- March 26, 2015
- 0 Comments
Aku memandangi
gadis yang dulunya pernah singgah di hatiku itu. telah lama aku merindukan
seberkas senyum manisnya itu. dulu ia memang pernah menyakitiku dengan memilih
mencecap kebahagian dari lelaki lain alih-alih mencecapnya dariku. Aku memang
sempat tak terima kala itu, namun apa dayaku. Aku bukan dia dan dia bukanlah
aku, secinta apapun aku padanya, aku tak memiliki hak apapun untuk menahannya
apalagi mengontrol perasaannya.
“Kau masih suka
kopi tanpa gula, ya?” gadis itu tersenyum amat manis ketika aku berkata pada
pelayan kafe tersebuta bahwa aku memesan kopi tanpa gula namun ditambah krim
diatasnya.
Ha!, kau masih
mengingatnya? Dulu aku pecinta manis, bahkan susu krimmer pun aku beri tambahan
gula, kopi dan the pun demikian. Namun demi dirimu, gadis terspesial dalam
hidupku, memintaku agar aku mengurangi konsumsi gula, aku menurut saja.
Ah, jika kau
sadar dan mau menghitungnya. Bukankah aku selalu mengalah padamu? Bahkan aku
mau melewati masa-masa terpuruk ketika kau menendangku dari kehidupanmu. Hanya untuk
memilih Niko, teman semasa kuliahmu itu. meskipun aku sudah memukul Niko karena
mencurimu dariku atau aku berusaha meyakinkanmu bahwa aku lebih baik dari
seorang Niko, kau tidak percaya kan?
Karena saat itu
aku yakin, hatimu itu memang telah tertambat padanya. Sedangkan padaku? Perasaan
itu hanya lewat saja, tanpa berniat untuk singgah apalagi pindah.
Aku sungguh menyedihkan ya?
“Bagaimana
kabarmu?” ia membalas dengan berapi-api bahwa keadaannya sangat baik. Aku lega.
Lalu ia menceritakan seputar pekerjaan pertamanya sebagai editor sebuah surat
kabar. Juga perjuangannya saat menyelesaikan skripsi dan mencari perkerjaan. Bilang
padaku bahwa menjadi pengangguran itu memang tak enak. Sungguh. Aku mengamininya.
Apa yang ia bicarakan tak pernah sekalipun tak kuamini.
Anisa, ayolah aku tahu kau sudah tak bersama
lagi dengan Niko, kan?
Namun aku hanya
menyimpan pertanyaan itu hanya dalam hati. Aku tahu pertanyaan itu benar-benar
ingin keluar, seperti jerawat yang sudah saatnya meletus tetapi aku malah
menutupinya dengan BB cream yang kucuri sementara dari kamar saudara
perempuanku. Ah, sudahlah, aku tanyakan atau tidak aku yakin gadis didepanku
itu nantinya akan bercerita padaku.
Minuman kami
akhirnya datang selang lima menit kemudian. Anisa tersenyum ketika membantu
pelayan kafe tersebut memberikan minumannya padaku. Berbeda denganku, gadis itu
memesan secangkir kopi putih yang menguarkan aroma harum.
Tunggu!
Anisa masih
memperhatikan diriku bahkan ketika ia menyeruput kopinya. Seperti mesin
fotokopi, aku ikut memperhatikan mata berbola hitam pekat yang kini sedang
memperhatikanku itu. tatapan mata itu … intens… romantis sekali…
“Dika? ”
Aku mendongkak
dan meletakkan cangkir kopiku diatas meja. Aku jawab, “Ya?”
“Aku ingin
curhat, Dik”
Ha! Aku sudah
bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
“Kau ingin
curhat bahwa kau dan Dika sudah putus, kan?”
Gadis itu melotot
melihatku ekspresinya seakan tak percaya aku mengetauinya. Lalu ia mengangguk. “Loh,
kok kamu bisa tahu?”
“Iya dong, sisi
mana dari hidupmu yang tidak kutahu?”
Deg! Duh, aku ngomong apa sih?!!! Rutukku
pada diriku sendiri.
“Ah, lupakan,
An. Tadi aku hanya melantur.”
“Tak apa. Sebenarnya
bukan itu yang hendak kukatakan padamu.”
“Jadi?”
Gadis itu
tampak ragu-ragu sejenak. Membuatku semakin gugup dan bergedub kencang jantung
ini kala memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan gadis ini utarakan
padaku.“Errr…. Ada dua ceres warna-warni nyangkit di kumismu. Tadi nempel waktu
kamu makan krim diatas kopimu, Dik.”
Sialan! Aku mengumpat
dalam hati sembari mengelap mulutku dengan tisu.
-end-
- March 11, 2015
- 0 Comments
Seorang anak gadis bangkit dari
duduknya di pinggir sungai kecil diperjalanannya pulang. Ia membuang bungkus
permen seharga 500 perak yang semula ia genggam. Namun Ia tak lagi ingin
mengemut permen itu, jadi ia memilih membuangnya sedetik setelah bungkus
gula-gula itu terbuka. Ia lebih bersemangat pulang untuk segera memeluk ibunya.
Selembar kertas yang digenggamnya
terkadang digoda angin agar ikut dengannya, namun para angin gagal. Gadis kecil
itu benar-benar tak membiarkan angin menang. Ia menggenggam kertas yang sungguh
berarti itu kuat-kuat.
Aneh.
Ia tak menemukan jalan pulang
meski sudah berkali-kali ia melewati perbukitan itu. dan sudah dua kali ia
menyeberangi sungai yang semula ia duduki salah satu batunya saat
memperhatikan. Bahkan ia masih melihat bungkus permennya yang masih tergeletak
di samping batuan-batuan besar disana. Rasa rindu untuk bertemu ibunya kian
menjadi meski ia masih tak mengerti mengapa ia tiba-tiba tersesat, tak tahu
lagi jalan pulang.
Anak itu tak lelah bahkan tak
menggubris rasa pegal yang mulai menggerayangi otot – otot kaki kecilnya. Permai,
nama gadis itu, mulai ragu pada akhirnya ketika ia kembali lagi ke sungai
tempat ia membuka permennya beberapa waktu lalu. Padahal ia yakin seyakin
yakinnya bahwa ia tahu betul jalan menuju rumahnya. Dan mengapa ia kini
tiba-tiba tersesat?
Bagaimana ini? Aku harus membantu ibu berjualan.
Permai memang harus membantu
ibunya setiap hari-hari sebelumnya. Pada hari sabtu seperti saat ini, siswi
sekolah dasar negeri yang biasanya pulang pada pukul 10 pagi dan harus membantu
ibunya menjajakan dagangan di terminal pada pukul 12 siang. Namun bagaimana
ini? Apa yang harus ia lakukan sekarang.
Matahari telah membuat
bayangannya berdiri sejajar lewat 5 derajat—jika ia tak salah hitung—itu berarti
waktu telah menunjukkan pukul 12 lewat sedikit. Mungkin 12:15 siang. Permai
mulai gusar. Lalu gadis kecil itu mengambil sebuah kotak pensil warnanya yang
telah usang dan hanya memiliki 5 warna dasar. Permai mengambil warna merah. ia
mencoret-coret batu besar yang semula ia duduki saat membuka permen. Ia tak
patah semanangat. Ia sungguh ingin segera pulang dan bertemu ibunya lantas
menunjukkan sebuah kertas yang sangat ingin ia museumkan di pikiran ibunya itu.
Sebuah kertas ujian dengan nilai
100 itu sangat ingin permai tunjukkan pada ibunya. Gadis kecil dengan cita-cita
sederhanya ketika ditanya, katanya ingin menjadi apa saja yang diinginkan sang
ibu, itu ingin sekali menunjukkan bahwa ia adalah anak yang sangat bisa
diandalkan.
Jadi anak itu kembali berjalan ke
jalan pulang. Meskipun akhirnya ia bertemu lagi dengan batu besar sungai yang
semula sudah ia tandai dengan warna merah.
Permai menangis. Ia tersesat,
entah setan atau makhluk apa yang telah membuatnya tak dapat pulang, yang pasti
ia tahu satu hal, keinginannya untuk membuat ibunya bahagia hanya dengan
selembar nilai ujian 100 itu gagal.
“Permai?! Perma?! Permai anakku?!!!!”
Samar-samar Permai menoleh karah
suara ibunya yang terdengar nyaring itu tak jauh dari dirinya. Permai kegirangan
mendapati ibunya menjemputnya.
Ia selamat.
“Permai!!! Kau kenapa, Nak!!!!”
sang ibu menangis dengan seru. Permai yang melihatnya mematung, karena saat itu
Ibu memang menjemputnya, namun yang ibu dapati hanyalah Permai yang sudah tak
bernyawa.
Gadis muda yang melihat itu
semakin menangis menitikkan air mata. Keinginan paling sederhana seorang anak
dengan nilai 100 nya telah sirna.
-end-
- March 11, 2015
- 0 Comments