolan mereka. Aku tak pernah tahu apa yang
mereka bicarakan, hanya saja terdengar seru bagiku. Bahkan beberapa kali aku ikut
tertawa ketika mereka tertawa sembari menendang kaleng bekas yang mereka temui
dijalan.
“Bunda
dulu pernah sekolah?”
Tanyaku
tiba-tiba saat aku, bunda, dan Ayah makan siang bersama. Bunda yang semula
menyuapiku kini berhenti. Mungkin beliau berpikir memberikan jawaban terbaik
untukku.
“Pernah,
nduk.” Ayah menjawabnya. Bunda mengangguk.
“Gimana
rasanya, bunda? Enak?”
Aku
selalu merindukan sekolah. Sepertinya hidup seseorang tak lengkap tanpa sekolah.
Kupikir dengan bersekolah, sepaket kehidupan warna-warni akan kukantongi.
Teman, jajan, bermain, dan belajar.
Aku
ingin seperti Amin dan Budi, dua orang yang kini kuintip dari sekolah sedang
tertawa sembari memainkan bola mereka sepanjang jalan.
Lalu
mereka berhenti bermain bola ketika keempat mata milik mereka beralih
menatapku. Mereka sadar aku sedang memperhatikan mereka. Sempat aku mencoba
untuk tersenyum, namun mereka membalasnya dengan berbisik-bisik sembari
memberikan tatapan aneh padaku.
Aku
memalingkan muka, menatap dua wajah orang tua ku.
Aku
merasakan perih tiba – tiba.
Susah
payah aku menyuara bunda dan ayah, “Bun…da, Ay…yah..” aku kesulitan berbicara.
Aku yakin sekarang muncul darah amis di sekitar mulutku. Ayah dan Bunda
menghentikan acara makannya. Ayah segera bangkit dan mengambil salep andalan
hidupku.
Badanku
terasa panas sekaligus perih, kulihat butir – butir kulitku yang seperti
terbakar jatuh di lantai. Aku ingin menangis, tapi terlalu takut air mataku
akan memperparah perih yang kurasa.
Kulitku
kembali terkelupas.
***
Sudah
banyak bunda dan ayah membelikanku buku-buku bekas yang kemudian kulahap
semuanya. Namun semakin beranjak usiaku, tak sesering dulu orangtuaku menyetok
persediaan bahan bacaku.
“Andin?”
“Ya,
Bunda?” kututup buku ceritaku yang sudah berkali-kali kubaca, kemudian turun
dari ranjangku dengan payah.
“Kau
mau ya mengaji di surau sebelah, nak?” mataku berbinar.
“Beneran,
bunda?”
Bunda
mengangguk kuat, setelah harus bersabar tiga kali ditolak oleh sekolah formal.
Mendapat tawaran mengaji adalah hal hebat untukku. Aku langsung mengiyakan.
Namun aku memikirkan sesuatu yang buruk.
“Tapi,
Bunda. Nanti teman-teman takut padaku. Apa ustazah tidak takut juga?”
Namun
jawaban Bunda berkata lain, darahku berdesir. Aku menemukan semangat dalam
diriku.
Sore
itu secara resmi Ayah mengantarku kusurau dekat rumah kami, kemudian mengajakku
berkenalan dengan seorang ustazah yang belum kukenal. Sejenak aku ragu apa
harus aku mencium tangannya atau hanya mengakupkan kedua tangan sebagai tanda
salam.
“Ayo,
salaman dulu sama ustazah, nak.” Beliau mengatakannya sembari mendekatkan
tangannya untuk kusalami. Beliau tak takut padaku sama sekali.
Ayah
berjanji padaku akan menjemputku setengah jam lagi saat aku selesai mengaji.
Sesaat aku takut ketika Ayah menjauh, tetapi Ustazah menguatkanku.
Di
tempat mengaji, semua murid menjauh dariku begitu aku masuk ke surau itu.
mereka mengendik ngeri menatapku, seolah mereka melihat seorang monster sebesar
tubuh mereka mendekat dan duduk di satu ruangan dengannya.
Ucapan
ustazah yang berulang kali mengingatkan para murid untuk tetap tenang pupus,
tak didengarkan. Calon teman-temanku itu terlampau takut dan jijik melihatku.
Aku tak kaget, tetapi Hatiku serasa di sayat.
“Ih,
anak ular!” seorang gadis kecil bertudung merah mengatakannya dengan keras
ketika ia berjalan
melintasiku untuk kedepan menyetor bacaan. Kalimatnya yang
bagaikan mata pisau begitu menyulut emosiku.
“Aku
bukan anak ular, Ibuku manusia!!” aku setengah berteriak. Ustazah kembali
mencoba menenangkan semua muridnya yang kemudian membernarkan perkataan gadis
kecil tadi yang mengataiku anak ular.
Aku
kalah, jumlah mereka banyak sedangkan aku hanya satu. Airmata membasahi dua
pipi apelku yang tak keruan bentuknya. Kulitku kembali mengeras dan kering,
lalu mengelupas. Bau amis semakin menguar dari tubuhku yang mungkin terlihat
menjijikkan bagi mereka.
Demi
Tuhan, aku hanya ingin menimba ilmu dan kawan. Aku ingin merasakan bagaimana
rasanya belajar bersama dengan seorang guru di dalamnya.
Bahkan
di percobaan pertama aku duduk di tengah-tengah majelis ilmu pun aku gagal.
-end-
NB:
cerpen ini terinsipirasi dari seorang anak dengan kelainan di kulitnya, kulitnya melepuh dan mengelupas seperti kulit ular. anak itu dijuluki 'manusia ular. premis cerpen ini menegaskan bahwa semua orang berhak mencecap pendidikan. karena bangku pendidikan adalah hak mutlak setiap manusia.
0 komentar