Dentingan Hati
June 26, 2013
(One Shot Fanfiction)
casts: Choi JunHong, Bang
Yong Guk, Lee Hanna dan Kim HimChan
Genre: romance & friendship
-----------------------------------------------------------------
Suasana
kota kelahiranku, Mokpo, malam ini sama sekali tak tenteram karena hujan yang
secara tiba – tiba mengguyur kota dengan membawa petir yang lumayan bersemangat
mengeluarkan kilatan cahaya. Petir yang saling bersahutan dan berkomunikasi
tersebut, seakan sedang menunjukkan bahwa malam ini ia lah yang menguasai
malam. Hujan sangat lebat sekali hingga aku harus menaikkan volume mp3 yang
kuputar melalui laptopku.
Aku
mengambil cangkir berisi kopi putih di meja belajarku yang telah kubuat
setengah jam yang lalu. Kopi putih tersebut tak lagi menghangatkan kedua
telapak tanganku. kopi itu sudah dingin. Sekarang ini adalah musim ujian
kenaikan kelas, aku harus belajar mati – matian. Ingin segera naik ke kelas
tiga dan lulus SMA. Aku beringsut dari kursi belajar dan menuju ke dapur. Aku
menambahkan kopi yang tinggal setengah cangkir tersebut dengan setengah bungkus
kopi putih instan yang bermerk sama, kemudian menambahkan air panas hingga
memenuhi cangkir. Anggap kebiasaanku ini sedikit aneh, tetapi itu lah yang
sering kulakukan.
Ketika
kembali ke kamar, suara petir terdengar lebih menggelegar dari sebelumnya. Hujan
pun terdengar semakin bersemangat mengguyur bumi. Aku mengintip keluar melalui
jendela kamar yang memiliki setengah tinggi badanku. Jalanan kompleks rumah
nampak riuh oleh hujan dan petir serta pepohonan disisi jalan yang sedikit
bergoyang karena angin yang diajak serta oleh hujan saat ini tiba – tiba
mengingatkanku kepada seseorang. Dia adalah pecinta hujan, pernah berkata pula
padaku bahwa ketika hujan turun deras membawa serta sekawanan petir dan
segerombol angin seperti saat ini, biasanya akan ada sesuatu yang terjadi pada
hidupnya saat itu juga. Kejadian yang teramat menyedihkan maupun teramat
menyenangkan selalu diiringi oleh hujan seperti malam ini. Tambahnya, seakan
hujan dan sekelompoknya itu seperti menyambut dengan bahagia berita
menyenangkan padaku atau dapat juga bermakna hujan tersebut akan menemaninya
menangis karena berita tak menyenangkan yang kerap kali memiris hati kecilnya.
Ah,
aku selalu teringat padanya.
Wanita
itu….
***
Rrtt…
rrrtt… no no no no mercy, we are BAP….
suara
HP ku tiba – tiba bergetar dan membawakan lagu band indie ku yang sudah aku
jalankan selama setengah tahun ini. Lagu yang menjadi ringtone ku ini adalah
lagu perdana yang kami ciptakan. Ketika kutemukan hp yang tergeletak di atas
bantal tersebut aku ambil dan di layarnya terdapat gambar sebuah gagang telepon
berwarna hijau berkelap kelip seiring dengan irama getaran dan terpampang pula
foto seorang wanita persis dibelakang gambar gagang telefon tadi. Foto wanita
yang nampak cantik dengan rambut bergelombang. Wanita tersebut mengenakan bedak
sangat tipis serta poni lurus yang menutupi sepanjang dahinya yang aku tahu
berukuran kecil. Gadis itu adalah seseorang yang kucintai saat ini.
Oh, Hanna Noona
menelepon malam – malam???. Aku melihat jam dinding dan segera
mengetahui bahwa saat ini sudah menunjukkan pukul 10 lewat 45 menit.
Biasanya, hampir tiap
hari akulah yang menelepon gadis itu terlebih dahulu. Tentu Ia juga pernah
beberapa kali meneleponku, namun tak pernah semalam ini ia membuat HP ku
bergetar.
Segera
ku slide tombol unlock untuk menjawab telepon tersebut.
“Halo,
Hanna Noona?” pita suaraku menyapanya pertama setelah kutekan gambar gagang telepon
berwarna hijau.
“Halo,
Junhong. Bisakah kau buka skype sekarang? Aku ingin berbicara denganmu. Ingin
sekali” suaranya bergetar. Aku yakin saat ini dia sedang menangis. Aku paling
benci melihat atau mendengar suara Noona ketika menangis.
“Noona,
apa kau menangis? Kenapa? Siapa yang membuatmu menangis??” aku mulai khawatir
“sudahlah.
Bisakah kita mengobrol lewat skype saja?” suara tangisnya semakin terlihat
sehingga aku semakin yakin.
“oke,
Noona. Aku buka skype sekarang. Tunggu yaa.” Telepon langsung kututup, dan
kakiku bergeser melangkah menuju meja belajarku dan mengklik tombol berlambang
huruf S berwarna biru dua kali. Aku langsung online dan mendapati noona online
pula, mungkin ia benar – benar menungguku. Ku klik sebuah akun dalam daftar
teman skype ku, akun tersebut memiliki avatar seorang wanita dengan rambut
keriting dan poni menutupi dahi serta kacamata yang tertempel di matanya. Nama
akun itu ‘Miss Hanna’, akun milik Hanna Noonaku.
***
Segera tampak seorang wanita dengan kacamata
besar yang sangking besarnya hingga menutupi setengah tulang pipinya yang kerap
kali tertangkap mataku berwarna pink muda. Aku sangat menyukainya ketika warna
itu muncul dikedua pipi apelnya. Warna itu bukan berasal dari perona pipi yang
biasanya dikenakan oleh wanita – wanita yang pernah kukenal maupun mereka yang
kutemui di jalan. Hanna noona jarang sekali memakai perona pipi karena ia tipe
wanita yang sedikit tak suka dandanan yang nampak meskipun hanya pewarna pipi.
Ketika ia kedinginan, kepanasan, senang, maupun sedang malu kedua pipi apel
Hanna noona memunculkan warna pink dikeduanya. Namun, malam ini aku tak
mendapati kedua perona pipi alami itu. Sedikit sedih, meskipun begitu aku tetap
menyukai wajahnya.
Dibalik
kacamata besar tersebut aku tetap dapat melihat kedua mata indahnya berkilauan
layaknya kristal. Bukannya aku tak suka dengan keindahan matanya ketika
berkilau seperti itu, bukan. Tetapi, mata yang saat ini memandangku melalui
layar skype itu sedang mencoba menahan air yang sedang berusaha menyeruak
keluar dari kedua matanya. Gadis yang kini didepanku sedang menahan tangisnya.
“Noona,
apa yang terjadi?” aku bertanya yang kurasa kusampaikan dengan nada khawatir.
Hening
sesaat…
***
Gadis
itu masih terdiam. Malah dia terlihat menggigit bibir bawahnya ketika aku
bertanya demikian.
“Noona,
kau kenapa? Apa aku perlu ke rumahmu? Nangis saja jika kau ingin, jangan
ditahan” kata sambil aku kembali mengulang pertanyaanku
“Tak
usah, Junhong ah. Ini sudah malam dan hujan” Noona menjawab terbata – bata.
Setelah
itu hening terjadi beberapa saat. Noona menunduk dan menutup wajahnya dengan
kedua tangannya, tubuhnya bergetar. Gadisku sedang menangis. Aku membiarkannya
menangis dan menunggunya dengan sabar, seperti apa yang biasa aku lakukan
didepannya ketika ia mengeluarkan air mata.
Aku
mengenal Hanna noona sejak lama, aku tahu bahwa gadis itu tak akan bisa
berbicara ketika suasana hatinya sedang kacau. Hingga kekesalan dan emosinya
keluar melalui air mata, ia tak akan bisa bercerita. Bahkan bercerita padaku,
orang yang telah berusaha untuk selalu berada disisinya selama 10 tahun.
Aku
mengenal dan mulai dekat dengan Hanna noona ketika kami berkenalan sebagai
tetangga, saat itu aku berusia 7 tahun sedangkan noona berusia 10 tahun. Ketika
itu aku baru saja pindah dari vancouver untuk menetap di Mokpo, Korea.
Kebetulan aku tinggal satu kompleks dengan Noona, bahkan rumah kami hanya
berjarak enam rumah saja. Kompleks perumahan kami termasuk sepi, hanya
terdengar ramai ketika pagi hingga jam berangkat kerja sisanya hanya diramaikan
longlongan anjing saja. Di kompleks residence kami, tak banyak anak kecil yang
dapat bermain dengan akrab. Untuk itu tak mudah bagiku menemukan teman bermain
hingga suatu waktu ketika aku bermain dengan anjingku yang bernama Kris,
seorang gadis kecil yang mengendarai sepeda berwarna pink dengan keranjang
berisi anjing dibagian depannya mendadak berhenti tepat di depan teras rumahku.
Pada waktu itu kebetulan pagar rumahku juga terbuka sehingga dia dapat
melihatku secara langsung dan terdiam beberapa lama. Ekspresi wajahnya seakan menyiratkan
‘siapa anak laki – laki ini? Baru ini aku melihatnya’. Mendapati dirinya yang
terdiam cukup lama, akhirny kuberanikan diri menyapanya terlebih dahulu.
“Hai”
sapaku singkat dengan tangan mengepal, menggenggam tali kris.
“Hai
juga” balasnya, namun tak lama kemudian dia bertanya
“Apa
kau anak baru di kompleks ini?”
Cocok
sekali, aku sudah menebak isi kepalanya.
“Iya.
Aku baru saja pindah dari Vancouver tiga hari lalu” jawabku. Masih dengan tali
anjing digenggaman tanganku.
“Vancouver?
Dimana itu? Apa tempat itu lebih jauh dari rumah bibiku yang berada di Hongdae?”
“Vancouver
itu di Amerika. Entahlah, aku tak tahu Hongdae itu dimana. Mungkin rumah bibimu
itu lebih jauh dari Vancouver” kataku sembari terkekeh.
“Aku
Lee Hanna. Panggil saja aku Hanna” ujarnya dengan mengulurkan tangan kirinya.
Tangan kanannya menggenggam sebuah lollipop.
“Aku
Choi Junhong. Kamu bisa memanggilku Junhong. Hanna, maukah kau berteman
denganku?” kataku tiba – tiba yang langsung dijawab anggukan kepala.
“Tentu
saja. Junhong, apa kau mau lollipop? Aku membawanya satu lagi”
Saat
itu, Aku menerima lollipop pertama dari seorang teman sejak kepindahanku ke
korea.
***
Semenjak
perkenalan kami waktu itu, Hanna noona sering sekali bermain dirumahku begitu
pun aku. Selain bermain denganku, Hanna juga akrab dengan Yongguk Hyung. Yongguk
adalah Hyung kandungku, umur hyungku dua tahun diatas noona. Hanna senang
sekali dengan Yongguk hyung.
“Uhm.
Junhong ah”
“Nae,
noona?”
“Mulai
saat ini aku akan memanggilmu Zelo, ok?”
“k..kenapa
kau tiba – tiba membuat sebutan baru untukku, noona? Wae? Wae? wae?”
“kamu
anak yang memiliki banyak talenta, bahkan kamu mengajariku tarian balet dalam
waktu yang singkat tempo hari. Kamu benar – benar nomor nol”
“Hah?
Kok nol?” aku membulatkan mataku pada Hanna noona ketika ia mengejekku setelah
memujiku.
“Hahaha,
maksudnya nol itu zero. Bagiku, zero lebih tinggi dari angka 1. Dan kupikir
Zelo lebih terdengar kyeopta dari Zero” lanjutnya sambil terkekeh.
“Aish”
“Aku
anak tunggal di keluargaku. Aku ingin memiliki seorang oppa atau unni. Tapi aku
lebih ingin menginginkan seorang oppa saja. Kau beruntung sekali memiliki
Yongguk oppa, Zelo”
“Yah!
Namaku Junhong” protesku
“Hahahha,
sudahlah. Terima saja nama baru pemberianku, Z-E-L-O” aku hanya bisa pasrah dan
mendengus padanya, namun dia malah membalasnya dengan tertawa.
“Hanya
oppa saja? Kau tak ingin memiliki seorang dongsaeng?”
“Aku
ingin juga memiliki seorang dongsaeng. Tapi sepertinya memiliki seorang oppa
sepertinya lebih asik” jawabnya terkekeh, aku langsung manyun waktu itu.
“Saranghaeyo,
Zelo ya. hahahaha” Noona selalu mengatakannya ketika aku memasang bibir
manyunku atau wajah cemberut lainnya.
“Zelo
ya, kamu adalah uri kyeopta namja dongsaeng” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Noona,
aku sudah besar. Dan juga jangan panggil aku Zelo!”
“Anneayong…”
suara berat Yongguk oppa menghentikan pertengkaran ringan kami.
“Yongguk
Oppa datang. Dia habis camping bersama temannya kan, zelo? Dia pasti membawa
oleh – oleh untuk kita”
Kami
berdua berjalan cepat menuju ruang tamu keluarga Choi dan mendapati Yongguk
Hyung bersama seorang teman pria duduk di samping kanannya. Hyung
memperkenalkannya kepada kami berdua. Nama laki – laki itu adalah Kim HimChan,
dia sangat tampan. Bahkan kuakui dia lebih tampan dari hyungku sendiri.
Tanpa
sengaja aku menoleh kesebelah kananku. Disana aku menemukan mata noona
mengerling tak seperti biasanya saat melihat HimChan Hyung.
***
Semenjak
kedatangan HimChan Hyung waktu itu, ditambah pula HimChan hyung yang semakin
sering pula berkunjung ke rumahku. Aku semakin takut, terlebih jika Hanna noona
sedang bermain di rumahku pula. Noona menyukai Himchan Hyung, dia adalah cinta
pertama bagi noona. Sejak aku menyadari bahwa mereka semakin dekat, aku semakin
menunjukkan rasa cemburu. Namun ketika aku protes akan kedekatan Noona dengan
HimChna hyung, noona akan selalu berkata ‘Zelo ya… kau adalah adik
kesayanganku. Jadi meskipun aku menyukai dan dekat dengan HimChan oppa, aku tak
akan meninggalkanmu’.
Selama
Hanna noona mengobrak – abrik hatiku hingga amat berantakan, selama itu pula
aku berusaha memalingkan noona dari beberapa laki – laki lain yang berusaha
mendekatinya. Selama ini aku selalu berhasil agar noona tak membalas perasaan
para lelaki tersebut. Namun, sepertinya HimChan hyung adalah saingan
terberatku. Karena Noona lah orang yang jatuh cinta terlebih dahulu pada
HimChan hyung.
“Zelo
ya, suatu saat nanti, aku ingin memiliki seorang pria yang lebih besar dariku
seperti Yongguk Oppa. Seseorang yang akan lebih mengerti aku karena
kedewasaannya, dan juga aku ingin memanggil orang yang kucintai dengan sebutan
oppa”
Noona, hanya satu
kekuranganku. umurku lebih muda darimu.
Noona, tolong katakan
padaku. Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi kriteria yang terakhir?.
Hanna noona mengatakannya berkali – kali padaku semenjak ia menceritakan padaku
perasaanya terhadap HimChan hyung dan semua itu selalu berhasil membuat dadaku
terasa sesak.
***
“Noona,
apa yang terjadi?” aku bertanya yang kurasa kusampaikan dengan nada khawatir.
Hening
sesaat…
“Junhong
ah, aku bertemu dengan HimChan Oppa tadi” wanita itu kembali membuka kedua
tangan yang sebelumnya menutupi kedua wajahnya dengan suara yang masih sedikit
sengau habis menangis. Mendengar kata pembukanya itu Aku mendapat firasat buruk
yang akan menyayat hatiku jika noona bercerita apa yang sedang terjadi padanya
malam ini.
“Apa
yang terjadi? Apa yang Hyung lakukan padamu, Noona?” kataku masih
memborbardirnya dengan serangkaian pertanyaan. Aku benar – benar benci melihat
noona menangis.
“Tadi
dia mengajakku ke sebuah kafe. Sebelumnya aku merasa amat senang HimChan oppa
akhirnya mengajakku seorang ke sebuah tempat. Namun ternyata disana sudah
berkumpul Park MinJi, Kim hyunhong, Jung myunyun, Ahn Soora, ada juga tiga
sahabat Oppa lainnya dan….” Belum
selesai noona melanjutkan ceritanya, butiran bening itu kembali meluncur ke
pipinya.
“dan
dia mengenalkanku pada seorang wanita pemilik kafe. Wanita itu sangat cantik
dan dari wajahnya saja aku sudah bisa menilai bahwa wanita tersebut bukanlah
wanita sembarangan. Oppa bilang wanita tersebut bernama Kim Nara, dia adalah
unrequitted lovenya…” Noona kembali terisak sebelum ia selesai menyelesaikan
ceritanya. Aku yang menunggu ceritanya serasa teriris dan amat kesal terhadap
HimChan hyung.
“katanya
lagi, mereka akan melaksanakan pesta pertunangan minggu depan dan mengharap
kedatangan kami bertujuh. Ia memberitahu hal ini pada kami karena Aku, MinJi,
Hyunhong, Myunyun, dan Soora adalah adik kelas yang dekat dengannya. Junhong …
kenapa nasibku begitu buruk” dari layar kulihat noona memegangi dadanya sambil
menangis. Lagi.
“Aku
sudah menantinya sejak awal masuk kuliah dan menolak beberapa namja lain selama
itu” katanya terisak.
Noona, jika aku
mengungkapkan perasaanku. Akankah kau menolakku seperti kau menolak namja lain?
“Aku
merasa seperti orang bodoh yang menunggunya ketika berlatih basket maupun
ketika ada acara kemahasiswaan lain. Aku juga rela masuk ke semua organisasi
kemahasiswaan yang ia ikuti”
Jika kau berpikir
demikian, Noona. Kau anggap pengorbananku sebagai apa ketika aku mengikutimu
masuk les piano saat kelas 5 SD, mengikuti kelas tari bersamamu sejak kelas 1
SMP, dan sampai saat ini pun aku berusaha untuk secepatnya lulus dan masuk ke
perguruan tinggi yang sama denganmu?
“Aku
bahkan rela menunggunya untuk putus dari Hyori unni, Junhong ah…”
Noona, aku selalu
berusaha menahan diri tiap kali ada seorang pria yang mendekatimu. Dan aku tak
hanya menghadapi satu pria saja.
“Aku
menunggu cinta nya untukku selama tiga tahun, Junhong… bisa kau bayangkan??”
Noona kembali menutup kedua matanya sambil sesunggukan. Menangis.
Tentu aku bisa karena
aku telah menunggu cintamu untukku selama enam tahun, Noona. Bisakah kau
bayangkan bagaimana rasanya itu?
Noona
kembali menangis didalam kedua telapak tangannya. Saat itu juga aku ingin
sekali memeluknya untuk memberi ketenangan dan kehangatan.
“Noona”
panggilku memecah kesunyian. Noona langsung mendongkakkan kepalanya menatapku.
Masih dengan mata yang penuh air mata.
“Hanna
noona, malam ini juga aku akan mengatakan sebuah rahasia yang selama ini aku
simpan sendiri selama bertahun – tahun darimu. Bahwa, Aku akan tetap setia menungu
hingga kamu menganggapku sebagai pria yang berarti dalam hidupmu. Bahkan aku
pun tak keberatan kau memanggilku oppa. Hingga waktu itu datang, aku akan
selalu berdenting hanya untukmu seperti dentingan jam berbentuk bundar berwarna
kuning neon yang menggantung didinding kamarmu”
Setelah
itu aku langsung menutup skype ku dan mematikan komputer tanpa menghiraukan
wajah noona yang tampak terkejut malam itu. Entah mengapa hujan malam ini
menenteramkan hatiku, aku merasa telah melepaskan berkilo – kilo beban yang
selama bertahun – tahun aku tanggung sendirian.
0 komentar